Kamis, 11 Februari 2021

penyakit2






PENYEBARAN  PENYAKIT GENETIK 


Kelainan kromosom dan  Sindrom Down   sering menjadi pemicu  keguguran sehingga  bayi meninggal sesaat sesudah  dilahirkan,  Kromosom merupakan tempat DNA  atau zat dasar genetik yang mencetak manusia,  Kromosom adalah untaian materi genetik  DNA  di  dalam setiap sel makhluk hidup,  Setiap sel manusia  normal  memiliki 46 kromosom yang terdiri dari 22  pasang kromosom kromosom tubuh (autosom,  kromosom 1 sampai   kromosom 22) dan satu pasang  kromosom seks (kromosom X dan Y) yang  menentukan jenis kelamin ,
akibat akibat  kelainan kromosom antara lain : kelainan alat kelamin memiliki riwayat lahir  meninggal , kematian pada bulan pertama kelahiran,pertumbuhan terhambat, keterlambatan perkembangan mental, kelaian bentuk muka, cacat 
tubuh lebih dari satu jenis (contohnya  bibir sumbing ,retardasi mental , kebocoran 
katup jantung ), 
 kelainan genetik  dapat dipicu oleh adanya mutasi gen dominan  maupun gen resesif pada autosom maupun pada  kromosom seks, seperti hemofilia, butawarna  merah hijau, thalasemia , penilketonura, Dentigenesis imperfecta, Akondroplasia, albino, bisu tuli, 
sedang kelainan kromosom dapat berupa  kelainan jumlah kromosom (seperti sindrom Klinefilter, sindrom Down  atau  sindrom Turner ), kelainan struktur kromosom (seperti Cri du chat sindrome, sindrom de Groucy) maupun kromosom mosaik. Insiden dan prevalensi penyakit penyakit yang disebarkan genetik beragam dari berbagai jenis kelamin ,suku  bangsa, letak  geografis,
Trisomi13 (sindrom Patau) sangat jarang terjadi , biasanya gejalanya sangat berat sehingga  dapat memicu kematian beberapa jam atau  beberapa minggu sesudah kelahiran. 
Trisomi 18 (sindrom Edward)  jarang terjadi  dengan gejala  antara lain kelainan pada tangan dan kaki, ukuran kepala dan pinggul yang kecil ,retardasi mental, gangguan pertumbuhan, 
Sebagian besar penyakit dipicu oleh  interkasi antara gen  dengan lingkungan dan  lingkungan  bukan  genetik,  tekanan darah tinggi primer, asma, schizoprenia, penyakit Parkinson ,data  jumlah  penderita kelainan genetik (sinsrom Down dan  penderita penyakit/kelainan yang dapat dipengaruhi  oleh faktor genetik seperti Diabetes, penyakit  Parkinson, Alzheimer, Schizoprenia diuji dengan  membandingkan jumlah kelainan genetik yang ada  dengan jumlah seluruh masalah yang ada dengan memakai  uji prevalensi,Hasilnya yaitu 
  kelainan genetik murni (sindrom Down) dan kelainan yang dapat dipengaruhi oleh  faktor genetik seperti diabetes, tekanan darah tinggi primer, asma, Parkinson, dan lainnya,  Persentase penyebaran  penyakit berdasarkan jenis 
kelamin dan kelompok umur 
Tabel   Distribusi penyakit karena kelainan genetik 


Jenis Penyakit             Jumlah 
Penyakit 
Parkinson 51
Asma 1979
Spina Bifida 44
Neoplasia 
ganas 
payudara 4
Hodgkin 3     
Sindrom Down 13
Diabetes 10
tekanan darah
 tinggi primer 3659  
kegemukan 11
Schizoprenia 409
Diantara penyakit/kelainan genetik atau  penyakit yang dapat dipengaruhi oleh faktor genetik  hanya ditemukan satu masalah yang dipicu murni  oleh faktor genetik yaitu Sindrom Down atau   trisomy 21, yaitu penderita  memiliki kromosom nomor 21 ada 3 buah. Orang normal memiliki dua buah (satu pasang) kromosom 
nomor 21 ini. Kelebihan kromosom nomor 21  berdampak adanya kelainan fisik maupun mental, seperti kadang lidah menjulur keluar, simian crease, ,retardasi mental,hipertelorisme, klinodaktili, letak telinga di  bawah , penyakit itu dapat dipengaruhi oleh faktor  genetik.  Faktor genetik   dapat mempengaruhi  penyakit seperti asma, diabetes mellitus, tekanan darah tinggi primer, kegemukan, penyakit Parkinson, spina  bifida ,
 pemicu pasti dari tekanan darah tinggi primer  hingga saat ini masih belum  diketahui,  faktor  yang  diduga turut berperan sebagai  pemicu tekanan darah tinggi primer, seperti bertambahnya umur, stres psikologis,  genetik/hereditas. adanya satu  faktor lingkungan ditambah faktor predisposisi  genetik,  Faktor yang mungkin diturunkan secara  genetik antara lain defek transport natrium pada 
membran sel, defek ekskresi natrium dan peningkatan  aktivitas saraf .
Kejadian Schizoprenia pada Penderita laki-laki  cenderung lebih banyak dibandingkan pasien wanita terutama  di usia 20 hingga 60 tahun, 
faktor genetik juga menentukan timbulnya  schizophrenia. ini dibuktikan dengan penelitian  tentang keluarga schizophrenia dan terutama pada  anak kembar moozigot. Schizoprenia melibatkan lebih  dari satu gen , sebuah fenomena yang dinamakan   quantitative trait loci . Schizoprenia dipicu oleh beberapa gen yang 
berlokasi di beberapa tempat yang berbeda di seluruh  kromosom. ini  mengklarifikasi tingkat  keparahannya , schizophrenia juga dapat 
dipengaruhi oleh lingkungan, seperti faktor biokimia, psikologi dan sosial ,
 asma.  dipicu oleh  faktor keluarga, yaitu jika orang tua menderita asma,  maka kemungkinan anaknya menderita asma 30 %. kelainan multifaktorial, yaitu kelainan gen,  lingkungan dan interaksi antara gen dan lingkungan 
 Penyakit Parkinson  merupakan gangguan neurodegeneratif. pemicu Parkinson karena lingkungan maupun faktor genetik terutama di usia muda. Secara genetik penyakit Parkinson terjadi karena mutasi gen autosom, ada yang bersifat dominan dan ada yang bersifat resesif. Kejadian Parkinson sekitar  1 % pada usia 
69 tahun dan meningkat  3 % pada umur diatas  80 tahun. Penyakit Parkinson bisa menyerang laki laki dan pasien wanita.   Spina bifida (sumbing  tulang belakang) ini berhubungan dengan dengan  kekurangan asam folat selama masa kehamilan. 
Faktor genetik dan lingkungan (nutrisi atau terpapar  bahan berbahaya) dapat memicu resiko  melahirkan anak dengan spina bifida. Pada 95 % masalah spina bifida, ditemukan riwayat  keluarga dengan defek neural tube. Resiko akan 
melahirkan anak dengan spina bifida 8 kali lebih besar bila sebelumnya pernah melahirkan anak  spina bifida , 
 Neoplasia ganas (kanker) payudara dipicu  karena  faktor lingkungan dan 10 % karena faktor genetik   Secara genetik kanker payudara dipicu oleh  mutasi pada kromosom nomor 13 atau kromosom 17 , 
Penyakit Hodgkin (limfoma Hodgkin) mengenai semua  umur, pasien laki laki maupun pasien wanita namun jarang pada anak  berumur 10 tahun. Penyakit ini dikenal sebagai  penyakit limfosit B. Limfoma ini ditandai dengan  perubahan kromosom yang tidak acak, berulang  dengan sifat tertentu yang cenderung 
menunjukkan pola-pola. Kelainan ini berhubungan  dengan kelainan kromosom Philadelphia. Penderita  selalu memiliki kromosom Philadelphia,
penyakit Alzheimer.  diturunkan melalui gen dominan autosom. Faktor lain adalah lingkungan,  imunologi, trauma dan neurotransmiter ,



PENYAKIT infectious bovine rhinotracheitis (IBR) PADA 
SAPI DI LEMBAGA-LEMBAGA PEMBIBITAN hewan ternak 




