www.gorengx.blogspot.com
.....
www.berasx.blogspot.com
......
Tampilkan postingan dengan label mata 7. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label mata 7. Tampilkan semua postingan
Rabu, 06 April 2022
mata 7
April 06, 2022
mata 7
STRABISMUS
strabismus terjadi bila sistem optik tidak segaris antara kedua mata , ini bisa terjadi akibat anomali kendali neuromuskular atas gerakan otot-otot bola bola mata dan kelainan penglihatan binokular,
ortoforia adalah kondisi keseimbangan okular yang sangat ideal/sempurna. kondisi ini jarang ada karena kebanyakan pasien dalam kondisi heteroforia minimal, ortotropia merujuk pada posisi atau arah kedua mata yang benar, walaupun ada sedikit heteroforia ,
heteroforia adalah ketidakseimbangan kedua mata, atau deviasi, yang tidak terlihat karena dikompensasi oleh mekanisme fusi. bila mekanisme fusi tidak mampu mengkompensasi ketidakimbangan yang terjadi antara kedua mata
maka terjadi strabismus atau heterotropia, masalah ini perlu segera diatasi.sehingga dapat terhindar dari terjadinya ambliopia,
posisi primer adalah posisi di mana mata melihat lurus ke depan sehingga aksis visualnya sejajar dengan bidang sagital, dalam posisi primer ini, sumbu orbital menjauhi sumbu visual sehingga membentuk sudut 23°. jadi, sumbu visual terletak 23° di sebelah nasal sumbu orbital, bila seluruh otot ekstraokular dalam kondisi istirahat total atau lumpuh ( anestesia ), maka kedua mata akan bergulir ke arah luar (divergen), sehingga sumbu visual ada pada posisi istirahat,.bila mata dalam posisi primer berubah arah karena kontraksi otot, ini dinamakan aksi otot, otot rektus horisontal masing-masing hanya memiliki satu aksi primer, sedang otot rektus vertikal dan oblik, memiliki aksi vertikal,
torsional, dan horisontal, sehingga memiliki aksi primer, sekunder, dan tersier.
duksi adalah gerak rotasi satu mata, bila mata berotasi pada sumbu-x sehingga menghasilkan rotasi vertikal ke atas, maka gerakan ini dinamakan sebagai sursumduksi ,supraduksi, elevasi, bila ke bawah, dinamakan deorsumduksi , infraduksi atau depresi, rotasi ke nasal dinamakan adduksi, sedang bila rotasi ke temporal dinamakan abduksi. dengan sumbu-y sebagai porosnya, mata bisa melakukan gerakan torsional, dinamakan sebagai sikloduksi. insikloduksi (intorsi) adalah torsi kornea pada arah jam 12 ke nasal, sedang torsi yang serupa ke arah temporal dinamakan eksikloduksi (ekstorsi),
karena otot-otot rektus vertikal tidak segaris dengan sumbu penglihatan, kontraksinya memiliki 3 macam aksi. aksi primernya adalah rotasi vertikal, aksi sekundernya rotasi horizontal, dan aksi tersiernya rotasi torsional. dan sebaliknya. karena sumbu otot berbeda 23° (sama dengan sumbu orbital) dengan sumbu.visual ke arah temporal, maka dengan kontraksi rektus lateral yang memicu bola mata berdeviasi ke temporal sejauh 23° hingga
segaris dengan sumbu orbital, aksi sekunder dan tersier otot-otot
rektus vertikal akan hilang, bila aksis visual segaris dengan aksis orbital, maka rektus superior akan menjadi elevator murni dan rektus inferior akan menjadi depresor murni,
otot-otot oblik memiliki aksis yang menyimpang 51° dari aksis visual ke arah nasal dan kedua otot oblik ini memiliki insersi yang terletak di belakang equator. akibatnya, kontraksi oblik superior memicu insikloduksi sebagai aksi primernya, karena insersinya di belakang equator, memicu infraduksi (aksi sekunder); dan abduksi (aksi tersier) karena deviasi aksis 51° ke nasal, hal sama terjadi pada oblik inferior, fungsi otot ini adalah eksikloduksi, namun karena insersinya di belakang equator, kontraksinya malah memicu bola mata supraduksi. karena axis otot ini berbeda 51° dari axis visual ke nasal, kontraksinya (sama halnya dengan oblik superior) memicu abduksi, dalam posisi primer otot rektus medial dan lateral sama-sama.adalah abduktor dan adduktor murni. namun dalam kondisi upgaze, otot-otot ini saat berkontraksi juga menghasilkan aksi
sekunder yaitu supraduksi. sebaliknya, dalam kondisi downgaze, rektus horizontal ini memiliki aksi sekunder yaitu infraduksi, cara yang baik untuk memperbaiki deviasi vertikal yang kecil saat mengerjakan prosedur resesi atau reseksi adalah dengan menggeser insersi rektus horizontal yang diinginkan secara vertikal (ke bawah atau ke atas).
bidang aksi otot adalah posisi gaze di mana satu otot masing masing pasienal adalah penggerak utama bola mata, ada 6 bidang aksi otot dari keenam otot ekstraokular. berikut adalahbidang-bidang aksi itu.
tabel bidang aksi otot ekstraokular
otot ekstraokular bidang aksi
rektus inferior bawah dan temporal
oblik superior bawah dan nasal
oblik inferior atas dan nasal
rektus medial nasal (langsung)
rektus lateral temporal (langsung)
rektus superior atas dan temporal
Dalam pergerakannya bola mata memiliki 3 sumbu, yaitu
X, Y, dan Z. Ketiga sumbu ini dinamakan sumbu-sumbu (axis) Fick.
Bidang Listing adalah bidang yang terbentuk oleh sumbu X dan Z,
dengan sumbu miring/ oblik (O) yang terletak di antara sumbu X
dan Z. Pada bidang Listing, mata bisa mencapai semua posisi gaze
dengan berotasi pada sumbu-sumbu tadi (X, Z, O), ini dinamakan
Hukum Listing
Tabel Rotasi bola mata berdasar bidang Listing
Axis Orientasi Rotasi
X Horizontal Vertikal
Y Anteroposterior Torsional
Z Vertikal Horizonta
Hukum Sherrington: otot-otot agonis dan antagonis pada hukum Donder ada orientasi khusus retina dan kornea untuk tiap posisi gaze. Pada saat mata berotasi menurut sumbu-O, seolah-olah terjadi torsi kornea relatif terhadap bidang Listing. Torsi ini bukan torsi yang sebenarnya terhadap sumbu-Y , dinamakan pseudotorsi,
dalam duksi, satu otot berkontraksi dan yang satu lagi akan relaksasi. bila mata abduksi, maka rektus lateral akan berkontraksi, sedang rektus medial relaksasi. otot yang relaksasi dinamakan antagonis, otot yang berkontraksi dinamakan agonis ,
hubungan antara otot-otot agonis dan antagonis dinyatakan sebagai hukum sherrington mengenai inervasi resiprokal, pasangan antagonis agonis ini yaitu: rektus medial – rektus lateral; rektus inferior – rektus superior; oblik superior –
oblik inferior. hukum sherrington mengenai inervasi resiprokal hanya berlaku pada gerakan monokular seperti duksi. sinergis yaitu aktivitas otot-otot pada satu mata yang beraksi untuk menggerakkan bola mata ke satu arah. otot oblik inferior dan rektus superior sama sama bekerja sebagai elevator saat supraduksi, karenanya mereka sinergis untuk supraduksi. namun, keduanya tidak sinergis pada gerakan torsional dan horisontal ,
Tabel Gerakan duksi dan penggeraknya
duksi : penggerak primer: penggerak sekunder:
abduksi rektus lateral oblik superior & inferior
eksikloduksi oblik inferior rektus inferior
insikloduksi oblik superior rektus superior
supraduksi rektus superior oblik inferior
infraduksi rektus inferior oblik superior
adduksi rektus medial rektus superior & inferior
hukum hering mengenai otot-otot yoke
mata yang bergerak gerak ke arah yang sama disebut melakukan versi. bila hendak melirik ke kanan, maka kedua otot agonis yaitu rektus medial kiri dan rektus lateral kanan akan berkontraksi sedang kedua otot antagonis yaitu rektus lateral kiri dan rektus media kanan akan berelaksasi, dua otot yang
bekerja berpasangan dalam gerakan versi disebut sebagai otot otot yoke.
rektus medial kanan dan rektus lateral kiri adalah otot-otot yoke antagonis,
rektus lateral kanan dan rektus medial kiri adalah otot-otot yoke agonis,
otot-otot yoke merujuk pada otot-otot yoke agonis,
tabel kerja otot yoke : pasangan otot-otot yoke
mata kanan mata kiri gaze
oblik superior rektus inferior kiri bawah
rektus medial rektus lateral kiri
oblik inferior rektus superior kiri atas
rektussuperior oblik inferior kanan atas
rektus lateral rektus medial kanan
rektus inferior
oblik superior kanan bawah
hukum hering mengenai otot-otot yoke hanya berlaku pada pergerakan
bola mata binokular,hukum hering menyatakan bahwa otot-otot yoke antagonis dan otot-otot yoke agonis memperoleh inervasi yang setara. bila kedua mata melirik ke kanan maka disebut dekstroversi, ke bawah infraversi, ke kiri levoversi, ke atas supraversi,
ada tiga gerakan vergensi utama, yaitu vergensi vertikal ,konvergensi, divergensi, gerakan binokular dengan axis penglihatan saling
berlawanan dinamakan gerakan vergensi atau disjungtif ,
divergensi terjadi bila kedua bola mata bergulir ke temporal saat mata berfiksasi pada obyek yang tadinya dekat menjauh darimata. masing masing pasien esoforik memanfaatka divergensi untuk menjaga fusi motoriknya. namun , divergensi relatif lemah dan tidak bisa diperbaiki kekuatannya dengan latihan, bila pasien melihat obyek yang dekat (contohnya 25 cm), maka kedua mata akan mengalami konvergensi, gerakan konvergen untuk menjaga fusi, dinamakan konvergensi fusional, konvergensi yaitu gerakan vergen yang terkuat dan kekuatannya bisa diperbaiki dengan latihan., maka masing masing pasien dengan exoforia memanfaatkan konvergensi.untuk mempertahankan fusi motorik,
vergen vertikal adalah gerakan elevasi satu mata sementara yang lain depresi. gerakan ini paling lemah di antara ketiga vergensi. untuk prisma base-out, kekuatan terbesar yang masih bisa diatasi dengan konvergensi fusional adalah 30 – 40 PD (prisma dioptri). prisma base-up atau base-down bisa diatasi dengan vergensi vertikal hanya hingga kekuatan 2 – 3 PD, untuk prisma base-in, mekanisme divergensi fusional maksimal aktif pada kekuatan prisma hingga 6 – 10 PD.
