Kamis, 11 Februari 2021
penyakit2
Februari 11, 2021
penyakit2
PENYEBARAN PENYAKIT GENETIK
Kelainan kromosom dan Sindrom Down sering menjadi pemicu keguguran sehingga bayi meninggal sesaat sesudah dilahirkan, Kromosom merupakan tempat DNA atau zat dasar genetik yang mencetak manusia, Kromosom adalah untaian materi genetik DNA di dalam setiap sel makhluk hidup, Setiap sel manusia normal memiliki 46 kromosom yang terdiri dari 22 pasang kromosom kromosom tubuh (autosom, kromosom 1 sampai kromosom 22) dan satu pasang kromosom seks (kromosom X dan Y) yang menentukan jenis kelamin ,
akibat akibat kelainan kromosom antara lain : kelainan alat kelamin memiliki riwayat lahir meninggal , kematian pada bulan pertama kelahiran,pertumbuhan terhambat, keterlambatan perkembangan mental, kelaian bentuk muka, cacat
tubuh lebih dari satu jenis (contohnya bibir sumbing ,retardasi mental , kebocoran
katup jantung ),
kelainan genetik dapat dipicu oleh adanya mutasi gen dominan maupun gen resesif pada autosom maupun pada kromosom seks, seperti hemofilia, butawarna merah hijau, thalasemia , penilketonura, Dentigenesis imperfecta, Akondroplasia, albino, bisu tuli,
sedang kelainan kromosom dapat berupa kelainan jumlah kromosom (seperti sindrom Klinefilter, sindrom Down atau sindrom Turner ), kelainan struktur kromosom (seperti Cri du chat sindrome, sindrom de Groucy) maupun kromosom mosaik. Insiden dan prevalensi penyakit penyakit yang disebarkan genetik beragam dari berbagai jenis kelamin ,suku bangsa, letak geografis,
Trisomi13 (sindrom Patau) sangat jarang terjadi , biasanya gejalanya sangat berat sehingga dapat memicu kematian beberapa jam atau beberapa minggu sesudah kelahiran.
Trisomi 18 (sindrom Edward) jarang terjadi dengan gejala antara lain kelainan pada tangan dan kaki, ukuran kepala dan pinggul yang kecil ,retardasi mental, gangguan pertumbuhan,
Sebagian besar penyakit dipicu oleh interkasi antara gen dengan lingkungan dan lingkungan bukan genetik, tekanan darah tinggi primer, asma, schizoprenia, penyakit Parkinson ,data jumlah penderita kelainan genetik (sinsrom Down dan penderita penyakit/kelainan yang dapat dipengaruhi oleh faktor genetik seperti Diabetes, penyakit Parkinson, Alzheimer, Schizoprenia diuji dengan membandingkan jumlah kelainan genetik yang ada dengan jumlah seluruh masalah yang ada dengan memakai uji prevalensi,Hasilnya yaitu
kelainan genetik murni (sindrom Down) dan kelainan yang dapat dipengaruhi oleh faktor genetik seperti diabetes, tekanan darah tinggi primer, asma, Parkinson, dan lainnya, Persentase penyebaran penyakit berdasarkan jenis
kelamin dan kelompok umur
Tabel Distribusi penyakit karena kelainan genetik
Jenis Penyakit Jumlah
Penyakit
Parkinson 51
Asma 1979
Spina Bifida 44
Neoplasia
ganas
payudara 4
Hodgkin 3
Sindrom Down 13
Diabetes 10
tekanan darah
tinggi primer 3659
kegemukan 11
Schizoprenia 409
Diantara penyakit/kelainan genetik atau penyakit yang dapat dipengaruhi oleh faktor genetik hanya ditemukan satu masalah yang dipicu murni oleh faktor genetik yaitu Sindrom Down atau trisomy 21, yaitu penderita memiliki kromosom nomor 21 ada 3 buah. Orang normal memiliki dua buah (satu pasang) kromosom
nomor 21 ini. Kelebihan kromosom nomor 21 berdampak adanya kelainan fisik maupun mental, seperti kadang lidah menjulur keluar, simian crease, ,retardasi mental,hipertelorisme, klinodaktili, letak telinga di bawah , penyakit itu dapat dipengaruhi oleh faktor genetik. Faktor genetik dapat mempengaruhi penyakit seperti asma, diabetes mellitus, tekanan darah tinggi primer, kegemukan, penyakit Parkinson, spina bifida ,
pemicu pasti dari tekanan darah tinggi primer hingga saat ini masih belum diketahui, faktor yang diduga turut berperan sebagai pemicu tekanan darah tinggi primer, seperti bertambahnya umur, stres psikologis, genetik/hereditas. adanya satu faktor lingkungan ditambah faktor predisposisi genetik, Faktor yang mungkin diturunkan secara genetik antara lain defek transport natrium pada
membran sel, defek ekskresi natrium dan peningkatan aktivitas saraf .
Kejadian Schizoprenia pada Penderita laki-laki cenderung lebih banyak dibandingkan pasien wanita terutama di usia 20 hingga 60 tahun,
faktor genetik juga menentukan timbulnya schizophrenia. ini dibuktikan dengan penelitian tentang keluarga schizophrenia dan terutama pada anak kembar moozigot. Schizoprenia melibatkan lebih dari satu gen , sebuah fenomena yang dinamakan quantitative trait loci . Schizoprenia dipicu oleh beberapa gen yang
berlokasi di beberapa tempat yang berbeda di seluruh kromosom. ini mengklarifikasi tingkat keparahannya , schizophrenia juga dapat
dipengaruhi oleh lingkungan, seperti faktor biokimia, psikologi dan sosial ,
asma. dipicu oleh faktor keluarga, yaitu jika orang tua menderita asma, maka kemungkinan anaknya menderita asma 30 %. kelainan multifaktorial, yaitu kelainan gen, lingkungan dan interaksi antara gen dan lingkungan
Penyakit Parkinson merupakan gangguan neurodegeneratif. pemicu Parkinson karena lingkungan maupun faktor genetik terutama di usia muda. Secara genetik penyakit Parkinson terjadi karena mutasi gen autosom, ada yang bersifat dominan dan ada yang bersifat resesif. Kejadian Parkinson sekitar 1 % pada usia
69 tahun dan meningkat 3 % pada umur diatas 80 tahun. Penyakit Parkinson bisa menyerang laki laki dan pasien wanita. Spina bifida (sumbing tulang belakang) ini berhubungan dengan dengan kekurangan asam folat selama masa kehamilan.