Penyakit infectious bovine rhinotracheitis yaitu penyakit pada  kerbau  sapi  yang dipicu oleh virus dari golongan  Herpes,  pada hewan yang peka Penyakit infectious bovine rhinotracheitis ini   dapat  bersifat laten, seperti  penyakit kausa 
herpesvirus lain,
beberapa penyakit kausa viral yang harus  diperhatikan  untuk mencegah masuknya penyakit-penyakit  dan mencegah terjadinya  penolakan ekspor hewan ternak  ke luar negeri,
Penyakit-penyakit yang dipicu  oleh  kemungkinan  adanya  agen agen  penyakit yang  mengkontaminasi proses pemakaian semen untuk  Artificial Insemination (AI) dan embryo secara alamiah  teknologi Embryo Transfer (ET) yang  menerobos 
dunia veteriner. Penyebaran yang sangat luas dari AI  dan ET secara alamiah dunia peternakan hewan,  
Penyakit-penyakit  yang  termasuk  kategori group A pada pedoman OIE, yaitu: infectious bovine rhinotracheitis;  bovine viral diarrhoea (BVD),foot and mouth disease (FMD); rinderpest; vesicular stomatitis; bluetongue; lumpy skin disease; rift valley fever; enzootic bovine leukosis (EBL); 
virus-virus  yaitu; bovine spongiform  encepthalopathy (BSE); ephemeral fever,  akabane  disease,
penyakit  Akabane Disease,FMD; Bluetongue; EBL; infectious bovine rhinotracheitis; BVD; Ephemeral Fever; 
penyakit infectious bovine rhinotracheitis  secara serologik telah ada pada sapi perah, sapi potong  dan kerbau , angka prevalensi infectious bovine rhinotracheitis  meningkat dibanding tahun 1982 , prevalensi infectious bovine rhinotracheitis pada  hewan berumur muda (2–3 tahun) lebih rendah 
dibandingkan hewan yang telah berumur tua (7−> tahun). virus bovine herpes virus type 1 (BHV-1)  sebagai pemicu  penyakit infectious bovine rhinotracheitis selalu ditemukan di   semen dari hewan yang terinfeksi, baik klinis maupun 
subklinis ataupun laten ,  agen penyakit ini  bila menginfeksi hewan betina, banyak  kejadian  keguguran yang diakibatkan oleh infeksi virus pada  saluran reproduksi betina. kejadian penyakit infectious bovine rhinotracheitis sering disalahtafsirkan dan   ini yang memicu  kejadian aborsi tidak pernah  didiagnosa sebagai penyakit infectious bovine rhinotracheitis. Kejadian aborsi  selama ini masih ada,
yaitu  sebagai  masalah  alamiah ,  ini  dipicu karena masih belum banyak peternak  yang  menganggap penting arti  laporan masalah,  Banyak  hal yang membuat peternak  mengabaikan masalah  pelaporan. Padahal kejadian penyakit yang segera  dilaporkan akan memudahkan penanggulangan penyakit  sampai  tuntas dan  banyak mengurangi biaya  pengobatan dan  penanggulangannya. Terutama pada penyakit   yang cepat menular seperti infectious bovine rhinotracheitis,  
Penyakit infectious bovine rhinotracheitis pertama kali muncul  di  Colorado, Amerika Serikat pada tahun 1950, Kini penyakit itu telah menyebar di seluruh benua  Amerika ,  Penyakit ini, pada awalnya menyerang   pada saluran pernafasan, sesuai dengan namanya  penyakit “Infectious Laryngotracheitis” 
Gejala pada  gejala syaraf seperti encephalitis,  saluran pernafasan, pada saluran pencernaan, saluran reproduksi ,
Penyakit infectious bovine rhinotracheitis di Benua  Eropa pertama kali kejadiannya di Inggris  pada tahun 1958,di Benua Asia  kejadian baru ada pada tahun 1972, yaitu di Jepang, tahun 1973 di Korea  dan tahun 1974 di Iran,
Di Afrika, pada tahun 1961 dengan gejala kemajiran,
Di Amerika Selatan, tahun 1972, seperti kejadian  aborsi dan ocular carcinoma pada sapi di Argentina,Di Australia pertama kali  pada tahun 1962 dengan gejala encephalitis  pada anak sapi , di Selandia Baru pada tahun 1959,
negara yang memperlihatkan angka prevalensi infectious bovine rhinotracheitis
bahwasanya penyakit infectious bovine rhinotracheitis tidak  sulit diatasi walaupun ini perlu strategi ,
Switzerland  Swiss  harus melakukan pengendalian  penyakit  infectious bovine rhinotracheitis secara ketat dan melarang pemakaian vaksin dan 
mengidentifikasi hewan yang mengidap  infectious bovine rhinotracheitis dan jika  
terdapat infectious bovine rhinotracheitis pada hewan ternak  dilakukan pemusnahan  dengan  cara dibakar habis,  program pemberantasan penyakit 
adalah   mengembangkan tehnik pengebalan hewan ternak  i secara alamiah 
ataupun  vaksinasi ,
Berdasar  efektifitas dari imunisasi aktif  sesudah terinfeksi secara  alamiah,   kini vaksin dipakai untuk melakukan program pengendalian penyakit infectious bovine rhinotracheitis.  Vaksin yang dipakai  dapat mengalami  bentuk “modified 
live virus vaccines”dan “inactivated vaccines”. Kedua  vaksin ternyata sama-sama menghasilkan antibodi  humoral ,  Beberapa kelemahan terjadi mengalami  pemakaian vaksin  infectious bovine rhinotracheitis. Vaksin yang diberikan secara intranasal akan  menghasilkan interferon lokal dan antibodi lokal, Sub 
unit vaksin kini juga telah banyak dipakai tetapi  memperlihatkan bahwa subunit 
vaksin tidak dapat mencegah infeksi klinis akibat infectious bovine rhinotracheitis. Beberapa vaksin hidup berdampak pada terjadinya  keguguran dan dapat memicu 
endometritis,  memakai vaksin hidup intranasal dan ini  masih ada kemungkinan menjadi  penyakit  kambuh  muncul  ganas kembali. Vaksin inactive/mati banyak yang  merasakan adanya  derajat kekebalannya tidak tinggi kecuali  dengan pemakaian adjuvant yang baik ,
Keberadaan infectious bovine rhinotracheitis  secara serologis ada  pada hewan ternak  impor maupun  hewan ternak  indigineus , dengan mengidentifikasi masalah  penyakit kelamin ganas pada sapi dan kerbau,  mengisolasi agen penyebabnya,  melalui uji IFAT (indirect fluorescence technique Antibody) ternyata, adalah BHV−1 yang yaitu  agen agen  penyebab munculnya  penyakit infectious bovine rhinotracheitis dengan gejala klinis yang  menonjol pada gangguan reproduksi, 
Program penelitian penyakit infectious bovine rhinotracheitis di Balitvet 
 telah menuju kepada uji  efikasi vaksin inaktif buatan Balitvet di lapangan, 
bermula pada survai serologis penyakit ini  di beberapa daerah , Uji yang 
dipakai  adalah uji serum netralisasi. Hasil  memperlihatkan bahwa telah terdapat hewan-hewan yang  seropositif terhadap BHV-1, hewan itu pada  kerbau , sapi 
perah, sapi potong   eks impor  maupun hewan indegineus.  Balitvet 
 telah menganalisa  masalah diare ganas pada sapi  dan hasil memperlihatkan bahwa ada peran virus BHV-1 secara alamiah masalah itu  hewan hewan yang mengalami  gangguan reproduksi seperti  mastitis,aborsi, endometritis, repeat breeders, distokia,  mumifikasi ,Hasil memperlihatkan 
bahwa infectious bovine rhinotracheitis yaitu penyakit yang menonjol secara alamiah  persentasi serologis positif dari beberapa penyakit  reproduksi yang diuji yaitu ( infectious bovine rhinotracheitis,Brucellosis, Leptospirosis, Akabane, Trichomoniasis ), 
 Balitvet  telah melakukan uji  coba Vaksin inaktif buatan Balitvet dan memberikan 
respon baik secara alamiah menghindarkan hewan ternak  dari infeksi  klinis penyakit infectious bovine rhinotracheitis sesudah satu bulan divaksinasi dan 
diuji tantang pada 30 hari setelah  vaksinasi ,  tanggapan  serologis memperlihatkan titer yang tinggi  sesudah satu bulan setelah  vaksinasi. Vaksin bertahan  dengan titer tinggi hingga 4 bulan setelah  vaksinasi, 
contoh yang dipakai Organ  yang diambil sebagai contoh dari  hewan yang sakit adalah  otak/ganglia , sel foetus , mukosa hidung, sinus, mulut,  saluran kehamilan, semen, susu  dari  hewan yang aborsi. Isolasi agen penyakit pada perkembangbiakan  sel akan memberikan perubahan seperti cytophatic effect (CPE). BHV−1 akan memperlihatkan perubahan  perkembangbiakan sel dari bentuk pipih memanjang menjadi  bundar dan , membentuk buah anggur yang akhirnya  akan mengelupas, sehingga lapisan sel akan menjadi  berlubang, 
Pewarnaan H & E dari sel yang terinfeksi BHV-1  akan memperlihatkan badan inclusi secara alamiah inti sel “cow dry type A” pada inti selnya dan yaitu badan 
inklusi. Ini yaitu ciri khas BHV−1. Secara  serologi di laboratorium dapat dilakukan beberapa uji.  PCR dan hybridization technique dapat untuk  mendeteksi  DNA dari virus BHV−1, Uji yang utama adalah serum netralisasi,  uji serologi yang dapat dipakai  adalah Tuberkulin type skin test , passive haemagglutinasi,enzyme  linked immunosorbent assay (ELISA), radioactive  immuno assay (RIA), indirect fluorescent antibody  technique (IFAT), 
infectious bovine rhinotracheitis yaitu penyakit viral yang dipicu  oleh Bovine Herpesvirus Type 1 (BHV-1). Virus  termasuk genus Varicellovirus, subfamili 
alphaherpesvirinae, famili herpesviridae. Virus  termasuk double stranded DNA. Selain FAT dan uji  immunoperoksidase, identifikasi antigen dapat  dilakukan dengan menguji swab hidung, mata maupun  saluran kehamilan dengan uji PCR dan  restriction  endonuklease. Identifikasi serologis dapat dilakukan 
dengan virus netralisasi, ELISA seperti indirect ELISA  dan Blocking ELISA. 
Isolasi virus dari semen dibutuhkan  perlakuan tersendiri, karena semen bersifat toksik pada  perkembangbiakan sel. Perlakuan itu seperti pengenceran 
semen dengan foetal calf serum (FCS) sebanyak 10 kali. Pengamatan yang dilakukan adalah adanya sel  bundar disekitar CPE dan berikutnya dideteksi dengan  FAT dan  uji imunoperoksidase,
Isolasi virus dapat dilakukan dengan  memakai perkembangbiakan sel dan sel yang dipakai  dapat  seperti trakhea , Madin Darby's Bovine Kidney(MDBK),  sel primer fetus sapi dari organ ginjal, paru paru, testis,  sel lestari dari paru-paru, turbinet, 
gejala  infectious bovine rhinotracheitis : 
 penyakit  infectious bovine rhinotracheitis pada sapi , menurunnya produksi susu, 
kehilangan berat badan dan keguguran  dengan tanda   gejala seperti abortion, enteritis , encepahalitis, rhinotracheitis, infectious pustular  vulvovaginitis, balanopostitis, keratoconjunctivitis, 
sejak 1955  ada hewan hamil yang mengalami  aborsi akibat  infeksi  infectious bovine rhinotracheitis. Tetapi baru sesudah  tahun 1963 ada keberhasilan mengisolasi  virus BHV-1 dari foetus hewan yang aborsi, infeksi infectious bovine rhinotracheitis  memicu aborsi dan  aborsi  biasanya terjadi antara bulan ke-4 hingga ke-7 masa  kehamilan. Tidak ada tanda sebelumnya untuk  kejadian aborsi. Beberapa hewan terlihat sedikit  relaksasi saluran kehamilan dan vulva, Kotiledon sering pucat dan degenerasi, tidak ada lesi yang khas padafoetus,   Plasenta sering tertarik dan  mengkerut,   aborsi  terjadi karena foetus mengalami kematian,