bila kekuatan prisma cukup kecil, maka mata yang diberi prisma akan mampu bergulir ke nasal untuk berfiksasi pada obyek. menurut hukum hering mengenai gerakan otot-otot yoke, maka mata yang tidak diberi prisma juga akan bergeser namun ke temporal. pada saat ini diplopia masih terjadi karena pada mata yang tidak dipasangi prisma bayangan jatuh di temporal fovea. kemudian dengan konvergensi fusional yang memanfaatkan fusi motorik, maka mata yang tidak diberi prisma maka mampu berfiksasi pada obyek. sesudah konvergensi fusional tercapai, diplopia akan hilang dan bayangan jatuh tepat di fovea kedua mata. pada saat ini, mata di belakang prisma dalam posisi esotropik. jadi,
prisma base out memicu konvergensi fusional. sebaliknya, prisma base-in akan mengurangi esoforia (atau esotropia sesaat) dan dengan divergensi fusional (untuk mengatasi diplopia) maka mata di belakang prisma –sebaliknya- akan terlihat dalam posisi exotropik. dalam masalah lain, prisma base-up dan base-down akan memicu vergensi vertikal.dalam gerakan konvergensi adalah gerakan fusional nasal kedua mata, bila di depan salah satu bola mata pasien diberi prisma base-out maka bayangan yang sebelumnya jatuh di fovea akan jatuh ke temporal fovea, kondisi sekarang ini sama dengan exoforia (atau exotropia sesaat) maka, prisma base-out mengurangi exotropia. pada saat ini juga terjadi konfusi karena fovea mata yang satu menangkap bayangan yang berbeda dengan fovea yang satunya lagi sedang pada diplopia obyek yang sama merangsang fovea mata yang satu dan ekstrafovea mata yang lain,
obyek yang mendekat akan merangsang munculnya refleks dekat. dalam refleks dekat ini terjadi miosis,akomodasi, konvergensi, sinkinesis antara konvergensi dan akomodasi inilah dinamakan konvergensi akomodatif,
akomodasi adalah salah satu pemicu munculnya konvergensi, ada nilai yang menghubungkan keduanya, yaitu perbandingan antara akomodasi (A) dan konvergensi akomodatif (AC) yaitu rasio AC/A. Rasio AC/A yang normal adalah 4 – 6 PD konvergensi untuk setiap diopter akomodasi,
bila AC/A rendah berarti ada insufisiensi konvergensi dan adalah predisposisi exotropia saat melihat dekat, bila AC/A tinggi, berarti terjadi konvergensi berlebihan dan predisposisiesotropia saat melihat dekat,
macam-macam konvergensi lainnya adalah konvergensi proksimal atau konvergensi instrumen (diinduksi oleh kesadaran psikologis akan keberadaan obyek yang dekat), konvergensi tonik (tonus saraf konstan pada masing masing pasien yang sadar penuh), konvergensi volunter (yang dilakukan dengan sengaja), dan
Strabismus bisa terjadi secara kombinasi , horizontal, vertikal, torsional,
berdasar arah deviasinya, strabismus dibedakan menjadi beberapa macam. bila terjadi deviasi ke arah nasal maka dikatakan sebagai esotropia (ET) atau bila
laten dinamakan esoforia, Deviasi ke temporal dinamakan exotropia (XT) atau bila laten dinamakan exoforia, Suatu hipertropia (HT) terjadi bila mata yang satu lebih tinggi dibandingkan satunya lagi. bila mata kanan hipertropia, maka berarti sama saja dengan mata kiri hipotropia dan sebaliknya, ini bisa membingungkan, berdasar kesepakatan, semua deviasi vertikal dikatakan sebagai hipertropia (HT), kecuali bila ada restriksi nyata atau paresis yang memicu salah satu mata hipotropik,
jika ada misalignment torsional seputar sumbu-Y Fick maka terjadi siklotropia. bila posisi jam 12 salah satu bola mata mengalami rotasi ke arah nasal maka terjadi insiklotropia, sedang bila putarannya ke arah temporal maka dinamakan eksiklotropia.
pada pasien tertentu, foria yang terjadi cukup besar sehingga kadang mekanisme fusi motorik gagal mempertahankan alignment sehingga terjadi tropia intermiten, dalam kondisi penekanan global sistem saraf pusat, contoh pada saat kelelahan sakit , foria bisa berubah menjadi tropia. kebanyakan pasien mengalami heteroforia yang bisa diatasi. dengan mekanisme fusi motorik untuk menjaga alignment yang ideal, bila deviasi yang terjadi tidak sama besarnya pada arah lirikan yang berlainan (contohnya deviasi bila mata melirik ke kanan lebih besar dibandingkan bila mata melirik ke kiri) maka strabismus yang terjadi digolongkan strabismus inkomitan, ini terjadi pada restriksi atau paresis otot ekstraokular. strabismus dibedakan menjadi strabismus inkomitan dan komitan , strabismus komitan bila deviasi yang terjadi selalu memiliki besar yang sama kemanapun arah lirikan (gaze) mata. pada strabismus jenis ini kedua mata bergerak bersamaan secara baik dan tidak ada restriksi atau paresis , strabismus jenis ini biasanya kongenital atau muncul pada masa pasien anak dan biasanya adalah tanda yang baik sebab pemicunya tak terkait masalah neurologis. pengeculiannya adalah pada paralisis saraf abdusens bilateral, miastenia gravis, oftalmoplegia eksternal progresif kronik, pada kondisi ini bisa terjadi strabismus inkomitan,
pasien dengan paresis otot rektus medialis kanan, maka mata kiri adalah mata yang sehat, bila mata yang sehat berfiksasi pada obyek di kiri depan, maka dikirim impuls saraf ke otot-otot yoke (rektus lateralis kiri dan rektus medialis kanan) dengan besar yang sama (sesuai hukum hering), contohnya sebesar “ y”. karena rektus medial kanan paresis, maka impuls sebesar “y ” ini tidak cukup untuk mencapai alignment yang tepat. akibatnya mata kanan mengalami exotropia dengan deviasi sebesar “α°”. Deviasi akibat mata sehat berfiksasi pada.obyek inilah yang dinamakan deviasi primer,
bila mata yang tidak sehat (mata kanan) yang hendak berfiksasi pada obyek di kiri depan tadi , maka otak disarankan bisa mengirimkan impuls saraf dalam jumlah lebih besar ke rektus medial kanan, contohnya sebesar 6x . sesuai hukum hering, maka rektus lateral kiri juga akan menerima impuls sebesar 6x juga , akibatnya terjadi misalignment dan mata kiri mengalami exotropia dengan deviasi yang lebih besar, yaitu “3α°”..deviasi akibat mata yang sakit berfiksasi pada obyek inilah yang dinamakan sebagai deviasi sekunder.
deviasi sekunder primer ini bisa dipicu oleh anisometropia, ini terkait dengan konvergensi dan akomodasi , adanya anisometropia akan memicu mata yang satu akan berfiksasi pada obyek dengan kekuatan yang berbeda bila
dibandingkan dengan mata yang satunya yang berakomodasi.
3 faktor pemicu strabismus, yaitu faktor pusat,faktor sensorik dan
faktor motorik,
faktor sensoris
area retina dari mata kiri kanan terkait pada sel-sel binokular kortikal yang sama dinamakan sebagai titik-titik retina berespon. kalau penglihatan tunggal binokular ini dilakukan oleh 1 fovea dan 1 extrafovea, ini dinamakan dengan
respon retina tidak normal,. .pada gangguan media refrakta sinar yang masuk ke fovea pusat tidak seimbang sehingga mekanisme fusi sukar dipertahankan (contoh katarak kongenital , leukoma kornea ). gangguan penglihatan tunggal binokular ,gangguan retina ( ablasi,sikatriks ), bisa memicu strabismus.
garis horopter adalah garis di depan mata dimana bila obyek terletak di titik mana saja di sepanjang garis itu, bayangannya akan jatuh tepat pada titik-titik retina berespon pada kedua mata.
area panum fusional adalah ekstensi dari garis horopter.
yaitu area obyek di mana bayangan yang dilihat tidak jatuh pada titik-titik yang berespon pada retina, namun masih bisa disatukan membentuk citra binokular tunggal.
normal nya dimana bayangan yang terbentuk di kedua fovea dan retina perifer bersatu di korteks visual membentuk citra tunggal 3 dimensi disebut bifiksasi atau fusi bifoveal ,masing masing pasien yang mampu melakukan fusi bifoveal memiliki respon retina normal. bila masing masing pasien memandang obyek
yang berada di luar area panum maka citra yang terbentuk di korteks visual tidak lagi dapat mengalami fusi akibatnya muncul diplopia penglihatan ganda ,diplopia akibat obyek berada di luar area panum ini dinamakan diplopia fisiologik.
bila masing masing pasien memandang ke bukit di kejauhan, sambil
meletakkan jarinya sekitar 30 cm di depan kedua matanya maka jari itu akan terlihat menjadi dua. bila sambil tetap menatap ke kejauhan masing masing pasien itu menutup mata kanannya, maka bayangan jari yang di sebelah kiri akan hilang dan diplopia hilang. sebaliknya bila mata kiri yang ditutup, maka bayangan yang kanan akan hilang dan diplopia juga hilang. maka, bila obyek yang dilihat berada di luar dan proximal area panum seperti di atas, maka diplopia fisiologik menyilang akan terjadi. sebaliknya berlaku bila obyek yang dilihat berada di luar area panum. akan muncul diplopia tidak menyilang.