Faktor genetik dan lingkungan (nutrisi atau terpapar bahan berbahaya) dapat memicu resiko melahirkan anak dengan spina bifida. Pada 95 % masalah spina bifida, ditemukan riwayat keluarga dengan defek neural tube. Resiko akan
melahirkan anak dengan spina bifida 8 kali lebih besar bila sebelumnya pernah melahirkan anak spina bifida ,
Neoplasia ganas (kanker) payudara dipicu karena faktor lingkungan dan 10 % karena faktor genetik Secara genetik kanker payudara dipicu oleh mutasi pada kromosom nomor 13 atau kromosom 17 ,
Penyakit Hodgkin (limfoma Hodgkin) mengenai semua umur, pasien laki laki maupun pasien wanita namun jarang pada anak berumur 10 tahun. Penyakit ini dikenal sebagai penyakit limfosit B. Limfoma ini ditandai dengan perubahan kromosom yang tidak acak, berulang dengan sifat tertentu yang cenderung
menunjukkan pola-pola. Kelainan ini berhubungan dengan kelainan kromosom Philadelphia. Penderita selalu memiliki kromosom Philadelphia,
penyakit Alzheimer. diturunkan melalui gen dominan autosom. Faktor lain adalah lingkungan, imunologi, trauma dan neurotransmiter ,
PENYAKIT infectious bovine rhinotracheitis (IBR) PADA
SAPI DI LEMBAGA-LEMBAGA PEMBIBITAN hewan ternak
Penyakit infectious bovine rhinotracheitis yaitu penyakit pada kerbau sapi yang dipicu oleh virus dari golongan Herpes, pada hewan yang peka Penyakit infectious bovine rhinotracheitis ini dapat bersifat laten, seperti penyakit kausa
herpesvirus lain,
beberapa penyakit kausa viral yang harus diperhatikan untuk mencegah masuknya penyakit-penyakit dan mencegah terjadinya penolakan ekspor hewan ternak ke luar negeri,
Penyakit-penyakit yang dipicu oleh kemungkinan adanya agen agen penyakit yang mengkontaminasi proses pemakaian semen untuk Artificial Insemination (AI) dan embryo secara alamiah teknologi Embryo Transfer (ET) yang menerobos
dunia veteriner. Penyebaran yang sangat luas dari AI dan ET secara alamiah dunia peternakan hewan,
Penyakit-penyakit yang termasuk kategori group A pada pedoman OIE, yaitu: infectious bovine rhinotracheitis; bovine viral diarrhoea (BVD),foot and mouth disease (FMD); rinderpest; vesicular stomatitis; bluetongue; lumpy skin disease; rift valley fever; enzootic bovine leukosis (EBL);
virus-virus yaitu; bovine spongiform encepthalopathy (BSE); ephemeral fever, akabane disease,
penyakit Akabane Disease,FMD; Bluetongue; EBL; infectious bovine rhinotracheitis; BVD; Ephemeral Fever;
penyakit infectious bovine rhinotracheitis secara serologik telah ada pada sapi perah, sapi potong dan kerbau , angka prevalensi infectious bovine rhinotracheitis meningkat dibanding tahun 1982 , prevalensi infectious bovine rhinotracheitis pada hewan berumur muda (2–3 tahun) lebih rendah
dibandingkan hewan yang telah berumur tua (7−> tahun). virus bovine herpes virus type 1 (BHV-1) sebagai pemicu penyakit infectious bovine rhinotracheitis selalu ditemukan di semen dari hewan yang terinfeksi, baik klinis maupun
subklinis ataupun laten , agen penyakit ini bila menginfeksi hewan betina, banyak kejadian keguguran yang diakibatkan oleh infeksi virus pada saluran reproduksi betina. kejadian penyakit infectious bovine rhinotracheitis sering disalahtafsirkan dan ini yang memicu kejadian aborsi tidak pernah didiagnosa sebagai penyakit infectious bovine rhinotracheitis. Kejadian aborsi selama ini masih ada,
yaitu sebagai masalah alamiah , ini dipicu karena masih belum banyak peternak yang menganggap penting arti laporan masalah, Banyak hal yang membuat peternak mengabaikan masalah pelaporan. Padahal kejadian penyakit yang segera dilaporkan akan memudahkan penanggulangan penyakit sampai tuntas dan banyak mengurangi biaya pengobatan dan penanggulangannya. Terutama pada penyakit yang cepat menular seperti infectious bovine rhinotracheitis,
Penyakit infectious bovine rhinotracheitis pertama kali muncul di Colorado, Amerika Serikat pada tahun 1950, Kini penyakit itu telah menyebar di seluruh benua Amerika , Penyakit ini, pada awalnya menyerang pada saluran pernafasan, sesuai dengan namanya penyakit “Infectious Laryngotracheitis”
Gejala pada gejala syaraf seperti encephalitis, saluran pernafasan, pada saluran pencernaan, saluran reproduksi ,
Penyakit infectious bovine rhinotracheitis di Benua Eropa pertama kali kejadiannya di Inggris pada tahun 1958,di Benua Asia kejadian baru ada pada tahun 1972, yaitu di Jepang, tahun 1973 di Korea dan tahun 1974 di Iran,
Di Afrika, pada tahun 1961 dengan gejala kemajiran,
Di Amerika Selatan, tahun 1972, seperti kejadian aborsi dan ocular carcinoma pada sapi di Argentina,Di Australia pertama kali pada tahun 1962 dengan gejala encephalitis pada anak sapi , di Selandia Baru pada tahun 1959,
negara yang memperlihatkan angka prevalensi infectious bovine rhinotracheitis
bahwasanya penyakit infectious bovine rhinotracheitis tidak sulit diatasi walaupun ini perlu strategi ,
Switzerland Swiss harus melakukan pengendalian penyakit infectious bovine rhinotracheitis secara ketat dan melarang pemakaian vaksin dan
mengidentifikasi hewan yang mengidap infectious bovine rhinotracheitis dan jika
terdapat infectious bovine rhinotracheitis pada hewan ternak dilakukan pemusnahan dengan cara dibakar habis, program pemberantasan penyakit
adalah mengembangkan tehnik pengebalan hewan ternak i secara alamiah
ataupun vaksinasi ,
Berdasar efektifitas dari imunisasi aktif sesudah terinfeksi secara alamiah, kini vaksin dipakai untuk melakukan program pengendalian penyakit infectious bovine rhinotracheitis. Vaksin yang dipakai dapat mengalami bentuk “modified
live virus vaccines”dan “inactivated vaccines”. Kedua vaksin ternyata sama-sama menghasilkan antibodi humoral , Beberapa kelemahan terjadi mengalami pemakaian vaksin infectious bovine rhinotracheitis. Vaksin yang diberikan secara intranasal akan menghasilkan interferon lokal dan antibodi lokal, Sub
unit vaksin kini juga telah banyak dipakai tetapi memperlihatkan bahwa subunit
vaksin tidak dapat mencegah infeksi klinis akibat infectious bovine rhinotracheitis. Beberapa vaksin hidup berdampak pada terjadinya keguguran dan dapat memicu
endometritis, memakai vaksin hidup intranasal dan ini masih ada kemungkinan menjadi penyakit kambuh muncul ganas kembali. Vaksin inactive/mati banyak yang merasakan adanya derajat kekebalannya tidak tinggi kecuali dengan pemakaian adjuvant yang baik ,
Keberadaan infectious bovine rhinotracheitis secara serologis ada pada hewan ternak impor maupun hewan ternak indigineus , dengan mengidentifikasi masalah penyakit kelamin ganas pada sapi dan kerbau, mengisolasi agen penyebabnya, melalui uji IFAT (indirect fluorescence technique Antibody) ternyata, adalah BHV−1 yang yaitu agen agen penyebab munculnya penyakit infectious bovine rhinotracheitis dengan gejala klinis yang menonjol pada gangguan reproduksi,
Program penelitian penyakit infectious bovine rhinotracheitis di Balitvet
telah menuju kepada uji efikasi vaksin inaktif buatan Balitvet di lapangan,
bermula pada survai serologis penyakit ini di beberapa daerah , Uji yang
dipakai adalah uji serum netralisasi. Hasil memperlihatkan bahwa telah terdapat hewan-hewan yang seropositif terhadap BHV-1, hewan itu pada kerbau , sapi
perah, sapi potong eks impor maupun hewan indegineus. Balitvet
telah menganalisa masalah diare ganas pada sapi dan hasil memperlihatkan bahwa ada peran virus BHV-1 secara alamiah masalah itu hewan hewan yang mengalami gangguan reproduksi seperti mastitis,aborsi, endometritis, repeat breeders, distokia, mumifikasi ,Hasil memperlihatkan
bahwa infectious bovine rhinotracheitis yaitu penyakit yang menonjol secara alamiah persentasi serologis positif dari beberapa penyakit reproduksi yang diuji yaitu ( infectious bovine rhinotracheitis,Brucellosis, Leptospirosis, Akabane, Trichomoniasis ),
Balitvet telah melakukan uji coba Vaksin inaktif buatan Balitvet dan memberikan
respon baik secara alamiah menghindarkan hewan ternak dari infeksi klinis penyakit infectious bovine rhinotracheitis sesudah satu bulan divaksinasi dan
diuji tantang pada 30 hari setelah vaksinasi , tanggapan serologis memperlihatkan titer yang tinggi sesudah satu bulan setelah vaksinasi. Vaksin bertahan dengan titer tinggi hingga 4 bulan setelah vaksinasi,
contoh yang dipakai Organ yang diambil sebagai contoh dari hewan yang sakit adalah otak/ganglia , sel foetus , mukosa hidung, sinus, mulut, saluran kehamilan, semen, susu dari hewan yang aborsi. Isolasi agen penyakit pada perkembangbiakan sel akan memberikan perubahan seperti cytophatic effect (CPE). BHV−1 akan memperlihatkan perubahan perkembangbiakan sel dari bentuk pipih memanjang menjadi bundar dan , membentuk buah anggur yang akhirnya akan mengelupas, sehingga lapisan sel akan menjadi berlubang,
Pewarnaan H & E dari sel yang terinfeksi BHV-1 akan memperlihatkan badan inclusi secara alamiah inti sel “cow dry type A” pada inti selnya dan yaitu badan
inklusi. Ini yaitu ciri khas BHV−1. Secara serologi di laboratorium dapat dilakukan beberapa uji. PCR dan hybridization technique dapat untuk mendeteksi DNA dari virus BHV−1, Uji yang utama adalah serum netralisasi, uji serologi yang dapat dipakai adalah Tuberkulin type skin test , passive haemagglutinasi,enzyme linked immunosorbent assay (ELISA), radioactive immuno assay (RIA), indirect fluorescent antibody technique (IFAT),
infectious bovine rhinotracheitis yaitu penyakit viral yang dipicu oleh Bovine Herpesvirus Type 1 (BHV-1). Virus termasuk genus Varicellovirus, subfamili
alphaherpesvirinae, famili herpesviridae. Virus termasuk double stranded DNA. Selain FAT dan uji immunoperoksidase, identifikasi antigen dapat dilakukan dengan menguji swab hidung, mata maupun saluran kehamilan dengan uji PCR dan restriction endonuklease. Identifikasi serologis dapat dilakukan
dengan virus netralisasi, ELISA seperti indirect ELISA dan Blocking ELISA.