 

Gangguan respirasi   di Colorado pada tahun 1950  yang dikenal dengan penyakit red nose, dust pneumonia, necrotic rhinotracheitis dan necrotic  rhinitis yaitu  awal kejadian penyakit  infectious bovine rhinotracheitis. Awalnya  dengan gejala  tanda kenaikan suhu badan  (40,5–42,0°C), batuk, depresi dan produksi susu 
menurun , Keluarnya cairan hidung yang bening secara alamiah  beberapa hari, mukosa cungur hidung hiperemis.  Dengan berkembangnya penyakit eksudat menjadi  purulent dan berwarna kuning keputihan, terbentuk  membran dipterik yang menutupi mukosa hidung dan  beberapa masalah cungur hidung kering dan berkerak, Bila kerak terlepas terlihat kulit cungur kemerahan  sehingga dijuluki sebagai rednose. Hipersalivasi terjadi  pada beberapa hewan, tetapi lesi mulut jarang terjadi. Terjadi tracheitis. Tahapan akut  berlangsung  5–10 hari. sesudah itu hewan biasanya kembali normal,

Encephalitis Gangguan syaraf pertama  kali kejadiannya  pada tahun 1962 di Australia pada anak sapi, Dampak pada hewan  yaitu memicu  meningoencephalitis , terjadi inkoordinasi gerakan dan berkembang menjadi ataksia. Inkoordinasi terjadi  sewaktu lari dan dengan hewan terjungkal dan jatuh. 
Jatuhnya seperti spasmus dari otot kaki, leher dan  pinggang. Hewan seperti buta, koma dan kematian  terjadi 3–4 hari sesudah onset gejala itu. Beberapa  hewan 
dapat  sembuh tetapi sebenarnya  buta,

 tahun 1958 ada isolasi  herpesvirus dari infeksi genital dari sapi yang dinamakan 
sebagai infectious pustular balanophostitis (IPV), dikenal  sebagai penyakit 
Blaschenausschlag di Jerman (synonim dari exanthema  coital vesiculosum, coital vesicular exanthema, coital  exanthema, vesicular venereal disease dan vesicular  vaginitis)  , Di Belanda isolasi virus  dilakukan pada pejantan yang menderita infectious  pustular balanoposthitis (IPB) dan orchitis. Outbreak 
IPB ada  di BIB  dan ternyata BHV-1 dapat diisolasi dari hewan yang  klinis normal ,
BHV−1 dapat diisolasi dari semen beku  dari hewan yang klinis normal di BIB. 
BHV−1 telah dapat diisolasi dari semen beku yang  diuji untuk pengendalian penyakit   dan  ada sapi yang memproduksi  semen yang telah terkontaminasi oleh BHV−1,  hewan yang memproduksi semen itu  yaitu hewan yang sedang mengalami balanophostitis, yaitu pada dua ekor pejantan dari jenis  Brangus. namun isolat lapangan juga telah didapat  dari semen pejantan yang klinis normal yaitu pada  pejantan yang juga menghasilkan  semen beku yang diuji strawnya. Balitvet hingga kini mendapat isolat  lapang virus BHV−1 sebanyak 6 isolat dan dua  diantaranya adalah hasil perlakuan stress pada sapi  perah jenis FH yang memiliki titer serologis yang tinggi (26). Stress dilakukan dengan memakai 
preparat cortison dengan dosis 40 mg/kg berat badan  selama 6 hari berturut-turut. Dua hari setelah    stress  hewan mengalami  kenaikan suhu hingga 41°C dan pada saat itu contoh yang diambil memberikan  perubahan pada perkembangbiakan sel, seperti cytophatic effect  dengan tepi yang membentuk buah anggur .

Kejadian akut biasanya berkembang 1–3 hari  sesudah kawin secara alamiah dan biasanya nyeri yang dirasa,  vulva terlihat oedema dan hiperemis dengan 
munculnya pustule ukuran 1–2 mm dan menyebar  sepanjang mukosa vulva. Pustula biasanya ditutupi  perkejuan warna kuning dan membran finfectious bovine rhinotracheitisin yang  mudah membentuk ulkus. masa  akut 
berakhir 2–4 hari, yaitu selama hewan  anorexia, demam, depresi  , Lesi biasanya sembuh secara alamiah waktu 10–14 hari sesudah terjadinya penyakit dan beberapa  hewan memperlihatkan keluarnya cairan purulent dari  saluran kehamilan dan terjadi selama beberapa minggu. IPB  berkembang sesudah 1–3 hari masa inkubasi. Lesi  sama seperti pada IPV yang berkembang pada mukosa 
penis dan preputium ,