diplopia memicu kebingungan yang bisa diatasi dengan mensupresi
mata yang bergulir pada tropia atau melihat dengan memiringkan kepala untuk mensejajarkan aksis. bila mata yang sehat ditutup, maka fokus mata yang sakit akan kembali ke fovea. namun bila mata yang sehat tadi ditutupi namun mata yang deviasi tetap tidak fiksasi ke obyek (tidak kembali ke fovea) maka mata itu dikatakan memiliki fiksasi eksentrik. ini adalah salah satu bentuk respon retina tidaknormal, supresi yang dilakukan oleh korteks visual terhadap salah satu citra dinamakan supresi kortikal,citra yang jatuh dalam lapangan supresi kortikal tidak akan dipersepsi ini dinamakan skotoma supresi,
faktor pusat di antaranya ketidakmampuan konsentrasi, adanya
hiperaktivitas atau hipoaktivitas persarafan, faktor motoris termasuk gangguan vascular, gangguan akibat kelainan bentuk orbita,kelainan pertumbuhan otot, trauma lahir, infeksi, tumor,
pada strabismus alternans, kemungkinan pasien juling sejak lahir, pasien memakai mata kiri kanan secara bergantian, karena penglihatannya tidak binokular, kalau onset strabismusnya kurang dari usia 3 bulan berarti matanya tidak sempat melihat secara binokular sehingga strabismusnya tidak bisa
diatasi,
dicari ada tidaknya faktor keturunan, partus lama, akan menandakan riwayat pasien bayi kekurangan oksigen, ini bisa memicu kerusakan pada otak memicu susah berkonsentrasi. komplikasi itu, antaralain : gangguan motoris, gangguan tortikolis,gangguan sensoris,
saat pasien sakit panas terjadi strabismus. tenaga medis perlu mencari tahu
perkembangan penyakitnya, apakah siklik ,progresif, intermiten atau menetap,
pada pemeriksaan obyektif, penderita dibuat sikloplegik, baru kemudian diperiksa dengan streak.retinoscopy, caranya dengan meletakkan lensa
dengan kekuatan bermacamragam di depan pasien. kemudian pemeriksa
melihat dengan retinoskop. dari pemeriksaan ini akan diketahui refraksi pasien yang akurat dan kekuatan lensa yang memberikan visus terbaik sebagai koreksinya.
teliti perilaku visual pasien, sikap kepala,gerakan mata, fiksasi, arah, pemeriksaan banding awal mengarahkan pemeriksaan fisik visus dan refraksinya diperiksa secara obyektif ,subyektif , pada pemeriksaan visus secara subyektif, bila visus tidak pernah mencapai 6/6 contohnya paling baik 6/7,5 diperiksa ada tidaknya kelainan lain. kalau tidak ada kelainan lain maka mungkin pasien ambliopia.
fiksasi pusat diperiksa secara monokular dengan menggerakkan obyek menarik ke depan dan ke belakang pasien anak secara perlahan. bila pasien anak mampu melihatnya dan tertarik, maka ia akan melakukan pursuit. fiksasi pusat ini menandakan fungsionalnya fovea dengan kisaran visus 6/24 atau lebih baik. fiksasi eksentrikmenandakan buruknya penglihatan dan ambliopia bermakna, dengan visus 6/60 atau kurang. untuk memeriksa nistagmus laten dilakukan oklusi salah satu mata sehingga meningkatkan nistagmus. namun pengaburan dengan lensa positif yang paling kecil yang bisa memaksa mata satunya fiksasi. maka nistagmus lebih ringan. untuk menilai potensi visus terbaik, dilakukan pemeriksaan binokular dengan pasien dibebaskan untuk melakukan manuver kepala dan matanya sendiri untuk memperoleh penglihatan yang lebih jelas, dari pemeriksaan ini bisa diketahui jenis fiksasi mata pasien, apakah fiksasi,eksentrik, pusat, nistagmus,
uji fiksasi baku pilihan untuk mendeteksi ambliopia pasien anak yang belum bisa berbicara, yang mungkin tidak ada pada pemeriksaan fiksasi monokular. bila pasien lebih suka melihat dengan salah satu mata saja maka mungkin mata yang lainnya amblyopik.
uji prisma vertikal,uji fiksasi baku juga tidak bisa dipakai pada mata lurus.uji fiksasi baku pilihan akan memicu pemeriksaan berlebihan ambliopia pada pasien anak dengan deviasi kecil (< 10 prisma dioptri, PD). untuk mengatasi masalah ini dilakukan uji prisma vertikal, dengan memasang prisma base-up atau base-down pada salah satu mata dengan ukuran 10 – 15 PD. pemasangan prisma base-up di depan mata yang fiksasi akan mendepresikan kedua mata, bila di depan salah satu mata dipasangi prisma dan tidak ada gerakan,
berarti mata yang tidak dipasangi prisma yang berfiksasi.
Duksi horisontal dan vertikal dinilai dengan skala 0 sampai minus 4, dengan keterbatasan minus 1 berarti keterbatasan ringan dan minus empat berat (mata tidak mampu menyeberang garis tengah). Pada evaluasi versi, 9 posisi pandang kardinal harus dinilai, Versi tidak normal memiliki skala +4 melalui 0 sampai –4 (0=normal;
+4=overaksi berat; dan –4=kekurangan aksi berat). Untuk mencari
disfungsi oblik, tenaga pemeriksa disarankan memastikan bahwa mata yang
abduksi fiksasi, maka mata adduksinya bebas mewujudkan disfungsi obliknya,
Yang dinilai adalah ada tidaknya gejala tanda pola A/V dan ada tidaknya under- atau over-action Pola “A” adalah bila deviasi pada lirikan ke atas lebih ke nasal dibandingkan lirikan ke bawah dan pola “V” adalah bila deviasi pada lirikan ke atas lebih ke temporal dibandingkan lirikan ke bawah,
uji Hirschberg ini hanya valid bila pasien berfiksasi pada lampu,
Pada uji Hirschberg ini pasien diminta melihat ke arah lampu
yang diletakkan di depan pasien. Pemeriksa menilai lokasi pantulan
cahaya pada masing-masing mata. Caranya dengan menyinarkan sentolop setinggi mata penderita sebagai sinar fiksasi. Senter ini terletak 30 cm dari
penderita. Refleksi sinar pada mata fiksasi diletakkan di tengah
pupil, kemudian dilihat letak refleks sinar pada kornea mata yang lain.
Pada pasien dengan strabismus mata yang berdeviasi menampakkan
lokasi eksentrik dari reflek cahaya dibandingkan dengan lokasi
reflek cahaya ketika mata berfiksasi. bila pergeseran sinar dari
tengah pupil 1 mm, maka terjadi deviasi 7° (15 PD) dan bila
refleksi sinar terdapat di tepi pupil, maka deviasinya 12-15° (30 PD).
Pergeseran sampai ke pertengahan iris temporal menampakkan
esotropia 30° (60 PD) dan bila refleksi sinar pada kornea terletak
pada pinggir limbus berarti deviasi 45-60° (90 PD).
Uji yang paling mudah dikerjakan adalah uji cahaya, namun tidak setepat uji lainnya contohnya uji penutupan.
target akomodatif, karena pasien disarankan bisa mempertahankan fiksasi
atas target ini. Target akomodatif adalah sesuatu yang memiliki detail-detail yang halus, yang memerlukan akomodasi yang akurat untuk melihatnya. senter kecil tidak termasuk target akomodatif. target akomodatif adalah optotip Snellen,Pemeriksaan posisi binokular perlu dilakukan untuk mengukur sudut deviasi, i Caranya dengan uji refleksi kornea untuk fiksasi dekat, yaitu dengan uji Hirschberg dan uji Krimsky, uji tutup – buka tutup, dan uji batang-batang Maddox (Maddox - Rod test).
pada Uji Krimsky prisma diletakkan didepan salah satu mata, dengan dasar yang diarahkan dengan tepat untuk menetralisasi deviasi, yaitu esotropia – base out, eksotropia – base-in, dan hipertropia – base-down. Caranya
dengan cahaya disinarkan pada mata penderita pada jarak 33 cm dari penderita. Prisma diubah-ubah kekuatannya sampai letak sinar pada mata yang
berdeviasi (dengan prisma) dan mata fiksasi sama, yaitu di pusat.
Derajat deviasi dapat diukur berdasar kekuatan prisma yang
dipakai sehingga letak kedua sinar pada kornea sama (pusat),
Uji Bruckner untuk mencari reflek merah pada mata dengan oftalmoskopi langsung, Reflek merah ini akan lebih terang pada mata yang deviasi. Uji ini mengidentifikasi kelainan yang mengubah reflek merah, di antaranya kekeruhan kornea,anisometropia, ablasi retina,
Uji Buka – Tutup yaitu Mata ditutup bergantian dengan occluder dari mata kanan ke kiri dan sebaliknya. Dilihat kedudukan mata di bawah occluder
atau saat occluder dipindah pada mata yang lain. Pemeriksaan ini
menampakkan kualitas (eso-, exo-, hiper-) dan sifat/nature
(foria atau tropia) deviasi,
Uji Tutup Bergantian untuk menentukan deviasi penuh, termasuk foria laten, dengan mendisosiasi fusi binokular, Uji ini dilakukan dengan cara bergantian menutupi satu mata, guliran refiksasi mata ke garis tengah diperhatikan. Penutupan satu mata dilakukan beberapa detik untuk mendisosiasi fusi,
uji Proyeksi adalah interpretasi pasien dalam melihat suatu obyek sesuai dengan elemen retina yang terstimulasi. bila pemeriksa melihat pasien berarti
orang terfokus di fovea, namun pemeriksa juga bisa melihat jam dinding di
atasnya. Jam itu terfokus di retina bagian bawah. bila pemeriksa
ingin melihat jam maka jam terfokus di fovea, dan pasien akan
terfokus di retina bagian atas, hasilnya pemeriksa melihat pasien itu
berada di bawah jam dinding,
Uji Batang Maddox yaitu Penderita duduk 6 m atau 20 kaki dari cahaya dan
Maddox rod diletakkan didepan satu mata. tanyakan kedudukan
garis Maddox rod terhadap lampu yang dilihat dengan mata tanpa
Maddox rod. Sinar vertikal Maddox rod tidak terletak pada satu garis
dengan lampu dan garis berimpit menandakan foria. Sinar vertikal
Maddox rod tampak sebelah kiri lampu menandakan eksoforia,
Sinar vertikal Maddox rod tampak sebelah kanan lampu berarti
ada esoforia,
Sumber fiksasi didekatkan ke wajah pada bidang mid-sagittal,
agar mata diharapkan bisa berfiksasi. Dengan sayap Maddox mata
difiksasi ke suatu lokasi tanpa berkedip, bila lelah mata akan
bergulir kemudian di ukur lamanya dan jauhnya bergulir,
pemakaian sinoptofor adalah untuk mencari dan memeriksa
besarnya sudut deviasi subyektif,status fusi, amplitudo fusi,
bisa juga obyektif, Sinoptofor bisa juga untuk latihan fusi,
Cara Mengukur Deviasi pada Strabismus Inkomitan yaitu
ada suatu kondisi di mana mata kiri (OS) mengalami esotropia (ET), maka diperlukan pengukuran deviasi sekunder , primer ,
Pengukuran Deviasi Primer adalah deviasi yang terjadi saat mata yang
sehat berfiksasi, ini adalah mata kanan (OD).
foto skema pengukuran deviasi primer
foto skema pengukuran deviasi sekunder
Pengukuran Deviasi Sekunder adalah deviasi yang terjadi saat mata yang
sakit berfiksasi, ini adalah mata kiri (OS).
keterangan:
Dengan mata kiri (yang ET) berfiksasi pada obyek, bayangan obyek tidak jatuh pada fovea mata kiri, bila dipasang prisma base-out 10 PD di depan mata kanan, maka mata kanan akan adduksi dengan kekuatan “x” dan mata kiri akan abduksi dengan kekuatan “x” juga, sesuai dengan hukum Hering,
Namun karena ada restriksi rektus medial kiri, maka bayangan belum akan jatuh di fovea. Karena bayangan belum juga jatuh di fovea dengan prisma 10 PD di depan mata kanan, maka bisa dicoba pemakaian prisma yang lebih kuat, contohnya 20 PD. Prisma yang lebih kuat ini akan memaksa mata kanan
lebih jauh lagi bergulir ke nasal dengan konsekuensi mata kanan
akan bergulir sedikit lebih jauh lagi ke temporal. bila bayangan berhasil jatuh di fovea, maka deviasi primernya 20 PD,
hasilnya adalah OD fiksasi = 10 PD (deviasi primer) dan OS fiksasi = 20 PD (deviasi sekunder).