Isolasi virus dari semen dibutuhkan perlakuan tersendiri, karena semen bersifat toksik pada perkembangbiakan sel. Perlakuan itu seperti pengenceran
semen dengan foetal calf serum (FCS) sebanyak 10 kali. Pengamatan yang dilakukan adalah adanya sel bundar disekitar CPE dan berikutnya dideteksi dengan FAT dan uji imunoperoksidase,
Isolasi virus dapat dilakukan dengan memakai perkembangbiakan sel dan sel yang dipakai dapat seperti trakhea , Madin Darby's Bovine Kidney(MDBK), sel primer fetus sapi dari organ ginjal, paru paru, testis, sel lestari dari paru-paru, turbinet,
gejala infectious bovine rhinotracheitis :
penyakit infectious bovine rhinotracheitis pada sapi , menurunnya produksi susu,
kehilangan berat badan dan keguguran dengan tanda gejala seperti abortion, enteritis , encepahalitis, rhinotracheitis, infectious pustular vulvovaginitis, balanopostitis, keratoconjunctivitis,
sejak 1955 ada hewan hamil yang mengalami aborsi akibat infeksi infectious bovine rhinotracheitis. Tetapi baru sesudah tahun 1963 ada keberhasilan mengisolasi virus BHV-1 dari foetus hewan yang aborsi, infeksi infectious bovine rhinotracheitis memicu aborsi dan aborsi biasanya terjadi antara bulan ke-4 hingga ke-7 masa kehamilan. Tidak ada tanda sebelumnya untuk kejadian aborsi. Beberapa hewan terlihat sedikit relaksasi saluran kehamilan dan vulva, Kotiledon sering pucat dan degenerasi, tidak ada lesi yang khas padafoetus, Plasenta sering tertarik dan mengkerut, aborsi terjadi karena foetus mengalami kematian,
Gangguan respirasi di Colorado pada tahun 1950 yang dikenal dengan penyakit red nose, dust pneumonia, necrotic rhinotracheitis dan necrotic rhinitis yaitu awal kejadian penyakit infectious bovine rhinotracheitis. Awalnya dengan gejala tanda kenaikan suhu badan (40,5–42,0°C), batuk, depresi dan produksi susu
menurun , Keluarnya cairan hidung yang bening secara alamiah beberapa hari, mukosa cungur hidung hiperemis. Dengan berkembangnya penyakit eksudat menjadi purulent dan berwarna kuning keputihan, terbentuk membran dipterik yang menutupi mukosa hidung dan beberapa masalah cungur hidung kering dan berkerak, Bila kerak terlepas terlihat kulit cungur kemerahan sehingga dijuluki sebagai rednose. Hipersalivasi terjadi pada beberapa hewan, tetapi lesi mulut jarang terjadi. Terjadi tracheitis. Tahapan akut berlangsung 5–10 hari. sesudah itu hewan biasanya kembali normal,
Encephalitis Gangguan syaraf pertama kali kejadiannya pada tahun 1962 di Australia pada anak sapi, Dampak pada hewan yaitu memicu meningoencephalitis , terjadi inkoordinasi gerakan dan berkembang menjadi ataksia. Inkoordinasi terjadi sewaktu lari dan dengan hewan terjungkal dan jatuh.
Jatuhnya seperti spasmus dari otot kaki, leher dan pinggang. Hewan seperti buta, koma dan kematian terjadi 3–4 hari sesudah onset gejala itu. Beberapa hewan
dapat sembuh tetapi sebenarnya buta,
tahun 1958 ada isolasi herpesvirus dari infeksi genital dari sapi yang dinamakan
sebagai infectious pustular balanophostitis (IPV), dikenal sebagai penyakit
Blaschenausschlag di Jerman (synonim dari exanthema coital vesiculosum, coital vesicular exanthema, coital exanthema, vesicular venereal disease dan vesicular vaginitis) , Di Belanda isolasi virus dilakukan pada pejantan yang menderita infectious pustular balanoposthitis (IPB) dan orchitis. Outbreak
IPB ada di BIB dan ternyata BHV-1 dapat diisolasi dari hewan yang klinis normal ,
BHV−1 dapat diisolasi dari semen beku dari hewan yang klinis normal di BIB.
BHV−1 telah dapat diisolasi dari semen beku yang diuji untuk pengendalian penyakit dan ada sapi yang memproduksi semen yang telah terkontaminasi oleh BHV−1, hewan yang memproduksi semen itu yaitu hewan yang sedang mengalami balanophostitis, yaitu pada dua ekor pejantan dari jenis Brangus. namun isolat lapangan juga telah didapat dari semen pejantan yang klinis normal yaitu pada pejantan yang juga menghasilkan semen beku yang diuji strawnya. Balitvet hingga kini mendapat isolat lapang virus BHV−1 sebanyak 6 isolat dan dua diantaranya adalah hasil perlakuan stress pada sapi perah jenis FH yang memiliki titer serologis yang tinggi (26). Stress dilakukan dengan memakai
preparat cortison dengan dosis 40 mg/kg berat badan selama 6 hari berturut-turut. Dua hari setelah stress hewan mengalami kenaikan suhu hingga 41°C dan pada saat itu contoh yang diambil memberikan perubahan pada perkembangbiakan sel, seperti cytophatic effect dengan tepi yang membentuk buah anggur .