Infeksi buatan sebenarnya dapat dilakukan dengan  cara menyuntik suntikan isolat virus asal lapangan (koch postulat)  dan dapat pula melakukan 
stress pada hewan yang serologis positif atau  memperoleh  suntikan virus ganas. Stress dapat  sebenarnya  dilakukan dengan cara  menyuntik suntikan   preparat Cortison  (bethamethasone, dihydrocortisone  ) ,  bahwa penyuntikan selama 
seminggu preparat cortocosteroid akan memicu  gejala pustular vulvovaginitis selama 7–9 hari sesudah  injeksi pertama, Gejala  yang menonjol pada kejadian infeksi buatan adalah seperti kenaikan suhu  badan yang dimulai pada hari ke 2 setelah  pemberian  preparat cortison, ini   dilihat pada infeksi  buatan dengan pemberian injeksi intravenous virus  BHV−1 isolat lapang sebanyak 1 x 108
 TCID50 dan  kenaikan suhu terjadi mulai hari kedua hingga hari ke-6  setelah  infeksi buatan,  BHV−1 dapat diisolasi dari swab  saluran kehamilan hewan yang klinis,  Antibodi didapat pada  hewan klinis dan meningkat saat kesembuhan 
muncul,




infectious bovine rhinotracheitis  muncul pada 10 hari hingga  beberapa minggu sesudah diintrodusir hewan ternak  yang terinfeksi pada golongan itu , Pada feedlot (penggemukan) biasanya terjadi  berurutan pada beberapa kandang. Jarang sekali terjadi  pada peternak  dengan sistem ranch atau dilepas. Oleh sebab itu yang sering terjadi hanya pada  penggemukan sapi potong. ini dapat  dipicu  karena   beberapa kemungkinan, antara lain karena masuknya  hewan ternak  muda yang tidak memiliki kekebalan pasif dari  induknya atau  sapi yang digemukkan berasal dari  beberapa sumber, sehingga kekebalan yang dimiliki 
bermacam ragam  yang memungkinkan hewan ternak  yang sudah terkontaminasi sudah bisa    menular nularkan kepada  sapi yang lainnya,   



biasanya IPV/IPB menular lewat pernikahan  secara alamiah, Oleh sebab itu penyakit infectious bovine rhinotracheitis terjadi pada  golongan sapi dewasa. Penyebaran penyakit   terjadi karena sapi sapi jantan  yang sudah pernah  terinfeksi  menularkan kepada beberapa sapi sapi betina   atau  karena 
pernikahan secara alamiah, karena pernikahan  melalui inseminasi buatan dari semen yang  terkontaminasi oleh virus BHV−1,  bahwa virus BHV−1 selalu ada  pada semen, baik  dari sapi yang klinis maupun sub klinis. Adanya virus 
secara alamiah semen memperlihatkan awal dari terjadinya gejala 
klinis infectious bovine rhinotracheitis pada sapi yang diinseminasi ataupun pada 
anak. ini juga memicu sering terjadinya  repeat breeders pada sapi sapi  betina, seroconversion dan  bertahannya BHV−1 pada hewan ,


disarankan  memakai semen yang  benat-benar berasal dari  sapi sapi jantan  yang seronegatif. Ekskresi virus dari  sapi sapi jantan   yang tidak ada  gejala 
klinisnya adalah bersifat intermittent dan dapat  dipengaruhi oleh adanya  perpindahan hewan ternak , stres , 

Perlu adanya perhatian khusus  pada    sapi sapi jantan  yang memiliki seroconversion panjang yang negatif, karena  kenyataannya kemudian mengekskresikan virus. para peternak   memakai trypsin 0,3% untuk menghindari 
semen yang terkontaminasi virus infectious bovine rhinotracheitis, tetapi belum  ada  yang menjamin kemampuan semen  berhasil secara alamiah IB. cara lain yaitu  memakai hiperimmune serum sebagai bahan pengencer semen,  bahwa 
infektifitasnya dapat dihindarkan tanpa memicu  gangguan fertilitas secara alamiah IB. sama seperti  pada  BHV-1 yang ada  secara alamiah ,  cairan flushing dari donor yang terinfeksi infectious bovine rhinotracheitis dan  tidak hilang dari zona pellucida yang melekat pada  blastocyst,  namun  bila secara rutin dengan pencucian  memakai trypsin, semua virus akan mengalami inaktifasi. juga pada penelitian lain  yang  mengungkapkan  bahwa embryo yang dicuci dengan trypsin
dapat terbebas dari virus BHV−1,   pemakaian  trypsin pada embryo selama 2–3 menit, tidak   mengurangi embryo survival dan malahan  meningkatkan daya cryopreservation. Tanpa trypsin,  embryo yang terinfeksi infectious bovine rhinotracheitis bisa  ditular tularkan pada semua   hewan hewan  yang sehat  . Ada  yang memakai  haematophorphysin atau turunannya pada media untuk 
blastocyst dan disinari dengan sinar terang ,



 diagnosa penyakit infectious bovine rhinotracheitisn  yaitu Uji serum  netralisasi dan isolasi virus  dipakai  untuk  mengetahui adanya hewan yang terinfeksi dan hewan  yang bersifat pembawa penyakit. namun kedua uji  itu  memerlukan  
persyaratan laboratorium yang canggih  ,  Deteksi  virus pada hewan yang terinfeksi secara laten,   diawali dengan pemberian kortikosteroid agar hewan 
menjadi stress. Sehingga  dapat melakukan isolasi , 
Keberhasilan pengawasan penyakit  akan dapat dicapai melalui 
beberapa tahapan ,antaralain : 
menolak adanya hewan jantan  yang serologi  positif terhadap BHV-1 di Balai Inseminasi  Buatan,  sebagai  jaminan   produksi semen beku yang dihasilkan,    Lembaga  perlu menjamin  terlaksananya peraturan nasional maupun internasional  , terlihat dari penanganan hewan ternak  terhadap penyakit infectious bovine rhinotracheitis,   lembaga karantina  disarankan  memisah misahkan antara hewan ternak   komersial  dan hewan ternak  bibit ,
apakah  serologis positif adalah akibat vaksinasi  atau akibat infeksi secara alamiah. Ada  uji yang  dapat digunakan, Padahal uji itu  telah dilakukan untuk penyakit  penyakit menular lainnya,
melestarikan Mempertahankan kelangsungan hidup  hewan  hewan  ternak  yang sudah terbukti  bebas  BHV−1, perlu  dilakukan uji dua kali setahun,   hewan hewan yang positif BHV−1 dilakukan vaksinasi bertahap , terutama  dengan vaksin mati guna mencegah infeksi laten, Hindari  pemakaian vaksin hidup, 
pemakaiannya dapat dilakukan bila ada outbreak pada beberapa golongan hewan dan  pengawasan  hewan yang telah divaksinasi  ketat,hewan ternak  bibit, yaitu  hewan ternak  yang dipakai oleh Balai Inseminasi Buatan atau Balai Embryo  Transfer dan lembaga pembibitan hewan ternak  yang ada di 
beberapa daerah daerah wajib mengimpor hewan ternak  dari 
negara yang bebas  penyakit infectious bovine rhinotracheitis.  
hewan ternak  bibit dapat diimpor dari negara yang tidak bebas 
penyakit infectious bovine rhinotracheitis asal  hewan itu sudah pernah  divaksinasi  minimal  1 tahun  sebelumnya  di negara asalnya ,Menghindari  faktor resiko yang  kemungkinan akan muncul  pada 
inseminasi buatan,  Memisah misahkan hewan yang positif dengan  yang negatif, cegah adanya  impor hewan yang positif  embryo dan semen yang sudah pernah  terkontaminasi virus BHV−1, 