Konvergensi diukur dengan memperhitungkan jarak antara kedua pupil, Semakin besar jarak antarpupil, semakin besar konvergensi yang diperlukan untuk fiksasi dekat, Besarnya konvergensi yang diperlukan untuk mempertahankan kedua mata berfiksasi pada suatu obyek adalah berbanding terbalik dengan jarak fiksasi dalam meter dikalikan dengan jarak antarpupil dalam centimeter, pasien dengan jarak antar pupil 65 mm
yang memandang obyek ¼ meter di depan mata, disarankan bisa konvergensi
sebesar 26 PD,
Akomodasi
adalah kenaikan kekuatan lensa , usaha memfokuskan bayangan dalam jarak dekat, contohnya saat sedang membaca. Konvergensi mempertahankan kedua mata terfiksasi pada obyek, Akomodasi terkait dengan konvergensi. Jadi semakin besar akomodasi, semakin besar konvergensi,
Besarnya akomodasi dalam dioptri yang diperlukan untuk berfokus pada obyek dalam jarak tertentu adalah nilai resiprokal jarak fiksasi dalam meter.
bila obyek yang dilihat jaraknya ¼ meter dari mata, maka akomodasi yang
diperlukan agar bayangan jatuh tepat pada fovea adalah sebesar
4,00 D; dan obyek yang terletak 1/3 meter akan memerlukan
akomodasi sebesar 3,00 D. Mata hiperopik +1,00 D tanpa koreksi
disarankan bisa berakomodasi sebesar 5,00 D untuk melihat dengan jelas
obyek yang berjarak ¼ meter di depan mata (4,00 D untuk fiksasi dekatnya dan 1,00 D untuk hiperopianya ),
Rasio AC/A
adalah besar perubahan dalam konvergensi untuk suatu besar perubahan dalam akomodasi, rasio AC/A yang rendah menampakkan kekurangan konvergensi untuk jumlah tertentu akomodasi (geseran exo saat dekat).,Rasio AC/A yang tinggi menampakkan adanya kelebihan konvergensi untuk jumlah tertentu akomodasi (geseran eso saat dekat)
tiga metode untuk menentukan rasio AC/A, yaitu
metode gradien lensa,metode heteroforia, hubungan klinis jauh-dekat, Ketiganya mengukur akomodasi dan besar konvergensi yang ikut terjadi,
gradien lensa memakai berbagai ukuran lensa sferis yang dipasang di depan mata, Metode heteroforia dan hubungan klinis jauh-dekat memanfaatkan perubahan jarak fiksasi,
Untuk pengukuran ini, target yang dipakai disarankan memperoleh target
akomodatif, pasien memakai koreksi maksimal, deviasi telah diukur
dengan uji tutup bergantian, dan kendali fiksasi terhadap jarak target. Target jauh memakai jarak 6 meter dan target dekat berjarak 1/3 meter. Rasio AC/A yang normal adalah antara 4/1 dan 6/1 dan untuk perhitungan rasio ini ,exodeviasi sebagai angka negatif, dan esodeviasi dinyatakan sebagai angka positif,
Metode heteroforia ini mensyaratkan diukurnya deviasi dekat dan jauh ,
dalam PD, dan jarak antarpupil dalam centimeter. Rumusnya yaitu:
AC/A = JP + (DD-DJ)/DA di mana
JP : jarak antarpupil ( centimeter)
DD: deviasi dekat ( PD)
DJ : deviasi jauh ( PD)
DA: dioptri akomodasi untuk fiksasi dekat
Contoh:
bila diketahui deviasi dekat ET 30 PD, deviasi jauh ET 22 PD, jarak antarpupil 65 mm (6,5 cm) dan akomodasi dekat ¼ m (4 D), maka rasio AC/A-nya
AC/A = 6,5 + (30-22)/4 = 6,5 + 2 = +8,5 (ini adalah rasio AC/A yang tinggi)
Hubungan klinis jauh-dekat tidak secara khusus bukan rasio namun mengukur konvergensi akomodatif , Hubungan ini adalah suatu selisih antara konvergensi pada fiksasi dekat dan pada fiksasi jauh , Selisih yang bisa diterima disarankan bisa tidak lebih dari 10 PD. Selisih lebih dar +10 PD dikatakan tinggi dan yang kurang dari -10 PD dikatakan rendah,
Hubungan klinis jauh dekat ini untuk menentukan pasien pasien dengan rasio AC/A tinggi. Rumusnya :
Hubungan rasio AC/A = DD-DJ di mana
DJ : deviasi jauh pada jarak 6 m
DD: deviasi dekat pada jarak 1/3 m
Contoh: DJ = XT 10 ,DD = ET 15
Hubungan Rasio AC/A = 15 – (-10) = +25 PD (rasio AC/A tinggi)
DJ = orto , DD = XT 15
Hubungan Rasio AC/A = -15 – 0 = -15 PD (rasio AC/A rendah)
Metode gradien lensa ini rasio AC/A ditentukan dengan mengukur
perubahan deviasi okular terkait dengan perubahan khusus pada akomodasi terinduksi lensa. Lensa plus akan memicu relaksasi, sehingga dengan lebih sedikit akomodasi akan lebih sedikit juga konvergensinya. Lensa minus menaikkan konvergensi dan akomodasi , Dalam metode ini deviasi diukur pada jarak tertentu, dengan dan tanpa pemakaian lensa sferis (biasanya
dipakai yang kekuatan 3 D). Rumus metode gradien adalah:
AC/A = (DTL-DL)/ Kekuatan lensa ( dioptri)
DTL: deviasi tanpa lensa
DL : deviasi dengan lensa
Contoh: DTL = XT 30 , DL -3,00 D = ET 15 , AC/A = (-30 – 15)/-3 = 15 (tinggi)
DTL = ET 30 , DL +3,00 D= ET 9
Hubungan Rasio AC/A = (30 – 9)/3 = 7 PD (normal)
Contoh:
pasien hiperopik +4,00 D mengalami ET 20 PD. bila rasio
AC/A-nya 6, maka efek pemberian koreksi sferis maksimal nya yaitu
DTL = ET 20; AC/A= 6; L = +4,00 D; DL = ?
DL = DTL – (AC/A x L) = 20 – (6 x 4) = 20 – 24 = -4 (XT 4 PD)
Jadi koreksi maksimal pada pasien akan memicu pasien menjadi eksotropi,
Pemeriksaan 4 titik Worth (Worth four-dot test); sesuai namanya ada 4 titik cahaya (merah di atas, hijau di kiri-kanan, dan putih di bawah). Kemudian subyek dipasangi kacamata merah untuk mata kanan dan hijau untuk mata kiri. Interpretasi hasilnya adalah:
- supresi mata kanan, bila 3 titik berwarna hijau kiri-kanan-bawah - supresi
bergantian, bila 2 titik merah dan 3 titik hijau terlihat bergantian, - diplopia,
bila 2 titik merah dan 3 titik hijau terlihat - normal, bila keempat titik terlihat - supresi mata kiri, bila terlihat 2 titik berwarna merah atas dan bawah ,
Uji Duksi Paksa dilakukan bila ada bukti duksi yang terbatas, Bila akan
dilakukan pembedahan, uji ini dikerjakan saat pembedahan dengan
cara memegang mata pada limbus, dalam kondisi sedikit proptosis, kemudian dirotasikan ke arah di mana duksi terbatas. Untuk otot oblik yang kaku, ada uji duksi paksa khusus yang dinamakan uji traksi berlebihan Guyton,
Uji Stereopsis dengan memanfaatkan kacamata
polaroid dan obyek 2 dimensi yang terdiri atas bangun-bangun
tertentu yang sedemikian rupa tidak akan memberikan persepsi
kedalaman bagi mata . Namun , masing masing pasien dengan
streopsis yang memadai akan mampu mempersepsi perbedaan
kedalaman bangun-bangun itu dengan kacamata polaroid.