Kejadian akut biasanya berkembang 1–3 hari sesudah kawin secara alamiah dan biasanya nyeri yang dirasa, vulva terlihat oedema dan hiperemis dengan
munculnya pustule ukuran 1–2 mm dan menyebar sepanjang mukosa vulva. Pustula biasanya ditutupi perkejuan warna kuning dan membran finfectious bovine rhinotracheitisin yang mudah membentuk ulkus. masa akut
berakhir 2–4 hari, yaitu selama hewan anorexia, demam, depresi , Lesi biasanya sembuh secara alamiah waktu 10–14 hari sesudah terjadinya penyakit dan beberapa hewan memperlihatkan keluarnya cairan purulent dari saluran kehamilan dan terjadi selama beberapa minggu. IPB berkembang sesudah 1–3 hari masa inkubasi. Lesi sama seperti pada IPV yang berkembang pada mukosa
penis dan preputium ,
Infeksi buatan sebenarnya dapat dilakukan dengan cara menyuntik suntikan isolat virus asal lapangan (koch postulat) dan dapat pula melakukan
stress pada hewan yang serologis positif atau memperoleh suntikan virus ganas. Stress dapat sebenarnya dilakukan dengan cara menyuntik suntikan preparat Cortison (bethamethasone, dihydrocortisone ) , bahwa penyuntikan selama
seminggu preparat cortocosteroid akan memicu gejala pustular vulvovaginitis selama 7–9 hari sesudah injeksi pertama, Gejala yang menonjol pada kejadian infeksi buatan adalah seperti kenaikan suhu badan yang dimulai pada hari ke 2 setelah pemberian preparat cortison, ini dilihat pada infeksi buatan dengan pemberian injeksi intravenous virus BHV−1 isolat lapang sebanyak 1 x 108
TCID50 dan kenaikan suhu terjadi mulai hari kedua hingga hari ke-6 setelah infeksi buatan, BHV−1 dapat diisolasi dari swab saluran kehamilan hewan yang klinis, Antibodi didapat pada hewan klinis dan meningkat saat kesembuhan
muncul,
infectious bovine rhinotracheitis muncul pada 10 hari hingga beberapa minggu sesudah diintrodusir hewan ternak yang terinfeksi pada golongan itu , Pada feedlot (penggemukan) biasanya terjadi berurutan pada beberapa kandang. Jarang sekali terjadi pada peternak dengan sistem ranch atau dilepas. Oleh sebab itu yang sering terjadi hanya pada penggemukan sapi potong. ini dapat dipicu karena beberapa kemungkinan, antara lain karena masuknya hewan ternak muda yang tidak memiliki kekebalan pasif dari induknya atau sapi yang digemukkan berasal dari beberapa sumber, sehingga kekebalan yang dimiliki
bermacam ragam yang memungkinkan hewan ternak yang sudah terkontaminasi sudah bisa menular nularkan kepada sapi yang lainnya,
biasanya IPV/IPB menular lewat pernikahan secara alamiah, Oleh sebab itu penyakit infectious bovine rhinotracheitis terjadi pada golongan sapi dewasa. Penyebaran penyakit terjadi karena sapi sapi jantan yang sudah pernah terinfeksi menularkan kepada beberapa sapi sapi betina atau karena
pernikahan secara alamiah, karena pernikahan melalui inseminasi buatan dari semen yang terkontaminasi oleh virus BHV−1, bahwa virus BHV−1 selalu ada pada semen, baik dari sapi yang klinis maupun sub klinis. Adanya virus
secara alamiah semen memperlihatkan awal dari terjadinya gejala
klinis infectious bovine rhinotracheitis pada sapi yang diinseminasi ataupun pada
anak. ini juga memicu sering terjadinya repeat breeders pada sapi sapi betina, seroconversion dan bertahannya BHV−1 pada hewan ,
disarankan memakai semen yang benat-benar berasal dari sapi sapi jantan yang seronegatif. Ekskresi virus dari sapi sapi jantan yang tidak ada gejala
klinisnya adalah bersifat intermittent dan dapat dipengaruhi oleh adanya perpindahan hewan ternak , stres ,
Perlu adanya perhatian khusus pada sapi sapi jantan yang memiliki seroconversion panjang yang negatif, karena kenyataannya kemudian mengekskresikan virus. para peternak memakai trypsin 0,3% untuk menghindari
semen yang terkontaminasi virus infectious bovine rhinotracheitis, tetapi belum ada yang menjamin kemampuan semen berhasil secara alamiah IB. cara lain yaitu memakai hiperimmune serum sebagai bahan pengencer semen, bahwa
infektifitasnya dapat dihindarkan tanpa memicu gangguan fertilitas secara alamiah IB. sama seperti pada BHV-1 yang ada secara alamiah , cairan flushing dari donor yang terinfeksi infectious bovine rhinotracheitis dan tidak hilang dari zona pellucida yang melekat pada blastocyst, namun bila secara rutin dengan pencucian memakai trypsin, semua virus akan mengalami inaktifasi. juga pada penelitian lain yang mengungkapkan bahwa embryo yang dicuci dengan trypsin
dapat terbebas dari virus BHV−1, pemakaian trypsin pada embryo selama 2–3 menit, tidak mengurangi embryo survival dan malahan meningkatkan daya cryopreservation. Tanpa trypsin, embryo yang terinfeksi infectious bovine rhinotracheitis bisa ditular tularkan pada semua hewan hewan yang sehat . Ada yang memakai haematophorphysin atau turunannya pada media untuk
blastocyst dan disinari dengan sinar terang ,
diagnosa penyakit infectious bovine rhinotracheitisn yaitu Uji serum netralisasi dan isolasi virus dipakai untuk mengetahui adanya hewan yang terinfeksi dan hewan yang bersifat pembawa penyakit. namun kedua uji itu memerlukan
persyaratan laboratorium yang canggih , Deteksi virus pada hewan yang terinfeksi secara laten, diawali dengan pemberian kortikosteroid agar hewan
menjadi stress. Sehingga dapat melakukan isolasi ,
Keberhasilan pengawasan penyakit akan dapat dicapai melalui
beberapa tahapan ,antaralain :
menolak adanya hewan jantan yang serologi positif terhadap BHV-1 di Balai Inseminasi Buatan, sebagai jaminan produksi semen beku yang dihasilkan, Lembaga perlu menjamin terlaksananya peraturan nasional maupun internasional , terlihat dari penanganan hewan ternak terhadap penyakit infectious bovine rhinotracheitis, lembaga karantina disarankan memisah misahkan antara hewan ternak komersial dan hewan ternak bibit ,
apakah serologis positif adalah akibat vaksinasi atau akibat infeksi secara alamiah. Ada uji yang dapat digunakan, Padahal uji itu telah dilakukan untuk penyakit penyakit menular lainnya,
melestarikan Mempertahankan kelangsungan hidup hewan hewan ternak yang sudah terbukti bebas BHV−1, perlu dilakukan uji dua kali setahun, hewan hewan yang positif BHV−1 dilakukan vaksinasi bertahap , terutama dengan vaksin mati guna mencegah infeksi laten, Hindari pemakaian vaksin hidup,
pemakaiannya dapat dilakukan bila ada outbreak pada beberapa golongan hewan dan pengawasan hewan yang telah divaksinasi ketat,hewan ternak bibit, yaitu hewan ternak yang dipakai oleh Balai Inseminasi Buatan atau Balai Embryo Transfer dan lembaga pembibitan hewan ternak yang ada di
beberapa daerah daerah wajib mengimpor hewan ternak dari
negara yang bebas penyakit infectious bovine rhinotracheitis.
hewan ternak bibit dapat diimpor dari negara yang tidak bebas
penyakit infectious bovine rhinotracheitis asal hewan itu sudah pernah divaksinasi minimal 1 tahun sebelumnya di negara asalnya ,Menghindari faktor resiko yang kemungkinan akan muncul pada
inseminasi buatan, Memisah misahkan hewan yang positif dengan yang negatif, cegah adanya impor hewan yang positif embryo dan semen yang sudah pernah terkontaminasi virus BHV−1,
PENYAKIT KULIT TINEA CORPORIS
dermatofitosis infeksi Penyakit kulit Tricophyton rubrum memicu tinea
korporis dapat berkembangbiak di area yang beriklim tropis dan kelembabannya tinggi , banyak dialami oleh pasien yang menjaga kebersihan ,
Tricophyton tonsuran memicu tinea kapitis, pasien pengidap infeksi tinea kapitis antropofilik akan berkembang menjadi tinea korporis, meskipun prevalensi tinea korporis dapat dipicu oleh peningkatan Tricophyton tonsuran, Microsporum canis merupakan organisme ketiga yang memicu tinea korporis, adanya hubungan penyakit Tinea Corporis dengan kegemukan grade I , Tinea korporis adalah penyakit dermatofitosis. Dermatofitosis adalah
infeksi jamur superfisial yang dipicu genus dermatofita, yang dapat mengenai kulit, rambut dan kuku. Pada kulit glabrosa, selain telapak tangan kaki, janggut, lipatan paha,kulit kepala, wajah, kaki, pasien bertubuh gemuk
yang setiap beraktivitas ringan berkeringat, selalu memakai baju lengan panjang dan celana panjang yang tebal dan ketat. dengan keluhan gatal-gatal pada sekitar pusar, dirasakan pasien sejak hampir 2 minggu. Rasa gatal
timbul setiap saat terutama saat beraktivitas, sering menggaruknya
untuk mengurangi rasa gatal . Keluhan gatal dirasakan makin menjadi
ketika berkeringat. Bila pasien telah menggaruk bagian yang gatal langsung merah dan terasa perih. tidak bertukar pakaian memakai handuk secara bergantian dengan orang lain , tidak ada Riwayat alergi, Hipertensi, DM
Di keluarga pasien tidak ada yang menderita penyakit itu. pasien tidak pernah
merokok ataupun minum-minuman beralkohol. tampak lesi hiperpigmentasi di regio umbilikalis, gluteus, poplitea dengan papul-papul multiple diatasnya, dan terdapat krusta bekas digaruk, tepi aktif. Pada kepala, mata, telinga, hidung dalam batas normal, mulut, leher, paru, jantung, abdomen semua dalam batas normal. Regio pulmo dan cor dalam batas normal, abdomen cembung simetris. Ektremitas superior dan inferior dalam batas normal.penelitian masalah pada pasien dengan analisaklinis Tinea korporis dan mengalami kegemukan grade I. Tinea korporis adalah penyakit dermatofitosis. Dermatofitosis adalah infeksi jamur superfisial yang dipicu genus dermatofita, yang dapat mengenai kulit, rambut dan kuku.pada kulit glabrosa, selain kulit kepala, wajah, kaki, telapak tangan dan kaki, janggut dan lipatan paha. Penyebab adalah : Mikrosporon gipseum, M.kanis, M.audolini. T.violaseum, T.rubrum, T.metagrofites.