PENYAKIT KULIT  TINEA CORPORIS


dermatofitosis infeksi Penyakit kulit Tricophyton rubrum  memicu tinea 
korporis  dapat berkembangbiak  di area  yang beriklim tropis dan kelembabannya tinggi , banyak dialami  oleh pasien yang menjaga  kebersihan ,
  Tricophyton tonsuran  memicu tinea kapitis,  pasien  pengidap  infeksi tinea kapitis antropofilik  akan berkembang menjadi tinea korporis, meskipun  prevalensi tinea korporis  dapat dipicu oleh peningkatan Tricophyton tonsuran, Microsporum canis  merupakan organisme ketiga  yang memicu tinea korporis,  adanya hubungan   penyakit Tinea Corporis dengan kegemukan grade I , Tinea korporis adalah penyakit dermatofitosis. Dermatofitosis adalah 
infeksi jamur superfisial yang dipicu genus dermatofita, yang dapat mengenai kulit, rambut dan kuku. Pada kulit glabrosa, selain  telapak tangan kaki, janggut, lipatan paha,kulit kepala, wajah, kaki,  pasien bertubuh gemuk 
yang  setiap beraktivitas ringan  berkeringat, selalu  memakai baju  lengan panjang dan celana panjang  yang tebal dan  ketat. dengan keluhan gatal-gatal pada sekitar pusar, dirasakan pasien sejak hampir 2 minggu. Rasa gatal 
timbul setiap saat terutama saat beraktivitas,   sering menggaruknya 
untuk mengurangi rasa gatal . Keluhan gatal dirasakan makin menjadi 
ketika berkeringat. Bila pasien telah menggaruk bagian yang gatal   langsung merah dan terasa perih. tidak bertukar pakaian  memakai handuk secara bergantian dengan orang lain , tidak ada  Riwayat alergi, Hipertensi, DM 
Di keluarga pasien tidak ada yang  menderita penyakit itu.  pasien tidak pernah 
merokok ataupun minum-minuman beralkohol. tampak lesi hiperpigmentasi di regio umbilikalis, gluteus, poplitea  dengan papul-papul multiple diatasnya, dan terdapat krusta bekas digaruk, tepi  aktif. Pada kepala, mata, telinga, hidung dalam batas normal, mulut, leher, paru,  jantung, abdomen semua dalam batas normal. Regio pulmo dan cor dalam batas  normal, abdomen cembung simetris. Ektremitas superior dan inferior dalam batas  normal.penelitian masalah pada pasien  dengan  analisaklinis Tinea korporis dan mengalami kegemukan grade I. Tinea korporis  adalah penyakit dermatofitosis. Dermatofitosis adalah infeksi jamur superfisial  yang dipicu genus dermatofita, yang dapat mengenai kulit, rambut dan  kuku.pada kulit glabrosa, selain kulit kepala, wajah, kaki, telapak tangan dan kaki,  janggut dan lipatan paha. Penyebab  adalah : Mikrosporon gipseum, M.kanis, M.audolini. T.violaseum, T.rubrum,  T.metagrofites. 
akibat infiltrasi dan proliferasinya pada stratum korneum dan tidak berkembang 
pada jaringan yang hidup. Bentuk dimulai dengan lesi-lesi yang bulat  atau lonjong dengan tepi yang aktif. Dengan perkembangan ke arah luar maka  bercak-bercak bisa melebar dan akhirnya dapat memberi gambaran yang  polisiklis, arsiner, atau sinsiner. Pada bagian tepi tampak aktif dengan tanda-tanda  eritema, adanya papel-papel dan vesikel, sedang  pada bagian tengah lesi relatif  lebih tenang. Predileksi tinea korporis banyak adanya pada wajah, badan, 
lengan dan kaki bagian atas ,  Gejala subyektif yaitu gatal, dan  terutama jika berkeringat. Gejala obyektif yaitu efloresensi, terlihat makula atau  plak yang berwarna merah atau hiperpigmentasi dengan tepi aktif dan daerah bagian tengah lebih tenang (central healing). Pada tepi lesi dijumpai papul-papul 
eritema atau vesikel.Kadang-kadang terlihat erosi dan krusta akibat garukan. Lesilesi pada umumnya merupakan bercak-bercak terpisah satu dengan yang lain.  ada  lesi dengan pinggir yang polisiklik,karena beberapa lesi kulit yang 
menjadi satu. Metabolisme dari jamur  memicu efek toksik dan respon 
alergi. Tinea korporis  banyak di daerah tropis , pada semua umur dan paling 
sering terjadi pada iklim yang panas ,  Ada beberapa macam variasi klinis dengan lesi yang bervariasi dalam ukuran derajat inflamasi dan  kedalamannya. Variasi ini akibat perbedaan imunitas hospes dan spesies dari  jamur. Pengobatan dapat dilakukan secara topikal dan sistemik.   banyak pilihan obat untuk  dermatofitosis, baik dari golongan antifungalkonvensional atau antifungal . Tinea 
korporis  ditularkan  secara langsung dari infeksi manusia atau hewan 
melalui autoinokulasi dari reservoir, seperti kolonisasi T.rubrum di kaki. Anak anak lebih sering terkena   zoofilik patogen seperti M.canis pada kucing atau 
anjing. Tinea korporis mengenai semua orang  tapi prevalensinya lebih tinggi pada preadolescen. Tinea  korporis yang berasal dari binatang  lebih sering terjadi pada anak-anak. Berdasar  habitatnya dermatofit digolongkan sebagai  geofilik (tanah) antropofilik (manusia), zoofilik  (hewan),  Dermatofit yang antropofilik paling  sebagai  sumber infeksi tinea, tetapi sumber yang zoofilik di identifikasi untuk mencegah reinfeksi manusia. Pada manusia jamur hidup di lapisan tanduk. 
Jamur itu melepaskan toksin yang bisa memicu peradangan dan iritasi 
berwarna merah dan gatal ,  Infeksinya bisa berupa bercak-bercak  warna hitam putih, merah  di kulit dengan bentuk simetris. Ada pula infeksi  yang berbentuk lapisan-lapisan sisik pada kulit. itu tergantung pada jenis  jamur yang menyerang. Masuknya jamur dalam tubuh  melalui : Luka kecil  pada kulit, pada  golongan dermatofitosis,kromoblastomikosis,  Melalui saluran pernafasan, dengan mengisap elemen  elemen jamur, seperti pada histoplasmosis Melalui sentuhan 
luka atau aberasi kulit, seperti golongan dermatofitosis.
pemicu  infeksi jamur antara lain kondisi lembab dan  panas dari lingkungan, 
keringat berlebihan karena berolahraga , trauma  minor (gesekan pada paha orang gemuk), keseimbangan flora tubuh normal  terganggu (antara lain karena pemakaian antibiotik, atau hormonal dalam jangka panjang), penyakit tertentu, seperti  HIV/AIDS,  haid ,diabetes, kehamilan   karena ketidakseimbangan hormon dalam  tubuh sehingga rentan terhadap jamur)  kelainan pada kulit tergantung pada faktor virulensi dari dermatofita (dimana virulensi bergantung pada afinitas jamur, .apakah Antrofilik, Zoofilik,  Geofilik) kemampuan  jamur dalam 
menghasilkan keratinasi dan mencerna keratin di kulit.
Yang kedua adalah faktor trauma (dimana kulit yang utuh tanpa lesi-lesi 
kecil, lebih susah untuk terserang jamur), faktor suhu dan kelembaban yang 
sangat berpengaruh terhadap infeksi jamur, keadaan sosial ekonomi dan 
kurangnya kebersihan memicu  infeksi jamur 
  Faktor genetik menentukan mekanisme pengaturan berat badan normal 
melalui pengaruh hormon dan neural, Energi dari aktivitas fisik sehari-hari 
yang dipakai berkurang seiring  kemajuan  teknologi,  
pasien yang  gatal-gatal karena   adanya lesi hiperpigmentasi berbentuk plakat di regio umbilikalis, gluteus  dan poplitea dengan papul-paul multiple diatasnya krusta bekas digaruk dan tepi  aktif. Untuk menunjang analisa   dilakukan pemeriksaan laboratorik. pengobatan  golongan  antifungal adalah dengan pemberian ketokonazol 1 x 200 mg sesudah makan,  topical diberikan salep miconazole dioleskan 2-3x/hari setelah mandi dipakai  selama 2-4 minggu, Cetirizin tablet 2x10mg dan Vitamin C tablet 1x1.yang memakai  preparat antijamur  derivat azol, yaitu ketokonazol  preparat  azol efektif untuk dermatoterapi tinea korporis mampu mencegah terjadinya residitif , 


PENYAKIT CELIAC


Penyakit celiac adalah penyakit enteropati  proksimal  terjadi karena interaksi antara diet yang  mengandung gluten dengan sistem imun di usus,  yang berhubungan dengan  sistem imun yang bersifat reversibel,Penyakit celiac mempunyai bentuk gejala/manifestasi klinis yang beragam dan bisa terjadi pada berbagai usia,penyakit ini jarang ditemukan di negara yang  konsumi glutennya  rendah, seperti di negara asia tenggara, 
bentuk gejala/manifestasi klinis penyakit ini ,antaralain  saluran cerna, gejala di luar saluran cerna, atau tidak dengan gejala,
Gejala klasik yang berhubungan dengan saluran cerna di antaranya yaitu  penurunan berat  badan karena malabsorbsi,diare, steatorea,    50% pasien  menampakkan gejala di luar saluran cerna atau  gejala atipikal seperti hipoplasia enamel gigi,anemia, osteoporosis, dermatitis herpetiformis, gejala neurologi, 
 Pada penyakit celiac yang menampakkan gejala, terapi  dengan diet bebas gluten akan memperbaiki gejala secara menonjol,  memperbaiki ketidaknormalan  biokimia ,Pengobatan waktu lama bisa mengurangi risiko keganasan dan komplikasi lainnya. pada pasien penyakit celiac yang dalam waktu lama  tidak diterapi,akan  meningkatkan risiko komplikasi keganasan  mortalitas.,
Pada penyakit celiac tidak dengan gejala,  penting untuk mempertahankan diet  bebas gluten , pasien yang terdeteksi menderita  penyakit celiac saat skrining dan asimptomatik bisa  diatasi  dengan diet bebas gluten. Sedangkan, 
Prevalensi penyakit celiac  meningkat disebabkan oleh  membaiknya alat pemeriksaan dan skrining ,
 pemicu  tingginya frekuensi penyakit celiac  masih belum diketahui , mungkin berhubungan  dengan perubahan  faktor genetik atau  pola diet ,
Penyakit celiac  ditemukan pasien anak dengan  gejala berat berupa gagal tumbuh, diare kronik, distensi abdomen , saat  gejala hanya  berupa penurunan berat badan  fatiq, diare, akibat  malabsorpsi,  gejala neurologis, Penyakit celiac berhubungan dengan Human  Leukocyte Antigen (HLA)-DQ2 dan HLA-DQ8,
 HLA-DQ2  ada  pada hampir >95% pasien dengan penyakit celiac  sedang sisanya pembawa HLA DQ8 ,.