Pada masing masing pasien dengan tropia, untuk menguji apakah masih
ada kemampuan untuk fusi, dilakukan pengujian yaitu :
masing masing pasien diminta melihat satu cahaya putih dengan salah satu mata dipasangi filter merah di depannya. Adanya
deviasi akan memicu masing masing pasien itu mengeluhkan adanya
dua cahaya dimana yang satu berwarna putih dan satu lagi
berwarna merah. Kemudian prisma coba dipasang di depan salah
satu atau kedua mata sedemikian rupa sehingga masing masing pasien itu
hanya melihat satu cahaya gabungan. Bila masing masing pasien memiliki
potensial fusi, maka akan dipersepsi 1 cahaya berwarna
merah muda. Namun bila tidak ada fusi, cahaya tetap akan
dipersepsi sebagai satu cahaya putih dan satu cahaya merah,
Pengukuran Kecepatan Sakadik dengan melihat gerakan sakadik pada mata. Gerakan ini bisa dipicu dengan meminta pasien melihat dengan cepat dari sisi ke sisi, Pasien dengan paralisis rektus tidak akan bisa melakukan gerakan sakadik, Gerakan ini bisa dikuantifikasi dengan elektrookulograf (EOG),
Secara klinis bila pasien mampu melakukan gerakan sakadik
ke arah keterbatasan gerakan maka keterbatasan yang ada ialah
restriktif dan bukan paralisis. Semakin besar pergerakan mata,
semakin tinggi kecepatan puncak sakade. Kecepatan sakadik
normal berkisar antara 200 hingga 700 derajad per detik,
Saat uji Kekuatan Aktif ini, mata disarankan bisa dianestesi secara topikal
dan mata dipegang pada limbus, seperti saat uji duksi paksa. Sambil menahan mata pada posisi primer, pasien diminta melirik ke arah bidang pandang yang terbatas tadi. tenaga medis berusaha merasakan kekuatan yang dihasilkan otot yang bekerja dan ini dibandingkan dengan mata yang sehat, Uji ini untuk menilai besarnya fungsi otot terkait dengan kelumpuhan apa saja,
contohnya paralisis ganda elevator atau paralisis saraf abdusens ,
pasien strabismus disarankan menjalani pemeriksaan refraksi sikloplegik. dengan tetes mata siklopentolat 1% dan fenilefrin 2,5% di setiap mata sebanyak 2 kali dengan jarak antartetesan 5 menit, Pemeriksaan refraksi dilakukan 20 sampai 30 menit sesudah penetesan terakhir. Untuk mata dengan
iris yang gelap atau hiperopia +2,00 D atau lebih, maka pasien ditetesi dengan atropin. Atropin ini diberikan pada kedua mata 2 kali sehari selama 3 hari sebelum pemeriksaan. Pasien dengan iris biru atau dengan sindrom dilusi pigmen seperti albinisme okular disarankan ditetesi 1 jenis tetesan,
Midriasis terjadi sebelum sikloplegia muncul dan masih ada bahkan sesudah
sikloplegia hilang. Bila pada retinoskopi hasilnya berubah-ubah,
sikloplegi yang terjadi mungkin baru sebagian saja. Karenanya perlu
tetesan tambahan.
Pemeriksaan torsi obyektif dilakukan dengan melakukan funduskopi direk. Pada pasien normal, fovea akan terletak setinggi papil saraf optik. Dengan gerakan torsi, papil akan berotasi dengan fovea sebagai titik pusat rotasi karena fovea adalah komponen axis visual. Pada extorsi maka papil akan lebih tinggi (> ½ diskus) dibandingkan fovea dan pada intorsi papil akan lebih rendah (> ½ disk ) dibandingkan fovea. Karena pada funduskopi direk bayangan yang
dihasilkan terbalik, maka pada extorsi, papil akan terlihat lebih rendah dibandingkan fovea dan sebaliknya pada intorsi,
Mekanisme fusi masih dapat mengendalikan axis yang cenderung berdeviasi
, sehingga pasangan bola mata dipertahankan tetap lurus. Keluhan berupa mata lelah dan kabur, astenopia (rasa tidak enak pada mata sampai terasa sakit pada orbita)
pemeriksaan heteroforia terdiri dari : uji sinoptiskop atau uji sinoptofor, pemeriksaan dengan prisma,uji buka-tutup bergantian/ ACT (Alternating Cover Test), uji batang Maddox, uji sayap Maddox,
pengobatan Pada esoforia yang lebih dari 3 PD, dengan latihan konvergensi (ortoptik) untuk exotropia,miotikum,dengan kacamata, prisma, latihan ortoptik, medik, sedang tindakan operasi dilakukan bila cara lain gagal
Pada kondisi Heterotropia ini ada deviasi yang manifes pada satu axis
penglihatan mata bila mata yang lain berfiksasi pada obyek,
heterotropia dinamakan juga strabismus,
ciri ciri exotropia yaitu : muncul sesudah berusia 6 bulan, muncul kelelahan muncul sakit,tidak terdapat diplopia,
Exotropia digolongkan menjadi
- simulate devergence excess, yaitu basic exotropia namun dengan rasio AC/A tinggi, gejalanya penurunan penglihatan, fotofobia,
- Basic exotropia, bila perbedaan sudut deviasi fixasi maksimal 15 PD; -
divergence – excess, bila sudut deviasi fixasi jauh lebih besar 15 PD;
- convergence insufficiency, bila sudut deviasi fixasi dekat lebih besar 15 PD,
Exotropia intermiten menetap atau memburuk , gejalanya fotofobia,astenopia, pandangan kabur, diplopia,
Exotropia intermiten yaitu foria besar yang dikendalikan oleh konvergensi fusional pada sebagian waktu, dan sebagian waktu lain kendali ini hilang dan
terjadi exodeviasi. gejala exotropia yaitu kadang mengalami ambliopia,kelelahan,mabuk,melamun, sakit, memiliki stereopsis dan fusi bifoveal baik
saat fase tropia, terjadi supresi terhadap salah satu mata, Supresi ini
menggagalkan fusi dan tropia bisa menetap.
berdasar perbedaan antara deviasi dekat dan jauh , maka exotropia intermiten dibagi menjadi beberapa subtipe,yaitu :
Tipe pertama yaitu kelebihan pseudodivergensi (kenaikan
konvergensi fusional tonik), yaitu bila deviasi jauhnya lebih
besar dibandingkan deviasi dekat yang dapat diketahui dengan uji tutup
bergantian. bila salah satu mata dioklusi selama 30 sampai 60
menit, deviasi dekatnya meningkat hingga 10 PD dibandingkan
deviasi jauh. bila deviasi jauh 30 PD dan deviasi dekat 10
PD, sesudah dilakukan oklusi maka deviasi dekatnya menjadi 25 PD.
ini disebabkan pasien yang kelebihan pseudodivergensi
memiliki kenaikan konvergensi fusional tonik yang ter disipate
perlahan sesudah oklusi monokular.
Tipe kedua adalah exotropia intermiten basic, yaitu bila deviasi jauh dalam kisaran 10 PD deviasi dekat, atau paling besar 15 PD,
Uji tutup bergantian tidak bisa
menampakkan exotropia ini sebab konvergensi fusional tidak
mampu digagalkan oleh penutupan atau oklusi yang singkat pada
uji ini. pasien dengan kelebihan divergensi adalah pasien dengan kelebihan pseudodivergensi. bila deviasi jauh lebih besar dari 15 PD dibandingkan deviasi dekat, bahkan sesudah dilakukan uji oklusi, maka kebanyakan pasien dengan
kondisi ini memiliki rasio AC/A yang tinggi dengan penambahan
+3,00 D dan rentan mengalami overkoreksi sesudah pembedahan
ini dinamakan simulated divergence excess,
berdasar mekanisme konvergensi dan disparitas jauh dekat, exotropia intermiten diklasifikasikan ,yaitu :
1. konvergensi proksimal meningkat, yaitu bila deviasi jauh lebih besar dibandingkan deviasi dekat sesudah uji oklusi dan penambahan lensa S +3,00 D. Pasien memiliki konvergensi proksimal tonik normal ,Pasien memiliki rasio AC/A normal, Pasien memiliki konvergensi proksimal tinggi yang
menurunkan nilai deviasi dekatnya, Konvergensi proksimal tidak
terkait dengan fusi binokula
2 mekanisme konvergensi campuran
3. insufisiensi konvergensi yaitu kekurangan pada konvergensi
dengan nilai deviasi paling besar saat fiksasi dekat,
4.deviasi basic, yaitu bila tidak ada perbedaan antara deviasi dekat dan jauh, dimana perbedaannya 10 PD atau kurang. Pasien kondisi
ini tidak mengalami kenaikan konvergensi proksimal atau konvergensi fusional tonik ,memiliki rasio AC/A yang normal, deviasi yang terjadi sama besarnya baik untuk fiksasi jauh atau dekat ,
5.konvergensi fusional tonik meningkat,
pasien dengan kondisi ini memilik rasio AC/A yang normal,
6.rasio AC/A tinggi, bila perbedaan antara deviasi jauh dan dekat lebih dari 15 PD bahkan sesudah uji oklusi, namun deviasi dekatnya mendekati deviasi jauh dengan penambahan lensa S +3,00 D.
Insufisiensi konvergensi
yaitu ketidakmampuan mempertahankan konvergensi pada obyek saat obyek itu berpindah dari jauh ke dekat pelihat,
gejala tanda Tidak ada deviasi jauh, diplopia, astenopia, kesulitan membaca, penglihatan dekat kabur, uji tutup bergantian mengungkap adanya exoforia yang kadang berkembang menjadi exotropia,
Titik patah adalah titik dimana obyek terletak dekat sekali dengan kedua mata dan fusi tepat akan gagal,
pasien dengan insufisiensi konvergensi memiliki konvergensi titik dekat (near point convergence/NPC) yang relatif jauh, antara 10 hingga 30 cm atau lebih. pasien normal memiliki NPC 5 – 10 cm. NPC sendiri adalah jarak terdekat
dimana mata masih mampu mempertahankan fusi.
Exotropia Sensoris
yaitu bila pasien kehilangan penglihatan pada salah satu mata seperti ambliopia atau katarak maka mata yang buta akan bergulir
ke luar (exodeviasi),
penanganan Exotropia,yaitu :
Untuk mengatasi ambliopianya dilakukan oklusi mata sehat, atropinisasi,pemberian kaca mata negatif berlebih, kelebihan koreksi myopia,
kekurangan koreksi hiperopia, pemakaian prisma.
latihan ortoptik, terutama untuk tipe insufisiensi konvergensi,
Penanganan operasi bila deviasi lebih atau sama dengan 20 D. kelebihan divergensi ditangani dengan resesi bilateral,Basic exotropia ditangani dengan reseksi dan resesi , insufisiensi konvergensi ditangani dengan reseksi bimedial,
Esotropia akomodatif terbagi menjadi:
-kombinasi (akomodatif parsial),
-esotropia akomodatif refraktif (esotropia akomodatif hiperopik),
-esotropia akomodatif non-refraktif (esotropia rasio AC/A tinggi),
Esotropia non-paretik terdiri atas esotropia non akomodatif dan akomodatif.
Esotropia digolongkan menjadi esotropia non-paretik dan paretic ,
Esotropia non-akomodatif terbagi menjadi dua,yaitu :
- esotropia (jarang).