akibat infiltrasi dan proliferasinya pada stratum korneum dan tidak berkembang
pada jaringan yang hidup. Bentuk dimulai dengan lesi-lesi yang bulat atau lonjong dengan tepi yang aktif. Dengan perkembangan ke arah luar maka bercak-bercak bisa melebar dan akhirnya dapat memberi gambaran yang polisiklis, arsiner, atau sinsiner. Pada bagian tepi tampak aktif dengan tanda-tanda eritema, adanya papel-papel dan vesikel, sedang pada bagian tengah lesi relatif lebih tenang. Predileksi tinea korporis banyak adanya pada wajah, badan,
lengan dan kaki bagian atas , Gejala subyektif yaitu gatal, dan terutama jika berkeringat. Gejala obyektif yaitu efloresensi, terlihat makula atau plak yang berwarna merah atau hiperpigmentasi dengan tepi aktif dan daerah bagian tengah lebih tenang (central healing). Pada tepi lesi dijumpai papul-papul
eritema atau vesikel.Kadang-kadang terlihat erosi dan krusta akibat garukan. Lesilesi pada umumnya merupakan bercak-bercak terpisah satu dengan yang lain. ada lesi dengan pinggir yang polisiklik,karena beberapa lesi kulit yang
menjadi satu. Metabolisme dari jamur memicu efek toksik dan respon
alergi. Tinea korporis banyak di daerah tropis , pada semua umur dan paling
sering terjadi pada iklim yang panas , Ada beberapa macam variasi klinis dengan lesi yang bervariasi dalam ukuran derajat inflamasi dan kedalamannya. Variasi ini akibat perbedaan imunitas hospes dan spesies dari jamur. Pengobatan dapat dilakukan secara topikal dan sistemik. banyak pilihan obat untuk dermatofitosis, baik dari golongan antifungalkonvensional atau antifungal . Tinea
korporis ditularkan secara langsung dari infeksi manusia atau hewan
melalui autoinokulasi dari reservoir, seperti kolonisasi T.rubrum di kaki. Anak anak lebih sering terkena zoofilik patogen seperti M.canis pada kucing atau
anjing. Tinea korporis mengenai semua orang tapi prevalensinya lebih tinggi pada preadolescen. Tinea korporis yang berasal dari binatang lebih sering terjadi pada anak-anak. Berdasar habitatnya dermatofit digolongkan sebagai geofilik (tanah) antropofilik (manusia), zoofilik (hewan), Dermatofit yang antropofilik paling sebagai sumber infeksi tinea, tetapi sumber yang zoofilik di identifikasi untuk mencegah reinfeksi manusia. Pada manusia jamur hidup di lapisan tanduk.
Jamur itu melepaskan toksin yang bisa memicu peradangan dan iritasi
berwarna merah dan gatal , Infeksinya bisa berupa bercak-bercak warna hitam putih, merah di kulit dengan bentuk simetris. Ada pula infeksi yang berbentuk lapisan-lapisan sisik pada kulit. itu tergantung pada jenis jamur yang menyerang. Masuknya jamur dalam tubuh melalui : Luka kecil pada kulit, pada golongan dermatofitosis,kromoblastomikosis, Melalui saluran pernafasan, dengan mengisap elemen elemen jamur, seperti pada histoplasmosis Melalui sentuhan
luka atau aberasi kulit, seperti golongan dermatofitosis.
pemicu infeksi jamur antara lain kondisi lembab dan panas dari lingkungan,
keringat berlebihan karena berolahraga , trauma minor (gesekan pada paha orang gemuk), keseimbangan flora tubuh normal terganggu (antara lain karena pemakaian antibiotik, atau hormonal dalam jangka panjang), penyakit tertentu, seperti HIV/AIDS, haid ,diabetes, kehamilan karena ketidakseimbangan hormon dalam tubuh sehingga rentan terhadap jamur) kelainan pada kulit tergantung pada faktor virulensi dari dermatofita (dimana virulensi bergantung pada afinitas jamur, .apakah Antrofilik, Zoofilik, Geofilik) kemampuan jamur dalam
menghasilkan keratinasi dan mencerna keratin di kulit.
Yang kedua adalah faktor trauma (dimana kulit yang utuh tanpa lesi-lesi
kecil, lebih susah untuk terserang jamur), faktor suhu dan kelembaban yang
sangat berpengaruh terhadap infeksi jamur, keadaan sosial ekonomi dan
kurangnya kebersihan memicu infeksi jamur
Faktor genetik menentukan mekanisme pengaturan berat badan normal
melalui pengaruh hormon dan neural, Energi dari aktivitas fisik sehari-hari
yang dipakai berkurang seiring kemajuan teknologi,
pasien yang gatal-gatal karena adanya lesi hiperpigmentasi berbentuk plakat di regio umbilikalis, gluteus dan poplitea dengan papul-paul multiple diatasnya krusta bekas digaruk dan tepi aktif. Untuk menunjang analisa dilakukan pemeriksaan laboratorik. pengobatan golongan antifungal adalah dengan pemberian ketokonazol 1 x 200 mg sesudah makan, topical diberikan salep miconazole dioleskan 2-3x/hari setelah mandi dipakai selama 2-4 minggu, Cetirizin tablet 2x10mg dan Vitamin C tablet 1x1.yang memakai preparat antijamur derivat azol, yaitu ketokonazol preparat azol efektif untuk dermatoterapi tinea korporis mampu mencegah terjadinya residitif ,
PENYAKIT CELIAC
Penyakit celiac adalah penyakit enteropati proksimal terjadi karena interaksi antara diet yang mengandung gluten dengan sistem imun di usus, yang berhubungan dengan sistem imun yang bersifat reversibel,Penyakit celiac mempunyai bentuk gejala/manifestasi klinis yang beragam dan bisa terjadi pada berbagai usia,penyakit ini jarang ditemukan di negara yang konsumi glutennya rendah, seperti di negara asia tenggara,
bentuk gejala/manifestasi klinis penyakit ini ,antaralain saluran cerna, gejala di luar saluran cerna, atau tidak dengan gejala,
Gejala klasik yang berhubungan dengan saluran cerna di antaranya yaitu penurunan berat badan karena malabsorbsi,diare, steatorea, 50% pasien menampakkan gejala di luar saluran cerna atau gejala atipikal seperti hipoplasia enamel gigi,anemia, osteoporosis, dermatitis herpetiformis, gejala neurologi,
Pada penyakit celiac yang menampakkan gejala, terapi dengan diet bebas gluten akan memperbaiki gejala secara menonjol, memperbaiki ketidaknormalan biokimia ,Pengobatan waktu lama bisa mengurangi risiko keganasan dan komplikasi lainnya. pada pasien penyakit celiac yang dalam waktu lama tidak diterapi,akan meningkatkan risiko komplikasi keganasan mortalitas.,
Pada penyakit celiac tidak dengan gejala, penting untuk mempertahankan diet bebas gluten , pasien yang terdeteksi menderita penyakit celiac saat skrining dan asimptomatik bisa diatasi dengan diet bebas gluten. Sedangkan,
Prevalensi penyakit celiac meningkat disebabkan oleh membaiknya alat pemeriksaan dan skrining ,
pemicu tingginya frekuensi penyakit celiac masih belum diketahui , mungkin berhubungan dengan perubahan faktor genetik atau pola diet ,
Penyakit celiac ditemukan pasien anak dengan gejala berat berupa gagal tumbuh, diare kronik, distensi abdomen , saat gejala hanya berupa penurunan berat badan fatiq, diare, akibat malabsorpsi, gejala neurologis, Penyakit celiac berhubungan dengan Human Leukocyte Antigen (HLA)-DQ2 dan HLA-DQ8,
HLA-DQ2 ada pada hampir >95% pasien dengan penyakit celiac sedang sisanya pembawa HLA DQ8 ,.