Penyakit celiac adalah kelainan inflamasi  dengan pencitraan autoimun yang memengaruhi pasien  yang mempunyai predisposisi genetik. Penyakit ini dipicu 
oleh makanan yang mengandung gluten dan protein  lainnya yang ada  pada  gandum  hitam  dan  barley , Interaksi antara faktor genetik dan lingkungan 
memicu  hilangnya toleransi terhadap gluten dan  berkembangnya lesi di usus halus,  itu ditandai  dengan munculnya destruksi sel epitel, remodelling mukosa,   munculnya autoantibodi  terhadap enzim tissue transglutaminase type 2 (tTG2),  meningkatnya jumlah limfosit pada epitel dan  lamina propria, hilangnya vilus usus halus,  Lesi pada usus halus yang mengalami inflamasi  akan membaik jika dilakukan diet bebas gluten,  Pasien  celiac juga  mempunyai  perubahan  yang memengaruhi proses pencernaan  pada lumen usus halus. Perubahan itu terjadi 
melalui aksi langsung peptida gluten pada epitel dan  protein transport gluten yang melintasi epitel menuju  lamina propria di mukosa,  tanggapan imun yang tidak tepat terhadap protein  gluten ada  pada penyakit celiac yang melibatkan 
sistem imun alamiah  adaptif. Elemen kunci pada  patogenesis penyakit celiac adalah aktivasi sel T CD4 pada  lamina propria yang ada di mukosa sesudah pengenalan  terhadap ikatan antara TG2-deamidated gluten peptides  dengan molekul major histocompatibility complex class  II (MHC-II) yang dinamakan  HLA-II pada manusia,  mekanisme  TG2 , antaralain:   transformasi beberapa residu glutamin menjadi  asam glutamat, memicu  pajanan muatan negatif dan 
meningkatnya afinitas antara molekul HLA-DQ2 dan atau  HLA-DQ8 dengan fragmen peptida yang resisten terhadap  enzim pencernaan yang bersifat proteolitik. Aktivasi sel T  CD4 memicu tanggapan sitokin T helper (Th)-1 pro inflamasi  yang didominasi interferon (IFN)-ɤ, sitokin lainnya seperti  IL-21,tumor necrosis factor (TNF)-α, interleukin (IL)-18, 0
Aktivasi tanggapan sel T CD4  terhadap gluten  (sistem imun adaptif) tidak  kuat untuk memicu lesi  mukosa yang khas untuk penyakit celiac,lesi yang terjadi di mukosa  proksimal usus halus bisa memicu  menurunnya ambilan nutrisi dan  malabsorbsi , tanda gejala bermacam ragam tergantung derajat atrofi mukosa,
 Beberapa peptida  gluten seperti p31-49  ,α-gliadin p31-43  menginduksi 
perubahan sistem imun alamiah melalui aksi langsung  pada epitel, ini  terjadi melalui peningkatan ekspresi CD25, CD83 ,IL-15, cyclooxygenase (COX)-2, yang adalah  penanda aktivasi sel mononuklear di lamina propria. Pada  saat yang sama , sel epitel meningkatkan ekspresi  dari HLA-E  dan ligan MIC . Kerusakan epitel memicu   peningkatan permeabilitas usus halus yang .kemudian  memicu  munculnya  malabsorbsi.

bentuk gejala/manifestasi klinis
bentuk gejala/manifestasi klinis penyakit celiac termasuk  asimptomatik,gejala 
klasik, gejala non klasik, Gejala non klasik yaitu  gejala saluran cerna dan atau  gejala ekstraintestinal, Gejala klasik  yaitu  gejala dan tanda malabsorbsi berupa gagal tumbuh,diare,  steatorea, penurunan berat badan,,
Manifestasi Saluran Cerna
Manifestasi klasik penyakit celiac ada  pada pasien anak, terutama gejala saluran cerna dengan  malabsorbsi   seperti konstipasi,penurunan berat badan  ,diare kronik, nyeri perut, distensi, gagal tumbuh ,Pada pasien  remaja  dewasa Manifestasi klasiknya yaitu  sindrom kolon iritabel. 
Manifestasi Ekstraintestinal
termasuk  densitas tulang yang rendah , osteoporosis.,pubertas terlambat , perawakan  pendek, Fatig , anemia kekurangan besi , dermatitis herpetiformis ,  lesi yang simetris ,  ruam yang gatal , Ulkus aftosa di mulut ,  hipoplasia enamel gigi , 
pasien dewasa  penyakit celiac mengalami  Neuropati perifer, kejang, ataksia,  gangguan fungsi kognitif ,komplikasi  penyakit celiac yaitu Infertilitas dan keguguran  akibat  tidak diterapi  wanita  penyakit celiac tidak mempunyai masalah dengan kesuburannya ,
pasien  dewasa muda yang terkena penyakit celiac akan  mengalami  aterosklerosis dini,  komplikasi mikrovaskuler  mempercepat .terjadinya diabetes melitus tipe 1,  adanya kardiomiopati dan karditis pada pasien  celiac, tetapi belum ada bukti yang kuat  mengenai hubungan keduanya. 
Hepatitis celiac terjadi pada  pasien yang  dievaluasi karena peningkatan transaminase kriptogenik, Pasien jenis  itu dapat  sembuh sesudah 6-12 bulan 
diterapi dengan diet bebas gluten. tetapi,  pasien juga bisa mengalami fibromialgia atau artralgia  yang tidak selalu tanggap   dengan diet bebas gluten,
Neuropati perifer bisa  dimulai  pada  pemeriksaan penyakit celiac dan tampak 
terjadi pada  kebanyakan  pasien. pasien anak  penyakit  celiac mengalami Kejang, pusing  gangguan belajar, perkembangan terhambat, hipotonia , gangguan pemusatan perhatian,  hiperaktivitas , pasien dewasa penyakit  celiac mengalami kelainan psikiatri, seperti depresi atau  perubahan psikosis,
Diet bebas gluten akan memicu  pemulihan anemia kekurangan besi dalam waktu 6-12 bulan,  namun akan  sembuh  dalam seminggu,
Pasien  penyakit celiac  mengalami  kekurangan nutrisi terutama vitamin B12, vitamin B6,  zinc,zat besi, vitamin D, asam folat, 
 pasien penyakit celiac  yang  kekurangan asam  folat dan vitamin B12 akan mengalami anemia makrositik yang  sulit dideteksi pada pasien yang juga mengalami  anemia kekurangan besi. Kelainan neurologi telah tampak 
yang berhubungan dengan malabsorbsi dari vitamin D,vitamin B12, asam folat, tembaga, 
Perbedaan  antara pasien anak  dan pasien dewasa adalah bentuk gejala/manifestasi klinis dari penyakit saat  diperiksa,  bahwa  malabsorbsi sering ada  
pada pasien anak,  pasien penyakit celiac  kadang bisa mengalami  Kelainan Autoimun ,  Penyakit tiroid autoimun dan diabetes melitus tipe 1  pada  Penyakit celiac, diabetes melitus tipe 1,  penyakit  tiroid autoimun berhubungan dengan alel HLA yang  berisiko, yaitu HLA-DQ2 dan atau DQ8,  Selain itu, bisa  pula berkaitan dengan kekurangan hormon pertumbuhan,sindrom Sjogren, penyakit Addison, kelainan paratiroid, 