- esotropia kongenital (lazim),
Esotropia kongenital
yaitu esotropia primer yang tidak terkait kelumpuhan saraf keenam, kondisi neurologik, maupun restriksi otot yang muncul sebelum pasien bayi berusia 6 bulan ,penyebab tak diketahui,
Esotropia adalah macam macam strabismus yang sering terjadi pada pasien bayi,muncul di bulan pertama kehidupan dengan muncul sudut deviasi yang besar yang terus-menerus ,
Esotropia kongenital dengan A pattern
gejala nya m. rektus lateralis yaitu herediter,kelainan refraksi tidak jelas lemah, deviasinya besar (30 – 70 PD), Sudut deviasi ini bertambah besar seiring waktu, esotropia kongenital dengan sudut yang kecil bisa sembuh , esotropia kongenital jarang sembuh sesudah usia 2 bulan, apalagi bila sudut deviasi lebih dari 30 PD, adanya ambliopia Namun ,
Pasien dengan kondisi ini bisa memiliki preferensi fiksasi pada satu mata atau fiksasi yang bergantian , 50% pasien anak dengan esotropia kongenital mengalami ambliopia. Ambliopia ini diatasi dengan oklusi mata dengan preferensi fiksasi sebelum dilakukannya pembedahan untuk mengoreksi strabismus,
Pasien dengan esotropia kongenital bisa memiliki keterbatasan
abduksi. Untuk menguji ini dilakukan dengan rangsangan
vestibular,
Pada esotropia kongenital bisa terjadi fiksasi silang (cross
fixation), di mana pasien menolehkan wajah dengan mata yang
berfiksasi dalam posisi adduksi. Fiksasi silang berarti pasien akan
berfiksasi dengan mata kiri untuk obyek di jangkauan pandang
sebelah kanan dan sebaliknya.Pasien dengan fiksasi silang tidak selalu menandakan penglihatan yang setara antara kanan dan kiri, namun juga ada ambliopia ringan. Penglihatan setara kanan dan kiri hanya bisa dikonfirmasi bila pasien mampu melakukan gerakan
mengikuti (pursuit) halus dengan fiksasi kedua mata dan bukannya
salah satu mata,
uji rangsangan vestibular bagi pasien bayi dengan memutar pasien bayi
sehingga muncul sakade refiksasi, Sakade ini bisa juga dimunculkan
dengan stimulasi optokinetik, bila dalam abduksi volunter
ada keterbatasan namun ada gerakan sakadik cepat,
berarti rektus lateral-nya berfungsi dan keterbatasan ini sifatnya
restriktif, kemungkinan karena otot rektus medial yang kencang,
bila sakade abduksi yang terjadi pelan atau tidak ada, berarti
ada kelemahan rektus lateral. ini mungkin dipicu paralisis
saraf keenam atau sindrom Duane,
kelainan motorik bisa terkait dengan kejadian esotropia kongenital, antara lain nistagmus laten pada sekitar 60% masalah, overaksi oblik inferior pada
80% masalah, disosiasi deviasi vertikal (DDV) pada 80% masalah, asimetri pursuit halus persisten, kondisi ini bisa campuran atau berdiri sendiri-sendiri ,
Kunci pemeriksaan esotropia akomodatif infantil adalah adanya ortotropia dalam bulan ke-2 hingga ke-3 kehidupan, esotropia dengan sudut bermacam-macam yang memberi tanggapan sembuh (namun tidak selalu) terhadap koreksi hiperopia,
Esotropia kongenital berbeda dengan paralisis organik saraf keenam, miastenia kongenital, esotropia akomodatif infantil, sindrom Ciancia, sindrom fibrosis kongenital, sindrom Duane,
pengobatan esotropia kongenital yaitu untuk menegakkan mata yang lurus dan fusi binokular sebelum pasien bayi berusia 3 bulan usaha fusi motorik dan stereopsis yang baik bisa berkembang,
Bila ada ambliopia maka dilakukan oklusi mata sehat segera sesudah dilakukan pemeriksaan , tanda tanda dilakukannya pembedahan sebelum pengobatan oklusi untuk ambliopia adalah bila mata tetap tertutupi kantus medial, sehingga bila yang sehat dioklusi, axis optik mata yang amblyopik tetap saja tertutup sehingga pengobatan oklusi tidak efektif, ini akibat otot
rektus medial yang kencang dinamakan strabismus fixus,
Strabismus fixus dikaitkan dengan sindrom Ciancia tetapi jarang dan sindrom fibrosis kongenital,
pengobatan esotropia kongenital yaitu dengan pembedahan berupa resesi rektus medial bilateral, Bila sudut deviasi kecil (<30 PD) kadang hanya dikoreksi dengan kacamata hiperopik saja apalagi bila hiperopia +2,00 D atau lebih, Bila sudut deviasi 40 PD atau lebih, koreksi kacamata tidak bisa meluruskan mata dan koreksi hiperopik hanya diberikan bila kelainannya lebih
dari +3,00 D. Koreksi penuh dilakukan pada pasien anak yang usianya sudah 2 bulan atau lebih, pasien dengan sudut deviasi kecil atau esodeviasi intermiten sebaiknya diobservasi dahulu hingga usia 6 bulan. bila sudutnya besar, bisa dilakukan pembedahan usia dini, antara 2,5 hingga 3 bulan,
Anomali refraksi bisa dikoreksi dengan kacamata dan operasi dilakukan sesudah pasien anak berusia 3 tahun, disarankan pembedahan pada usia antara 6 bulan dan 2 tahun,
Esotropia Non-Akomodatif kadang diperoleh pada usia antara 1 hingga 5 tahun, tanpa hiperopia terkait. Deviasi muncul dengan ukuran berubah-ubah dan intermiten, kemudian menjadi esodeviasi persisten, dilakukan pengabaian sebab sebab lain contohnya masalah neurologis contohnya miastenia gravis atau tumor intrakranial , ciri klinis pada pasien bayi yaiti deviasi lebih
kecil dibandingkan yang kongenital, ada deviasi fixasi dekat lebih kecil, diplopia/ambliopia, hiperopia ringan ,
Sebelumnya bisa dilakukan oklusi mata sehat hingga visus mata ambliopia seimbang, Peresepan kacamata untuk anomali refraksi dan latihan ortoptik dengan sinoptofor bisa dilakukan. kemudian kondisi ini biasanya diatasi dengan pembedahan , peluang kesembuhannya baik karena pasien anak telah memiliki fusi binokular sebelum terjadinya strabismus, Bila terjadi kekurangan koreksi yang memang sering terjadi, pemakaian prisma untuk mengurangi angka kekurangan koreksi,
esotropia akomodatif hiperopik atau esotropia akomodatif refraktif
ini berkembang pada pasien anak usia antara 2 hingga 3 tahun, sebelum usia ini pasien anak memiliki mata yang lurus karena pada tahun pertama kehidupan akomodasi belum sempurna, Esotropia ini terkait dengan hiperopia +2,00 D atau lebih, Anomali refraksi ini merangsang refleks akomodasi
berlebihan, sehingga terjadi konvergensi berlebihan. Untuk
menentukan besar kelainan refraksinya perlu dilakukan streak
retinoscopy dengan sikloplegik,
esotropia rerfraktif akomodative mata kiri ini diawali dengan esotropia intermiten dengan sudut yang beragam, dengan usia penderita antara
1,5 hingga 3 tahun, Seiring waktu deviasinya menjadi konstan,
Dibandingkan dengan esotropia kongenital, sudut deviasi pada
esotropia akomodatif refraktif kecil, antara 15 – 40 PD,
Pasien dengan deviasi konstan bisa kehilangan potensi fusinya
sehingga rentan mengalami ambliopia, Esotropia akomodatif
hiperopik bisa muncul usia 2 bulan, kondisi ini dinamakan esotropia akomodatif infantil,
Atropin diberikan 2 kali sehari selama 3 hari dan refraksi dikerjakan di hari ketiga, midriasis tidak menampakkan sikloplegia, Midriasis terjadi lebih awal dan berlangsung lebih lama dibandingkan sikloplegia,
Regimen untuk refraksi sikloplegik adalah siklopentolat yang
diberikan 2 hingga 3 dosis dengan jarak 2 hingga 5 menit. Refraksi
dikerjakan 30 menit sesudah penetesan dosis terakhir,
bila refraksi siklopentolat menampakkan +3,00 D atau lebih,
atau bila irisnya gelap, atau bila pembacaan retinoskopi bermacam ragam,
pemakaian atropin perlu direkomendasikan,
miotikum untuk mengefisiensikan akomodasi, mata mampu
melakukan akomodasi dengan kuat. Lebih kecilnya usaha untuk
melakukan akomodasi ini berarti pula semakin kecilnya konvergensi
yang terkait dengan akomodasi. Jadi miotikum mengurangi rasio
AC/A dan karenanya bisa berguna juga untuk esotropia rasio AC/A
tinggi. Miotikum yang diberikan adalah echotiofat iodida 0,03% satu
tetes tiap pagi,bila belum bisa mengoreksi esotropia, tetesan
diberikan dua kali sehari atau dosis yang dipakai 0,125%.,
Miotikum topikal mempengaruhi otot silier dan pupil , sehingga memicu akomodasi farmakologis dan miosis , tanpa efek berarti terhadap otot-otot ekstraokular,
pasien dengan juvenil atau esotropia akomodatif infantil disarankan bisa dikoreksi hiperopik penuh ,bila pasien anak kesulitan menerima pemakaian kacamata ini karena akomodasinya sulit untuk relaksasi, bisa diberikan sikloplegik berupa pentolat atau siklopentolat untuk waktu singkat di
awal pemakaian kacamata. Bila dengan koreksi kacamata hiperopik ini mata
mengalami penurunan deviasi dan deviasi yang tersisa hanya
hingga 8 PD, pasien bisa melakukan fusi, maka tidak perlu dilakukan pengobatan lain,
bila deviasi yang tersisa masih antara 10 – 15 PD dan tidak
ada fusi, direkomendasikan pemakaian prisma sambil masih
memakai koreksi penuh untuk hiperopianya, Fusi yaitu tujuan dari penanganan esotropia akomodatif refraktif juga peluang kesembuhannya baik,
Pembedahan baku berdasar pada besarnya sudut deviasi saat pasien memakai kacamata koreksi penuh untuk hiperopia,
Sudut target biasanya rata-rata dari sudut deviasi dekat dan jauh
dengan koreksi, ada banyak kejadian kekurangan koreksi dari
pembedahan baku ini, yaitu kira-kira 25%,
Pembedahan Augmentasi ini mengambil sudut target antara deviasi dekat
dengan koreksi dan deviasi dekat tanpa koreksi, Deviasi dekat
dipilih karena deviasi ini yang paling terpengaruh oleh resesi
bimedial,, bila deviasi dekat tanpa koreksi 40 PD dan deviasi
dekat dengan koreksi 20 PD, maka sudut target yang dikerjakan
adalah 30 PD,Pembedahan ini memiliki angka keberhasilan hingga
90%,
esotropia rasio AC/A tinggi atau esotropia akomodatif non-refraktif
biasanya esodeviasi dekat lebih besar dibandingkan esodeviasi jauh dan refraksi biasanya normal emetropik 70%, hiperopik atau miopik , pasien dengan rasio AC/A tinggi bahwa mata pasien terlihat lurus saat melihat jauh, namun ada esotropia residual saat melihat dekat,
pengobatan yaitu memacu stereopsis dan fusi binokular,
pengobatannya dengan miotikum, kacamata bifokal ,latihan ortoptik, untuk
menghilangkan akomodasi dan memacu fusi, kacamata bifokal memiliki peluang kesembuhan baik,
Esotropia akomodatif parsial
adalah esotropia akomodatif yang sesudah memakai koreksi penuh hiperopik masih memiliki esotropia untuk fiksasi dekat dan jauh, Sebagian besar esotropia akomodatif.adalah tipe kombinasi. Jadi diperoleh hiperopia dan reflekskonvergensi yang berlebihan. pengobatannya sesuai jenis-jenis di atas,
Strabismus paralitik
adalah heterotropia akibat lesi saraf yang menginervasi otot ekstraokular. pemeriksaan didasarkan atas pemeriksaan dan gejala , yaitu adanya diplopia, keterbatasan gerakan ke arah otot yang lumpuh, deviasi sekunder pada mata sehat lebih besar dibandingkan deviasi primer, adanya proyeksi salah, pasien memiringkan kepala untuk mengurangi diplopia,
. Untuk kemiringan kepala, bila masing masing pasien memiringkan
kepala ke kanan maka berarti ada kelumpuhan m.rektus lateral OD,
ke kiri kelumpuhan m.rektus medial OS, ke atas kelumpuhan
m.rektus inferior, dan ke bawah kelumpuhan m.rektus superior.