Penyakit celiac adalah kelainan inflamasi dengan pencitraan autoimun yang memengaruhi pasien yang mempunyai predisposisi genetik. Penyakit ini dipicu
oleh makanan yang mengandung gluten dan protein lainnya yang ada pada gandum hitam dan barley , Interaksi antara faktor genetik dan lingkungan
memicu hilangnya toleransi terhadap gluten dan berkembangnya lesi di usus halus, itu ditandai dengan munculnya destruksi sel epitel, remodelling mukosa, munculnya autoantibodi terhadap enzim tissue transglutaminase type 2 (tTG2), meningkatnya jumlah limfosit pada epitel dan lamina propria, hilangnya vilus usus halus, Lesi pada usus halus yang mengalami inflamasi akan membaik jika dilakukan diet bebas gluten, Pasien celiac juga mempunyai perubahan yang memengaruhi proses pencernaan pada lumen usus halus. Perubahan itu terjadi
melalui aksi langsung peptida gluten pada epitel dan protein transport gluten yang melintasi epitel menuju lamina propria di mukosa, tanggapan imun yang tidak tepat terhadap protein gluten ada pada penyakit celiac yang melibatkan
sistem imun alamiah adaptif. Elemen kunci pada patogenesis penyakit celiac adalah aktivasi sel T CD4 pada lamina propria yang ada di mukosa sesudah pengenalan terhadap ikatan antara TG2-deamidated gluten peptides dengan molekul major histocompatibility complex class II (MHC-II) yang dinamakan HLA-II pada manusia, mekanisme TG2 , antaralain: transformasi beberapa residu glutamin menjadi asam glutamat, memicu pajanan muatan negatif dan
meningkatnya afinitas antara molekul HLA-DQ2 dan atau HLA-DQ8 dengan fragmen peptida yang resisten terhadap enzim pencernaan yang bersifat proteolitik. Aktivasi sel T CD4 memicu tanggapan sitokin T helper (Th)-1 pro inflamasi yang didominasi interferon (IFN)-ɤ, sitokin lainnya seperti IL-21,tumor necrosis factor (TNF)-α, interleukin (IL)-18, 0
Aktivasi tanggapan sel T CD4 terhadap gluten (sistem imun adaptif) tidak kuat untuk memicu lesi mukosa yang khas untuk penyakit celiac,lesi yang terjadi di mukosa proksimal usus halus bisa memicu menurunnya ambilan nutrisi dan malabsorbsi , tanda gejala bermacam ragam tergantung derajat atrofi mukosa,
Beberapa peptida gluten seperti p31-49 ,α-gliadin p31-43 menginduksi
perubahan sistem imun alamiah melalui aksi langsung pada epitel, ini terjadi melalui peningkatan ekspresi CD25, CD83 ,IL-15, cyclooxygenase (COX)-2, yang adalah penanda aktivasi sel mononuklear di lamina propria. Pada saat yang sama , sel epitel meningkatkan ekspresi dari HLA-E dan ligan MIC . Kerusakan epitel memicu peningkatan permeabilitas usus halus yang .kemudian memicu munculnya malabsorbsi.
bentuk gejala/manifestasi klinis
bentuk gejala/manifestasi klinis penyakit celiac termasuk asimptomatik,gejala
klasik, gejala non klasik, Gejala non klasik yaitu gejala saluran cerna dan atau gejala ekstraintestinal, Gejala klasik yaitu gejala dan tanda malabsorbsi berupa gagal tumbuh,diare, steatorea, penurunan berat badan,,
Manifestasi Saluran Cerna
Manifestasi klasik penyakit celiac ada pada pasien anak, terutama gejala saluran cerna dengan malabsorbsi seperti konstipasi,penurunan berat badan ,diare kronik, nyeri perut, distensi, gagal tumbuh ,Pada pasien remaja dewasa Manifestasi klasiknya yaitu sindrom kolon iritabel.
Manifestasi Ekstraintestinal
termasuk densitas tulang yang rendah , osteoporosis.,pubertas terlambat , perawakan pendek, Fatig , anemia kekurangan besi , dermatitis herpetiformis , lesi yang simetris , ruam yang gatal , Ulkus aftosa di mulut , hipoplasia enamel gigi ,
pasien dewasa penyakit celiac mengalami Neuropati perifer, kejang, ataksia, gangguan fungsi kognitif ,komplikasi penyakit celiac yaitu Infertilitas dan keguguran akibat tidak diterapi wanita penyakit celiac tidak mempunyai masalah dengan kesuburannya ,
pasien dewasa muda yang terkena penyakit celiac akan mengalami aterosklerosis dini, komplikasi mikrovaskuler mempercepat .terjadinya diabetes melitus tipe 1, adanya kardiomiopati dan karditis pada pasien celiac, tetapi belum ada bukti yang kuat mengenai hubungan keduanya.
Hepatitis celiac terjadi pada pasien yang dievaluasi karena peningkatan transaminase kriptogenik, Pasien jenis itu dapat sembuh sesudah 6-12 bulan
diterapi dengan diet bebas gluten. tetapi, pasien juga bisa mengalami fibromialgia atau artralgia yang tidak selalu tanggap dengan diet bebas gluten,
Neuropati perifer bisa dimulai pada pemeriksaan penyakit celiac dan tampak
terjadi pada kebanyakan pasien. pasien anak penyakit celiac mengalami Kejang, pusing gangguan belajar, perkembangan terhambat, hipotonia , gangguan pemusatan perhatian, hiperaktivitas , pasien dewasa penyakit celiac mengalami kelainan psikiatri, seperti depresi atau perubahan psikosis,
Diet bebas gluten akan memicu pemulihan anemia kekurangan besi dalam waktu 6-12 bulan, namun akan sembuh dalam seminggu,
Pasien penyakit celiac mengalami kekurangan nutrisi terutama vitamin B12, vitamin B6, zinc,zat besi, vitamin D, asam folat,
pasien penyakit celiac yang kekurangan asam folat dan vitamin B12 akan mengalami anemia makrositik yang sulit dideteksi pada pasien yang juga mengalami anemia kekurangan besi. Kelainan neurologi telah tampak
yang berhubungan dengan malabsorbsi dari vitamin D,vitamin B12, asam folat, tembaga,
Perbedaan antara pasien anak dan pasien dewasa adalah bentuk gejala/manifestasi klinis dari penyakit saat diperiksa, bahwa malabsorbsi sering ada
pada pasien anak, pasien penyakit celiac kadang bisa mengalami Kelainan Autoimun , Penyakit tiroid autoimun dan diabetes melitus tipe 1 pada Penyakit celiac, diabetes melitus tipe 1, penyakit tiroid autoimun berhubungan dengan alel HLA yang berisiko, yaitu HLA-DQ2 dan atau DQ8, Selain itu, bisa pula berkaitan dengan kekurangan hormon pertumbuhan,sindrom Sjogren, penyakit Addison, kelainan paratiroid,
Perbedaan bentuk gejala penyakit celiac berdasarkan usia
pasien anak pasien anak Dewasa
<2 tahun >2 tahun
Iritabel Pertumbuhan terlambat Artritis
Atrofi otot Sakit kepala Peningkatan transaminase
Anemia Pubertas terlambat Manifestasi ekstraintestinal
Diare Diare Dispepsia/sindrom kolon iritabel
Malnutrisi kekurangan besi kekurangan besi
Kembung Nyeri perut Konstipasi
Muntah Dispepsia Osteoporosis
pemeriksaan
Selama dilakukan pemeriksaan itu, pasien harus menjalani diet yang mengandung gluten,
pasien penyakit celiac yang tidak diterapi mengalami kekurangan sejumlah
mikronutrien , kekurangan mikronutrien yang diidentifikasi meliputi vitamin B6 besi, asam folat, vitamin B12, kekurangan vitamin D memicu Densitas tulang yang rendah pada pasien penyakit celiac yang tidak diterapi , kekurangan mikronutrien