Perbedaan bentuk gejala  penyakit celiac berdasarkan usia
pasien anak pasien anak Dewasa
<2 tahun             >2 tahun 
Iritabel    Pertumbuhan terlambat  Artritis
Atrofi otot  Sakit kepala  Peningkatan transaminase
Anemia    Pubertas terlambat    Manifestasi ekstraintestinal
Diare  Diare  Dispepsia/sindrom kolon iritabel
Malnutrisi  kekurangan besi  kekurangan besi
Kembung    Nyeri perut    Konstipasi
Muntah    Dispepsia    Osteoporosis

pemeriksaan
 Selama dilakukan pemeriksaan itu, pasien  harus menjalani diet yang mengandung gluten,
 pasien penyakit celiac yang tidak diterapi   mengalami kekurangan sejumlah 
mikronutrien , kekurangan mikronutrien yang  diidentifikasi meliputi vitamin B6 besi, asam folat, vitamin B12, kekurangan vitamin D memicu Densitas tulang yang rendah pada pasien penyakit  celiac yang tidak diterapi ,  kekurangan mikronutrien 
itu bisa menetap sesudah menjalani diet bebas gluten.  Untuk mengevaluasi kekurangan mikronutrien, evaluasi diet  oleh dietisian yang terlatih, baik pada saat pertama pemeriksaan dan  sesudah menjalani diet bebas gluten bisa membantu untuk  identifikasi kekurangan nutrien, Strategi  berdasar   sistem  imun meliputi pencegahan aktivasi sel T atau tanggapan  imun alamiah dan adaptif seperti yang diinduksi toleransi  terhadap gluten, 
banyak target  imunopatogenetik yang diteliti untuk alternatif terapi non.diet untuk penyakit celiac. Penelitian itu antaralain: memblok ikatan gliadin 
terhadap HLA-DQ2,menghambat tTG yang mengiduksi  potensiasi peptida gliadin, 
perkembangan zat untuk mendegradasi atau membantu pencernaan gluten pada diet, mencegah peptida gluten  melewati sawar epitel, 
Penyakit celiac adalah kondisi inflamasi yang  berlangsung terus-menerus yang menimbulkan efek  terhadap berbagai sistem organ, 
Tidak ada  perbedaan  pemantauan pasien yang  simptomatik dan asimptomatik.  pasien harus dievaluasi untuk kondisi autoimun   yang sering ditemukan bersamaan pada saat  diperiksa, seperti penyakit hati  dan tiroid , 
 pasien harus diperiksa minimal dua kali  dalam satu tahun pertama sesudah pemeriksaan untuk pencitraan serologi ,pemantauan  gejala, kepatuhan diet, nutrisi, indeks massa tubuh,   untuk memperoleh   pencitraan serologi yang normal membutuhkan   waktu, penurunan  selama satu tahun 
pertama menampakkan tanda adanya kepatuhan  terhadap diet bebas gluten. pasien yang  tidak menampakkan pencitraan serologi yang mengalami 
perbaikan harus dievaluasi kembali terhadap pajanan gluten yang berkepanjangan. densitas tulang  yang rendah adalah manifestasi ektraintestinal yang  ada  dari penyakit celiac, sehingga disarankan  evaluasi  memakai densitometri pada satu tahun pertama sesudah pemeriksaan, 
 Pengulangan  analisis biopsi 6 bulan sampai dengan 2 tahun  sesudah pemeriksaan memungkinkan dokter untuk menilai  tanggapan pasien terhadap terapi dan kepatuhan diet bebas  gluten, yaitu untuk pasien dengan sedikit penyembuhan  mukosa. bahwa  biopsi usus halus adalah  evaluasi pada pasien bergejala  persisten,

Endoskopi
Pemeriksaan endoskopi  kurang peka   dan spesifik untuk mendeteksi penyakit celiac, Namun , pencitraan  pada endoskopi meningkatkan kecurigaan ke arah penyakit celiac  yaitu : 
1. penurunan jumlah lipatan,ukuran dan atau hilangnya lipatan dengan insuflasi 
maksimum;,
2.hilangnya vilus usus halus,
3.pencitraan  granular dari bulbus duodenum. jika ada   pencitraan itu, maka biopsi mukosa usus halus harus  diambil. Biopsi melalui endoskopi harus tetap dilakukan  walaupun pencitraan tonjolan terlihat normal namun  ada kecurigaan klinis. Sebab, banyak pasien dengan  penyakit celiac mempunyai tonjolan normal.5
walaupun uji serologi adalah uji yang peka,  biopsi usus halus , pemeriksaan 
serologi sebagai  langkah pertama untuk evaluasi penyakit celiac,
4. fisura di sepanjang lipatan dan pola mosaik dari mukosa,
5. lipatan  yang semakin mendatar,

Biopsi Usus Halus dan Histopatologi
Kombinasi ketidaknormalan  vilus yang tampak  dari biopsi  usus halus dengan uji serologi yang positif adalah  standar pemeriksaan  penyakit celiac, 
Klasifikasi   Marsh20 yang direkayasa mengenai ketidaknormalan   vilus 
 dipakai untuk menilai derajat keparahan  atrofi vilus , Perubahan histologi yang 
terlihat pada penyakit celiac  bukan  patognomonik. Sebab, perubahan itu bisa juga  ditemukan pada infeksi parasit,
Kapsul Endoskopi
Kapsul endoskopi yaitu  metode alternatif untuk  evaluasi identifikasi penyakit celiac dan  komplikasi, Kapsul endoskopi  mampu  mengenali .penyebaran acak dari kerusakan dan penyebaran longitudinal ke  mukosa. Keterbatasan  dari pemeriksaan ini yaitu  kurangnya kemampuan untuk melakukan biopsi. 
pemakaian  kapsul endoskopi untuk pemeriksaan penyakit celiac terbatas 
untuk pasien yang menolak endoskopi saluran cerna atas dan  untuk mengevaluasi pasien dengan penyakit non-tanggapanif,  yaitu investigasi komplikasi seperti  neoplasia  jejunitis ulseratif ,Penanda  penyakit celiac menjadi lebih akurat dengan memakai  kapsul endoskopi jika dibandingkan dengan endoskopi  . 
Hasil pemeriksaan serologi yang positif dengan  hasil biopsi yang tipikal untuk penyakit celiac seperti  limfosit intraepitelial, hiperplasia kripta, dan atropi vilus 
menandakan adanya  penyakit celiac, Biopsi ulang saat diet  bebas gluten tidak diperlukan  untuk pemeriksaan   panyakit celiac, pada  pemeriksaan penyakit celiac, disarankan   mengambil  contoh uji biopsi minimal 4 sampai 6  area dari 
duodenum, dengan 2  sampel dari regio bulbus, Biopsi  dari bulbus duodenum harus diinterpretasikan secara hati  hati, sebab kondisi lain bisa mempunyai pencitraan histologi  yang sama dengan penyakit celiac,

Uji Serologi
 uji serologi  sebagai  uji pertama  pasien , Karena kepekaan dan spesifisitasnya yang  rendah, pemeriksaan antibodi antigliadin tidak lagi  disarankan sebagai uji pertama. uji  endomysial antibody (EMA)  mempunyai kepekaan  dan spesifisitas yang lebih tinggi tetapi  harganya lebih mahal,  
Pemeriksaan IgA tTG sebagai  uji serologi untuk pemeriksaan  penyakit celiacPemeriksaan tissue transglutaminase (tTG) juga mempunyai  kepekaan dan spesifisitas yang lebih tinggi, 
 pasien dengan kekurangan IgA, telah  ditemukan uji yang terbaru berupa pemeriksaan antibodi  deaminated gliadin peptide (DGP). Pemeriksaan itu 
ditemukan  15 kali lebih sering pada pasien dengan  penyakit celiac jika dibandingkan populasi umum,  Pada penyakit celiac  ditemukan kekurangan 
IgA.  pasien yang rentan  penyakit celiac, maka dilakukan pengukuran kadar IgA ,
 Pengukuran  kadar total IgA pada saat pertama pemeriksaan dilakukan 
untuk menentukan kecukupan kadar IgA. jika kadar  IgA rendah,  selanjutnya yaitu  pemeriksaan uji  serologi berbasis IgG. Pemeriksaan IgG DGP  atau  IgG tTG lebih disarankan  pada kondisi itu. Jika  pemeriksaan IgA tTG menampakkan hasil negatif, maka mungkin terjadi  kekurangan IgA. namun  tidak semua pemeriksaan bisa mendeteksi hal itu  dengan akurasi  tinggi  atau hasil negatif,  ada  keterbatasan data terhadap kepekaan masing-masing  pemeriksaan untuk penyakit celiac pada kekurangan IgA  yang diperkirakan sekitar .90% dan menjadi lebih  tinggi jika uji itu dikombinasikan. Jika ada .kecurigaan penyakit celiac yang tinggi, maka perlu  dilakukan  biopsi usus halus  walaupun uji serologi menampakkan hasil  negatif. kekurangan IgA juga bisa ditemukan pada penyakit 
lain yang bisa memicu  atrofi vilus usus seperti  pada kondisi imunokekurangan, giardiasis, pertumbuhan yang berlebihan dari bakteri di  usus halus, 
 pemeriksaan EMA  dan  tTG  kurang peka pada pasien anak usia <2 tahun. Pada usia ini,  kepekaan anti-gliadin antibody (AGA) dan DGP lebih  tinggi dibandingkan  EMA  dan  tTG,   AGA mempunyai  kepekaan dan spesifisitas yang rendah dan tidak disarankan untuk uji penapisan penyakit celiac.  walaupun uji DGP kurang baik jika dibandingkan uji   EMA  dan  tTG   ,  tetapi uji itu lebih superior dari AGA. Karena   itu, disarankan  untuk mengkombinasikan uji DGP dan  tTG untuk penapisan pada pasien anak, 