Berdasar letaknya, strabismus paralitik bisa dipicu oleh adanya lesi di otak, rongga orbita ,rongga kepala, Yang adalah lesi di otak bisa berupa intoksikasi,dan inflamasi ,degenerasi, trauma kepala yang melibatkan saraf VI,neoplasia, gangguan vaskular, gangguan metabolik, Lesi di rongga kepala yang memicu kondisi ini yaitu adanya neoplasia pituitari,
osteomyelitis (contohnya pada pencabutan gigi atau raktur), adanya gangguan pada sinus kavernosus (contohnya trombosis),
kelainan di rongga orbita bisa berupa tumor nasofaring, intoksikasi,selulitis, trauma otot, sinusitis,
Pemeriksaan yang bisa dilakukan untuk menilai kondisi Paralisis Saraf Abdusens ini yaitu adanya hambatan abduksi dan adanya diplopia horizontal
tak menyilang, dimana diplopia ini makin besar pada saat abduksi
ke arah otot yang lumpuh,
Saraf okulomotor memiliki nukleus yang besar dan panjang
sehingga kelumpuhan N III tidak lengkap, Kelumpuhan yang lengkap bisa dipikirkan bila dalam pemeriksaan ada ptosis sempurna, bola mata deviasi ke
temporal dan sedikit ke bawah, intorsi, tidak bisa elevasi dan tidak bisa depresi, dan pupil midriasis karena inervasi parasimpatis lumpuh mungkin ada Diplopia menyilang ,
Cara mengetahui kelainan yaitu :
Bila paralisis yang terjadi hanya sementara, mungkin hanya terjadi paralisis ringan yang terjadi pada ensefalitis,diabetes, sifilis,
bila paralisis melibatkan semua otot yang diinervasinya maka
kemungkinan ada kerusakan saraf perifer sebelum saraf itu bercabang. ini bisa diakibatkan tumor-tumor lain, trauma, proses di sinus kavernosus, tumor parasella,migren oftalmoplegik ditandai dengan kelumpuhan
saraf III unilateral berulang ditambah vomitus, migrain, nausea,
Dalam kondisi paralisis siklik saraf III, kadang terjadi spasme, paralisis
(flaksid)
jika hanya ada satu otot yang terkena, maka kemungkinan pemicunya
adalah adanya rematik,inflamasi orbita, tumor atau sinusitis,
apa yang terjadi bila semua otot ekstraokular yang diinervasi saraf
okulomotor lumpuh namun refleks pupil masih baik, Saraf troklear lebih terlindung perjalanannya dibandingkan saraf abdusens, ini memicu jarang terjadinya kelumpuhan saraf ini, bila ada kelumpuhan, maka akan muncul diplopia vertikal sedikit horizontal,
pengobatan
apakah ada gangguan pada sinus kavernosus (biasanya paralisis multipel dan ada tanda-tanda kongesti pada mata yang menampakkan trombosis sinus
kavernosus),
bila ada diplopia, maka dilakukan oklusi mata yang paresis, Eksplorasi etiologi untuk menentukan apakah kondisi ini dipicu oleh ekstraorbita atau gangguan orbita , dicari riwayat sinusitis, trauma, eksoftalmus,
pengobatan medikamentosa ke arah kemungkinan etiologi,
TRAUMA, ONKOLOGI MATA DAN PENYAKIT ORBITA
foto kemosis pada blowout fracture
foto trauma mata.
foto perdarahan sub konjungtiva
foto hifema
Trauma mata adalah pemicu kebutaan unilateral
Pemeriksaan fisik, visus ,Anestesi topikal akan membuat pasien merasa nyaman,sehingga disarankan untuk memberikan tetrakain atau pantokain tetes mata agar saat pemeriksaan penderita tidak merasakan nyeri,
apakah ada konjungtiva atau ruptur palpebra ,kelainan pada kornea yang berupa erosi,perforasi, vulnus, Pemeriksaan adanya prolapsus iris ,kondisi bilik mata depan, apakah dalam, dangkal, apakah ada hifema, debu di
bilik mata, Adanya ruptur bulbi ditandai dengan adanya pupil yang tidak bulat,
khemosis yang sangat hebat, TIO yang sangat menurun,adanya debu di kornea atau konjungtiva debu yang berada di konjungtiva superior yang hanya bisa diketahui dengan cara membalik (eversi), adanya debuintraokular ,
lokasi yang paling lemah dan sering mengalami ruptur adalah
lokasi limbus kornea dan oblikus okuli, lokasi perlekatan muskulus rektus dan
Faktor–faktor yang mempengaruhi peluang kesembuhan yaitu
Semakin superfisial luka yang terjadi akan semakin baik peluang kesembuhannya, dan semakin kecil atau sempit lokasi yang mengalami luka juga akan semakin baik peluang kesembuhannya. Semakin
cepat pertolongan diberikan akan mengurangi komplikasi dan
mengurangi penyulit yang mungkin terjadi, terutama terjadinya
infeksi sekunder. Tindakan yang kurang tepat, dapat memicu kerusakan semakin parah, seperti penekanan pada mata yang ruptur akan memicu semakin banyak isi bola
mata yang keluar, sehingga akan memperburuk kondisi luka.infeksi dapat memicu akibat yang lebih berat, seperti uveitis,
endoftalmitis atau panoftalmitis.
Semakin sederhana jenis kerusakan maka akan semakin baik peluang kesembuhannya, namun semakin kompleks kerusakannya contohnya adanya ruptur palpebra ditambah ruptur bulbi dengan adanya debu intra okuler maka peluang kesembuhannya lebih jelek dibandingkan dengan ruptur palpebra saja,
Semakin besar gaya atau benda pemicu maka akan semakin berat trauma yang terjadi,
tujuan penanganan trauma adalah dengan mengurangi
meluasnya kerusakan jaringan untuk membatasi lokasi yang rusak,
menghindari infeksi dengan cara memberikan antibiotika topikal ,
Klasifikasi Trauma yaitu trauma fisis, mekanis dan kimiawi.
Trauma mekanis termasuk trauma tumpul dan tajam,
trauma kimiawi dibedakan pemicunya menjadi asam dan basa,
Trauma Fisis Retinopati Solaris yang dipicu oleh sinar ultraviolet matahari, Mekanisme jejas berupa proses fotokimia karena gelombangpendek (400 nm), yang memicu munculnya makulopati,skotoma pusat, maupun retinitis
Retinopati Alat Optik dipicu pemakaian lampu celah,oftalmoskop indirek ,
pemeriksaan fundus dengan lensa kontak ,
Pengaruh cahaya pada mata yaitu :
Bila panjang gelombang atau kurang dari 400 nm, maka
reaksi fotokimia akan terjadi pada retina. Sinar dengan > 700 nm
akan memicu pemanasan retina, dan antara 400 – 700 nm
Retinopati Radiasi terjadi pada melanoma koroid atau radioterapi retinoblastoma karena sinar merusak endotel kapiler. Karena endotelnya
terganggu maka bisa terjadi perdarahan retina (kalau endotel
rusak), edem makula (kalau permebilitasnya meningkat). ini
terjadi sesudah 18 – 36 bulan proses radiasi. Dosis radiasi aman
adalah <1500 cGy.
Trauma Mekanis ,Trauma tumpul
adalah trauma yang dipicu karena benda.tumpul secara langsung mengenai organ, Trauma tumpul konjungtiva yaitu bila terjadi perdarahan subkonjungtiva, maka konjungtiva akan tampak merah dengan batas tegas, yang dengan penekanan tidak menghilang , Lama kelamaan perdarahan ini mengalami perubahan warna, membiru, menipis, dan diserap dalam waktu 2 – 3 minggu. juga muncul
krepitus konjungtiva,kemosis (edema konjungtiva) ,
Hifema
adalah adanya darah di bilik mata depan, darah ini berasal dari iris atau dari badan siliar yang robek. Hifema dibagi. menjadi primer dan sekunder
hifema sekunder terjadi sesudah hari ke-3, antara 3 hingg 5 hari terjadinya trauma atau sesudah perdarahan yang pertama teresorbsi, sedang
.Hifema primer terjadi.sesaat sesudah terjadinya trauma
Akibat hifema
yaitu terjadi glaukoma sekunderatau akut. Glaukoma ini terjadi bila jalinan filtrasi tersumbat oleh fibrin dan sel-sel atau bila terbentuk
gumpalan darah yang memicu hambatan pupil (blok pupil).