itu bisa menetap sesudah menjalani diet bebas gluten. Untuk mengevaluasi kekurangan mikronutrien, evaluasi diet oleh dietisian yang terlatih, baik pada saat pertama pemeriksaan dan sesudah menjalani diet bebas gluten bisa membantu untuk identifikasi kekurangan nutrien, Strategi berdasar sistem imun meliputi pencegahan aktivasi sel T atau tanggapan imun alamiah dan adaptif seperti yang diinduksi toleransi terhadap gluten,
banyak target imunopatogenetik yang diteliti untuk alternatif terapi non.diet untuk penyakit celiac. Penelitian itu antaralain: memblok ikatan gliadin
terhadap HLA-DQ2,menghambat tTG yang mengiduksi potensiasi peptida gliadin,
perkembangan zat untuk mendegradasi atau membantu pencernaan gluten pada diet, mencegah peptida gluten melewati sawar epitel,
Penyakit celiac adalah kondisi inflamasi yang berlangsung terus-menerus yang menimbulkan efek terhadap berbagai sistem organ,
Tidak ada perbedaan pemantauan pasien yang simptomatik dan asimptomatik. pasien harus dievaluasi untuk kondisi autoimun yang sering ditemukan bersamaan pada saat diperiksa, seperti penyakit hati dan tiroid ,
pasien harus diperiksa minimal dua kali dalam satu tahun pertama sesudah pemeriksaan untuk pencitraan serologi ,pemantauan gejala, kepatuhan diet, nutrisi, indeks massa tubuh, untuk memperoleh pencitraan serologi yang normal membutuhkan waktu, penurunan selama satu tahun
pertama menampakkan tanda adanya kepatuhan terhadap diet bebas gluten. pasien yang tidak menampakkan pencitraan serologi yang mengalami
perbaikan harus dievaluasi kembali terhadap pajanan gluten yang berkepanjangan. densitas tulang yang rendah adalah manifestasi ektraintestinal yang ada dari penyakit celiac, sehingga disarankan evaluasi memakai densitometri pada satu tahun pertama sesudah pemeriksaan,
Pengulangan analisis biopsi 6 bulan sampai dengan 2 tahun sesudah pemeriksaan memungkinkan dokter untuk menilai tanggapan pasien terhadap terapi dan kepatuhan diet bebas gluten, yaitu untuk pasien dengan sedikit penyembuhan mukosa. bahwa biopsi usus halus adalah evaluasi pada pasien bergejala persisten,
Endoskopi
Pemeriksaan endoskopi kurang peka dan spesifik untuk mendeteksi penyakit celiac, Namun , pencitraan pada endoskopi meningkatkan kecurigaan ke arah penyakit celiac yaitu :
1. penurunan jumlah lipatan,ukuran dan atau hilangnya lipatan dengan insuflasi
maksimum;,
2.hilangnya vilus usus halus,
3.pencitraan granular dari bulbus duodenum. jika ada pencitraan itu, maka biopsi mukosa usus halus harus diambil. Biopsi melalui endoskopi harus tetap dilakukan walaupun pencitraan tonjolan terlihat normal namun ada kecurigaan klinis. Sebab, banyak pasien dengan penyakit celiac mempunyai tonjolan normal.5
walaupun uji serologi adalah uji yang peka, biopsi usus halus , pemeriksaan
serologi sebagai langkah pertama untuk evaluasi penyakit celiac,
4. fisura di sepanjang lipatan dan pola mosaik dari mukosa,
5. lipatan yang semakin mendatar,
Biopsi Usus Halus dan Histopatologi
Kombinasi ketidaknormalan vilus yang tampak dari biopsi usus halus dengan uji serologi yang positif adalah standar pemeriksaan penyakit celiac,
Klasifikasi Marsh20 yang direkayasa mengenai ketidaknormalan vilus
dipakai untuk menilai derajat keparahan atrofi vilus , Perubahan histologi yang
terlihat pada penyakit celiac bukan patognomonik. Sebab, perubahan itu bisa juga ditemukan pada infeksi parasit,
Kapsul Endoskopi
Kapsul endoskopi yaitu metode alternatif untuk evaluasi identifikasi penyakit celiac dan komplikasi, Kapsul endoskopi mampu mengenali .penyebaran acak dari kerusakan dan penyebaran longitudinal ke mukosa. Keterbatasan dari pemeriksaan ini yaitu kurangnya kemampuan untuk melakukan biopsi.
pemakaian kapsul endoskopi untuk pemeriksaan penyakit celiac terbatas
untuk pasien yang menolak endoskopi saluran cerna atas dan untuk mengevaluasi pasien dengan penyakit non-tanggapanif, yaitu investigasi komplikasi seperti neoplasia jejunitis ulseratif ,Penanda penyakit celiac menjadi lebih akurat dengan memakai kapsul endoskopi jika dibandingkan dengan endoskopi .
Hasil pemeriksaan serologi yang positif dengan hasil biopsi yang tipikal untuk penyakit celiac seperti limfosit intraepitelial, hiperplasia kripta, dan atropi vilus
menandakan adanya penyakit celiac, Biopsi ulang saat diet bebas gluten tidak diperlukan untuk pemeriksaan panyakit celiac, pada pemeriksaan penyakit celiac, disarankan mengambil contoh uji biopsi minimal 4 sampai 6 area dari
duodenum, dengan 2 sampel dari regio bulbus, Biopsi dari bulbus duodenum harus diinterpretasikan secara hati hati, sebab kondisi lain bisa mempunyai pencitraan histologi yang sama dengan penyakit celiac,
Uji Serologi
uji serologi sebagai uji pertama pasien , Karena kepekaan dan spesifisitasnya yang rendah, pemeriksaan antibodi antigliadin tidak lagi disarankan sebagai uji pertama. uji endomysial antibody (EMA) mempunyai kepekaan dan spesifisitas yang lebih tinggi tetapi harganya lebih mahal,
Pemeriksaan IgA tTG sebagai uji serologi untuk pemeriksaan penyakit celiacPemeriksaan tissue transglutaminase (tTG) juga mempunyai kepekaan dan spesifisitas yang lebih tinggi,
pasien dengan kekurangan IgA, telah ditemukan uji yang terbaru berupa pemeriksaan antibodi deaminated gliadin peptide (DGP). Pemeriksaan itu
ditemukan 15 kali lebih sering pada pasien dengan penyakit celiac jika dibandingkan populasi umum, Pada penyakit celiac ditemukan kekurangan
IgA. pasien yang rentan penyakit celiac, maka dilakukan pengukuran kadar IgA ,
Pengukuran kadar total IgA pada saat pertama pemeriksaan dilakukan
untuk menentukan kecukupan kadar IgA. jika kadar IgA rendah, selanjutnya yaitu pemeriksaan uji serologi berbasis IgG. Pemeriksaan IgG DGP atau IgG tTG lebih disarankan pada kondisi itu. Jika pemeriksaan IgA tTG menampakkan hasil negatif, maka mungkin terjadi kekurangan IgA. namun tidak semua pemeriksaan bisa mendeteksi hal itu dengan akurasi tinggi atau hasil negatif, ada keterbatasan data terhadap kepekaan masing-masing pemeriksaan untuk penyakit celiac pada kekurangan IgA yang diperkirakan sekitar .90% dan menjadi lebih tinggi jika uji itu dikombinasikan. Jika ada .kecurigaan penyakit celiac yang tinggi, maka perlu dilakukan biopsi usus halus walaupun uji serologi menampakkan hasil negatif. kekurangan IgA juga bisa ditemukan pada penyakit
lain yang bisa memicu atrofi vilus usus seperti pada kondisi imunokekurangan, giardiasis, pertumbuhan yang berlebihan dari bakteri di usus halus,
pemeriksaan EMA dan tTG kurang peka pada pasien anak usia <2 tahun. Pada usia ini, kepekaan anti-gliadin antibody (AGA) dan DGP lebih tinggi dibandingkan EMA dan tTG, AGA mempunyai kepekaan dan spesifisitas yang rendah dan tidak disarankan untuk uji penapisan penyakit celiac. walaupun uji DGP kurang baik jika dibandingkan uji EMA dan tTG , tetapi uji itu lebih superior dari AGA. Karena itu, disarankan untuk mengkombinasikan uji DGP dan tTG untuk penapisan pada pasien anak,