kondisi  enteropati HIV,  enteropati , imunokekurangan  yang dipicu karena alergi obat seperti susu sapi,  Penyakit celiac  mengenai mukosa  proksimal usus halus dengan kerusakan yang menurun  secara bertahap di distal usus halus. tetapi, 
pada penyakit  berat, lesi bisa meluas ke  area yang lebih distal. Lesi di duodenum atau jejunum  bagian atas bisa tidak lengkap sebagai akibat pengambilan 
contoh uji  mukosa yang tidak cukup. 4  sampai 6   contoh uji   biopsi harus diambil dari bulbus duodenum dan  dari bagian kedua duodenum  ,  Biopsi harus diambil ketika  pasien menjalani diet yang mengandung gluten minimal 3 
gram gluten/hari selama dua minggu,  pemeriksaan histologi yang negatif memerlukan  biopsi yang kedua pada pasien tertentu yang mempunyai antibodi 
positif, seperti  EMA  ,titer anti-tTG, anti DGP  yang tinggi,
 beberapa sifat  histologi   penyakit  celiac yang menjalani diet mengandung gluten yang bisa  dilihat  dengan mikroskop cahaya,   Beberapa 
sifat  itu, antaralain  : 
1. infiltrasi sel  mononuklear ke dalam lamina propria, 
2. perubahan  epitel, meliputi ketidaknormalan  sel epitel,
3.peningkatan densitas limfosit intraepithelial >25/100 sel epitel,
4.hiperplasia kripta dengan  penurunan rasio vilus/kripta,
5.atrofi vilus,

Tabel   Klasifikasi Marsh yang direkayasa dari kerusakan usus halus 
yang diinduksi gluten
tahap 0     
Keterangan:
 Preinfiltratif mukosa ; sampai 40 % dari pasien dengan gluten ataksia 
dermatitis herpetiformis  yang mempunyai  contoh uji biopsi usus halus mendekati normal,
tahap 1
Keterangan:
 Peningkatan jumlah limfosit intraepitelial lebih dari 25-100 enterosit dengan rasio kripta /vilus normal,
tahap 2
Keterangan:
 Hiperplasia kripta, sebagai tambahan karena peningkatan  limfosit intraepitelial, ada peningkatan kedalaman  kripta tidak dengan pengurangan ketinggian vilus, 
tahap 3
Keterangan:
 Tidak adanya tonjolan vilus. adalah lesi klasik penyakit  celiac. ada  pada 50 % pasien  dermatitis herpetiformis. walaupun ditandai dengan perubahan 
mukosa , banyak pasien asimptomatik dan  digolongkan  sebagai penyakit celiac subklinik. Lesi  ini khas, tapi tidak patognomonik untuk penyakit celiac, 
ada pada   tropical sprue , kekurangan imunoglobulin,giardiasis berat, alergi makanan  pada pasien anak, sindrome post enteritis, penyakit graft  versus host, iskemia kronik usus halus, 
Tes Genetik
HLA-DQ8 (6%)  atau HLA-DQ2 (93%) ada pada  sebagian besar penderita penyakit celiac. Hasil  negatif dari kedua pemeriksaan itu mengabaikan   pemeriksaan penyakit celiac (nilai prediksi negatif >99%), namun  nilai prediksi positif dari pemeriksaan  genotipe HLA sangat rendah yaitu sekitar 11%. , karena sebagian besar pasien yang  tidak memiliki  penyakit celiac mempunyai gen HLA-DQ8 atau HLA-DQ2 , Prevalensi HLA-DQ2  pada manusia bermacam ragam  antara 0-40%, sedang Prevalensi   HLA-DQ8   pada manusia  bermacam ragam     antara 0-20%.
 Pemeriksaan genotip 
HLA berkhasiat  pada pasien yang  dicurigai. mengidap   penyakit celiac tetapi gagal tanggapan dengan diet bebas  gluten. Hasil uji yang negatif menandakan  bahwa  pasien itu tidak menderita penyakit celiac. Sebanyak  <1% pasien dengan penyakit celiac menampakkan hasil  negatif dari  HLA-DQ8 dan  HLA-DQ2 sehingga harus  mencari kemungkinan pemicu lain ,
Pemeriksaan  HLA  ini  untuk identifikasi pasien  yang secara genetik 
tidak berisiko menderita penyakit celiac,
Pemeriksaan HLA  dipakai untuk pasien  yang  tidak pernah  menjalani pemeriksaan yang tepat untuk penyakit celiac sebelum menjalani diet bebas gluten dan untuk pasien  yang sembuh dengan diet bebas gluten,



pengobatan
 karena sampai saat ini belum  ada pengobatan yang tepat dan aman untuk mencegah  kerusakan mukosa karena pajanan  gluten, maka  pengobatan penyakit celiac yaitu dengan Diet bebas gluten, Sumber  gluten dari diet adalah gandum hitam,gandum, barley,  istilah bebas gluten mengacu  pada eliminasi komplit semua sumber yang mengandungkan  gluten, pada kenyataannnya tidak mungkin dilakukan  karena adanya kontaminasi makanan dengan sedikit  
 gluten. maka , istilah bebas gluten  menandakan  diet yang mengandung gluten dengan  kadar terendah yang tidak berbahaya,  namun Kadar gluten yang  tidak memicu   bahaya belum diketahui. mungkin  <10 mg per hari atau  <20 ppm. Diet 
bebas gluten akan menghasilkan  perbaikan kerusakan mukosa dalam beberapa waktu , risiko keganasan, penyakit celiac seperti limfoma non Hodgkin sel B dan sel T , adenokarsinoma usus halus, kanker esofagus, 
diet bebas  gluten memperbaki parameter nutrisi ditandai dengan  peningkatan berat badan, indeks massa  tubuh,  peningkatan mineralisasi tulang,
pasien wanita pengidap  penyakit celiac berisiko melahirkan bayi dengan  berat lahir rendah infertilitas, aborsi spontan, kelahiran prematur, 
Konsumsi  oat  memperbaiki diet yang mengandung nutrisi  pada diet bebas gluten dengan meningkatkan asupan  serat, vitamin B, magnesium, dan besi,
bahwa oat yang murni dan tidak terkontaminasi gluten  bisa dikonsumsi secara aman , pasien penyakit celiac bisa mengalami intoleransi  terhadap oat murni dan bisa mengalami tanggapan  imunologi terhadap oat,











Gambar 2. pencitraan histologi penyakit celiac.19 Mukosa normal, B. 
Penyakit Celiac



Gambar 1 Mekanisme kerusakan mukosa pada penyakit celiac

PENYAKIT  THALASEMIA

Thalasemia yaitu penyakit   sindrom kelainan yang  diwariskan diturunkan  dan masuk ke  dalam golongan hemoglobinopati, 
penyakit  thalasemia  yaitu penyakit kelainan darah  yang dipicu oleh gangguan  produksi hemoglobin, sehingga jumlah  hemoglobin berkurang ,
Thalasemia yaitu kelainan yang dipicu  oleh gangguan sintesis hemoglobin 
akibat mutasi di dalam atau dekat gen ,
Tanda dan gejala  pada anak  thalasemia  yaitu berat badan berkurang,lemah, anemia,  perkembangan fisik tidak sesuai dengan umur, hepatomegali, tidak bisa hidup tanpa tranfusi darah,  bentuk  wajah berubah , pembesaran limpa, terjadi facecoley, 
bahwa pasien anak  thalasemia  memerlukan dan  menjalani tranfusi darah  teratur untuk mempertahankan kehidupannya,  pasien anak  harus mengkonsumsi obat  kelasi besi yang bertujuan untuk  mengurangi kelebihan zat besi akibat  transfusi darah yang dilakukan secara  rutin dan dalam jangka waktu lama. 
Proses pengobatan thalasemia  memerlukan waktu yang lama  dibawah pengawasan ketat tenaga ahli yang berpengalaman dan  teratur  minum obat , oleh karena itu pasien anak yang  menderita thalasemia harus terus  menjalani rawat inap  selama berbulan-bulan dirumah sakit,
efek samping  Transfusi darah   ini  dimana  kelebihan zat besi akibat transfusi 
darah akan  memicu  komplikasi pada ginjal , jantung ,hati,  pembengkakan limpa ,
orang tua yang mengalami  cemas dikarenakan pasien anaknya menderita 
thalaemia akan melakukan tindakan overprotektif, perasaan tanggung jawab 
 pada pasien anaknya,