kondisi enteropati HIV, enteropati , imunokekurangan yang dipicu karena alergi obat seperti susu sapi, Penyakit celiac mengenai mukosa proksimal usus halus dengan kerusakan yang menurun secara bertahap di distal usus halus. tetapi,
pada penyakit berat, lesi bisa meluas ke area yang lebih distal. Lesi di duodenum atau jejunum bagian atas bisa tidak lengkap sebagai akibat pengambilan
contoh uji mukosa yang tidak cukup. 4 sampai 6 contoh uji biopsi harus diambil dari bulbus duodenum dan dari bagian kedua duodenum , Biopsi harus diambil ketika pasien menjalani diet yang mengandung gluten minimal 3
gram gluten/hari selama dua minggu, pemeriksaan histologi yang negatif memerlukan biopsi yang kedua pada pasien tertentu yang mempunyai antibodi
positif, seperti EMA ,titer anti-tTG, anti DGP yang tinggi,
beberapa sifat histologi penyakit celiac yang menjalani diet mengandung gluten yang bisa dilihat dengan mikroskop cahaya, Beberapa
sifat itu, antaralain :
1. infiltrasi sel mononuklear ke dalam lamina propria,
2. perubahan epitel, meliputi ketidaknormalan sel epitel,
3.peningkatan densitas limfosit intraepithelial >25/100 sel epitel,
4.hiperplasia kripta dengan penurunan rasio vilus/kripta,
5.atrofi vilus,
Tabel Klasifikasi Marsh yang direkayasa dari kerusakan usus halus
yang diinduksi gluten
tahap 0
Keterangan:
Preinfiltratif mukosa ; sampai 40 % dari pasien dengan gluten ataksia
dermatitis herpetiformis yang mempunyai contoh uji biopsi usus halus mendekati normal,
tahap 1
Keterangan:
Peningkatan jumlah limfosit intraepitelial lebih dari 25-100 enterosit dengan rasio kripta /vilus normal,
tahap 2
Keterangan:
Hiperplasia kripta, sebagai tambahan karena peningkatan limfosit intraepitelial, ada peningkatan kedalaman kripta tidak dengan pengurangan ketinggian vilus,
tahap 3
Keterangan:
Tidak adanya tonjolan vilus. adalah lesi klasik penyakit celiac. ada pada 50 % pasien dermatitis herpetiformis. walaupun ditandai dengan perubahan
mukosa , banyak pasien asimptomatik dan digolongkan sebagai penyakit celiac subklinik. Lesi ini khas, tapi tidak patognomonik untuk penyakit celiac,
ada pada tropical sprue , kekurangan imunoglobulin,giardiasis berat, alergi makanan pada pasien anak, sindrome post enteritis, penyakit graft versus host, iskemia kronik usus halus,
Tes Genetik
HLA-DQ8 (6%) atau HLA-DQ2 (93%) ada pada sebagian besar penderita penyakit celiac. Hasil negatif dari kedua pemeriksaan itu mengabaikan pemeriksaan penyakit celiac (nilai prediksi negatif >99%), namun nilai prediksi positif dari pemeriksaan genotipe HLA sangat rendah yaitu sekitar 11%. , karena sebagian besar pasien yang tidak memiliki penyakit celiac mempunyai gen HLA-DQ8 atau HLA-DQ2 , Prevalensi HLA-DQ2 pada manusia bermacam ragam antara 0-40%, sedang Prevalensi HLA-DQ8 pada manusia bermacam ragam antara 0-20%.
Pemeriksaan genotip
HLA berkhasiat pada pasien yang dicurigai. mengidap penyakit celiac tetapi gagal tanggapan dengan diet bebas gluten. Hasil uji yang negatif menandakan bahwa pasien itu tidak menderita penyakit celiac. Sebanyak <1% pasien dengan penyakit celiac menampakkan hasil negatif dari HLA-DQ8 dan HLA-DQ2 sehingga harus mencari kemungkinan pemicu lain ,
Pemeriksaan HLA ini untuk identifikasi pasien yang secara genetik
tidak berisiko menderita penyakit celiac,
Pemeriksaan HLA dipakai untuk pasien yang tidak pernah menjalani pemeriksaan yang tepat untuk penyakit celiac sebelum menjalani diet bebas gluten dan untuk pasien yang sembuh dengan diet bebas gluten,
pengobatan
karena sampai saat ini belum ada pengobatan yang tepat dan aman untuk mencegah kerusakan mukosa karena pajanan gluten, maka pengobatan penyakit celiac yaitu dengan Diet bebas gluten, Sumber gluten dari diet adalah gandum hitam,gandum, barley, istilah bebas gluten mengacu pada eliminasi komplit semua sumber yang mengandungkan gluten, pada kenyataannnya tidak mungkin dilakukan karena adanya kontaminasi makanan dengan sedikit
gluten. maka , istilah bebas gluten menandakan diet yang mengandung gluten dengan kadar terendah yang tidak berbahaya, namun Kadar gluten yang tidak memicu bahaya belum diketahui. mungkin <10 mg per hari atau <20 ppm. Diet
bebas gluten akan menghasilkan perbaikan kerusakan mukosa dalam beberapa waktu , risiko keganasan, penyakit celiac seperti limfoma non Hodgkin sel B dan sel T , adenokarsinoma usus halus, kanker esofagus,
diet bebas gluten memperbaki parameter nutrisi ditandai dengan peningkatan berat badan, indeks massa tubuh, peningkatan mineralisasi tulang,
pasien wanita pengidap penyakit celiac berisiko melahirkan bayi dengan berat lahir rendah infertilitas, aborsi spontan, kelahiran prematur,
Konsumsi oat memperbaiki diet yang mengandung nutrisi pada diet bebas gluten dengan meningkatkan asupan serat, vitamin B, magnesium, dan besi,
bahwa oat yang murni dan tidak terkontaminasi gluten bisa dikonsumsi secara aman , pasien penyakit celiac bisa mengalami intoleransi terhadap oat murni dan bisa mengalami tanggapan imunologi terhadap oat,
Gambar 2. pencitraan histologi penyakit celiac.19 Mukosa normal, B.
Penyakit Celiac
Gambar 1 Mekanisme kerusakan mukosa pada penyakit celiac
PENYAKIT THALASEMIA
Thalasemia yaitu penyakit sindrom kelainan yang diwariskan diturunkan dan masuk ke dalam golongan hemoglobinopati,
penyakit thalasemia yaitu penyakit kelainan darah yang dipicu oleh gangguan produksi hemoglobin, sehingga jumlah hemoglobin berkurang ,
Thalasemia yaitu kelainan yang dipicu oleh gangguan sintesis hemoglobin
akibat mutasi di dalam atau dekat gen ,
Tanda dan gejala pada anak thalasemia yaitu berat badan berkurang,lemah, anemia, perkembangan fisik tidak sesuai dengan umur, hepatomegali, tidak bisa hidup tanpa tranfusi darah, bentuk wajah berubah , pembesaran limpa, terjadi facecoley,
bahwa pasien anak thalasemia memerlukan dan menjalani tranfusi darah teratur untuk mempertahankan kehidupannya, pasien anak harus mengkonsumsi obat kelasi besi yang bertujuan untuk mengurangi kelebihan zat besi akibat transfusi darah yang dilakukan secara rutin dan dalam jangka waktu lama.
Proses pengobatan thalasemia memerlukan waktu yang lama dibawah pengawasan ketat tenaga ahli yang berpengalaman dan teratur minum obat , oleh karena itu pasien anak yang menderita thalasemia harus terus menjalani rawat inap selama berbulan-bulan dirumah sakit,
efek samping Transfusi darah ini dimana kelebihan zat besi akibat transfusi
darah akan memicu komplikasi pada ginjal , jantung ,hati, pembengkakan limpa ,
orang tua yang mengalami cemas dikarenakan pasien anaknya menderita
thalaemia akan melakukan tindakan overprotektif, perasaan tanggung jawab
pada pasien anaknya,