Trauma tumpul memicu ruptur sklera, hemoftalmos, ablasi retina, edema Berlin (komosio retina), fraktur yang melibatkan orbita, contohnya blow out
fracture.
terjadi kerusakan pada jalinan filtrasi akibat getaran trauma tumpul, yang mengganggu aliran humor akuos. Pada hifema terjadi imbibisi hemoglobin di
kornea/endothel yang memicu pewarnaan kornea (corneal staining) yang memicu pengkeruhan kornea sehingga penglihatan menurun,
pengobatan yang dilakukan tergantung pada kejernihan kornea, jumlah pendarahan, tekanan intraokular, bila hifema kurang dari setengah volume COA dan kornea tampak jernih, dapat diatasi dengan tirah baring sebab hifema akan mengalami penyerapan spontan, sambil diberikan koagulansia untuk
menghentikan perdarahan.
SA (sulfas atropine) 1% untuk mengistirahatkan iris,mencegah blok pupil (efek midriasis) ,
Steroid sistemik dipakai untuk mencegah uveitis, Asetazolamid diberikan bila TIO meningkat, untuk mencegah glaukoma.
Koagulansia untuk merapatkan endotel dan menghentikan perdarahan ,
asam tranekssangat (menghambat aktivasi plasminogen dan fibrinolisis)
sebagai koagulansia.
Subluksasi lensa Adalah pindahnya letak lensa akibat putusnya sebagian zonula
Zinni. bila zonula Zinni putus maka lensa mengalami luksasi.
Operasi dilakukan bila TIO tetap tinggi (>35 mmHg selama 7 hari atau 50 mmHg selama 5 hari) untuk mencegah kerusakan saraf..optik (atrofi N II), juga bila ada pewarnaan kornea karena penimbunan pigmen darah dalam kornea (hemosiderosis kornea), bila ada sinekia anterior perifer. bila peningkatan TIO
tidak segera diatasi dapat terjadi perlekatan antara iris bagian tepi dan jaringan trabekulum,Teknik operasi ini antara lain parasentesis sederhana, yaitu mengeluarkan darah dari bilik mata depan.Caranya, penderita diberi anestesi lokal dengan pantokain 1 %, kemudian tusuk lokasi limbus pada arah jam 6 dengan spuit injeksi, dilakukan irigasi aspirasi dan insisi luas bila sudah ada endapan darah.
Berkas neurovaskular infraorbital berjalan di sepanjang kanal infraorbital dan sulkus infraorbital sehingga dapat terganggu bila terjadi fraktur dasar orbita. Kerusakan pada arteri infraorbital memicu perdarahan, trauma pada nervus
infraorbital memicu disfungsi sensoris pada lokasi yang dipersarafinya terutama pada wajah,
Fraktur blow-out
yaitu kondisi adanya fraktur pada tulang penyusun dasar orbita,dimana tepian orbita tetap utuh. Lokasi dasar orbita yang paling sering
mengalami fraktur blowout adalah bagian maksila yang tipis yaitu di
bagian posteromedial dasar orbita. pemicu fraktur blow-out ini
adalah peningkatan tekanan intraorbita yang mendadak pada saat
trauma pada orbita. fraktur blow-out biasanya melibatkan struktur yang
berada di dalam orbita. Cabang nervus okulomotorius yang
menginervasi muskulus oblikus inferior berjalan di sepanjang aspeklateral muskulus rektus inferior, sehingga trauma pada nervus itu akan memicu paresis muskulus oblikus inferior. bila fraktur dinding medial orbita terjadi bersamaan dengan fraktur dasar orbita, muskulus rektus inferior maupun sistem jaringan ikatnya dapat terlibat sehingga bola mata terkekang dan terjadi
keterbatasan gerakan horisontal ,fraktur blowout dipicu adanya peningkatan tekanan intraorbita yang mendadak akibat energi yang dikenakan ke bola mata oleh benda tumpul yang diameternya lebih besar dibandingkan ukuran apertura orbitalis. objek yang membentur orbita memicu kompresi pada bagian inferior tepian orbita, yang kemudian memicu dasar orbita melengkung dan patah.
Fraktur blow in adalah fraktur dasar orbita yang patahannya masuk
kearah dalam rongga orbita dan bukan ke sinus maksilaris.
Besarnya peningkatan tekanan intraorbita akan menentukan apakah
jaringan di dalam orbita akan terdorong ke antrum maksilaris
melalui fraktur atau tidak,
Evaluasi pada keterbatasan gerak otot-otot ekstaokuler bola mata dapat dilakukan dengan pengukuran memakai prisma pada arah pandang kardinal, active forced-generation test, diplopia fields,red glass test untuk diplopia, forcedduction test,
pemeriksaan Fraktur Blowout
Tanda pada Palpebra yaitu tampak ekimosis dan edema palpebra akibat
benturan ,
Diplopia dengan Keterbatasan Upgaze dan Downgaze yaitu adanya penglihatan ganda dan keterbatasan gerak bola mata ke atas ke bawah.
muskulus oblikuus inferior jarang terlibat dalam fraktur blow out
Keterbatasan gerak vertikal bola mata dipicu oleh terjepitnya muskulus rektus inferior atau jaringan ikatnya (septaorbital). Keterbatasan gerak horisontal bola mata bila terdapat fraktur dinding medial orbita,
Nyeri muncul saat melakukan gerak vertikal bola mata karena tarikan pada otot yang terjepit, Terjepitnya muskulus rektus inferior terjadi pada fraktur yang berukuran kecil dimana otot atau jaringan ikatnya terjepit ke dalam fraktur. Sebaliknya, pada fraktur yang berukuran besar, pada tahap awal jarang terjadi keterbatasan gerakan bola mata yang menonjol. Pada masalah itu, diplopia vertikal mungkin muncul pada upgaze atau downgaze yang ekstrim,
walaupun dapat pula terjadi pada posisi primer. Namun, pada
fraktur berukuran besar yang telah berlangsung lama, fibrosis
jaringan yang prolaps dapat memicu keterbatasan gerak vertikal bola mata yang menonjol,
Eksoftalmos
Proptosis dapat terlihat bila edema berat dan/atau perdarahan menyertai fraktur dasar orbita. ini dapat memicu kerancuan pada evaluasi orbita dan mengaburkan faktor-faktor yang memicu eksoftalmosz
Enoftalmos dan Ptosis Bola Mata
Segera sesudah trauma, enoftalmos tertutupi oleh adanya edema orbita, namun pemeriksaan dengan eksoftalmometer yang diulang setiap beberapa hari akan menampakkan terjadinya enoftalmos sesudah edema berkurang. Enoftalmos 2 mm atau kurang masih dianggap normal, sedang enoftalmos lebih dari 5 mm mudah dikenali.
mekanisme Enoftalmos yaitu
- adanya atrofi lemak orbita sesudah trauma memperlemah jaringan penyokong di belakang bola mata dan memicu bola mata lebih tertekan ke posterior.
- adanya muskulus rektus inferior dapat terjerat pada tulang yang fraktur, sementara struktur orbita lainnya terdesak ke orbita posterior. Muskulus rektus inferior yang terjerat memicu bola mata terkekang kebelakang,
- adanya fraktur berukuran besar pada dasar orbita memicu lemak orbita , jaringan orbita bagian posterior dan inferior lain masuk ke dalam antrum maksilaris sehingga bola mata kehilangan struktur penyokong inferior ,posterior ,
- adanya fragmen tulang pada lokasi dasar orbita dapatnmelesak ke dalam antrum maksilaris sehingga volume total orbita bertambah. Struktur orbita, terutama lemak, bergeser untuk mengisi pertambahan volume itu, maka tidak
lagi terdapat penyokong di bagian posterior bola mataz
Nervus infraorbitalis membawa rangsang sensoris dari lokasi wajah mulai dari bawah palpebra inferior sampai batas atas bibir atas pada sisi ipsilateral. Cabang alveolar dari nervus infraorbitalis membawa rangsang sensoris dari gigi bagian atas ipsilateral, Fraktur pada bagian tengah dasar orbita melibatkan nervus itu sehingga terjadi parestesia hipestesia pada pipi dan gigi bagian atas,
Emfisema pada Orbita dan Palpebra yaitu Setiap fraktur yang meluas ke sinus dapat memicu masuknya udara ke dalam palpebra dan jaringan orbita , Udara
dalam jaringan memicu krepitasi, yang bertambah berat bila pasien menghembuskan nafas kuat-kuat dari hidung,bersin, ini semua hanya terjadi pada fraktur dinding medial dibandingkan fraktur dasar orbita. kadang, udara memenuhi orbita sehingga terjadi proptosis berat,kebutaan,penurunan pasokan
darah ke bola mata, peningkatan tekanan intraokuler yang menonjol,
pemeriksaan dan pengobatan fraktur dasar orbita dilakukan dengan
Pemeriksaan Orbital computed tomography (CT) dengan potongan koronal , Potongan aksial
untuk menilai fraktur pada dinding medial orbita,Pada potongan koronal dapat dinilai ukuran fraktur dan banyak dan beratnya otot ekstraokuler dan jaringan lunak yang terjepit,
pemeriksaan radiologis foto kepala posisi Waters untuk deteksi dini pasien yang dicurigai menderita fraktur blowout dasar orbita.
pemeriksaan radiologis dengan posisi Caldwell untuk mengevaluasi sinus-sinus ethmoidalis pada fraktur dinding medial orbita. Jejas Penyerta
Fraktur blowout ditambah dengan jaringan adneksa mata dan jejas pada bola mata , jejas ekstraokuler yang kadang terjadi,antaralain : Ptosis palpebra superior, kerusakan sistem drainase lakrimal, dan avulsi ligamen kantus medius,Jejas intraokuler lainnya yaitu hifema,edema retina,katarak traumatik, ablasi retina, Jejas memicu kehilangan penglihatan mendadak atau sesudah beberapa waktu karena kontusi, avulsi, infark nervus optikus,Jejas penyerta yang paling serius adalah kebutaan akibat rusaknya nervus optikus,
syarat untuk menentukan perlu tidaknya pembedahan,antaralain :
Pada masalah dengan kerusakan bola mata yang berat, maka pembedahan disarankan bisa ditunda. bila melakukan pembedahan untuk memperbaiki fraktur blowout dasar orbita sebaiknya dilakukan dalam waktu 2 minggu sesudah trauma, sesudah 2 minggu maka telah terjadi pembentukan jaringan parut dan kontraktur dari jaringan yang prolaps, ini mempersulit
tindakan yang dilakukan. Selama menunggu waktu , kortikosteroid sistemik bisa diberikan untuk mengurangi edema sehingga mempermudah identifikasi jaringan saat pembedahan,
Pasien dengan muskulus rektus inferior yang terjepit karena hampir
selalu mengalami diplopia yang nyata bila tidak dilakukan
pembedahan,Fraktur berukuran besar yang melibatkan separuh atau lebih
tulang dasar orbita, yang diperlihatkan pada pemeriksaan CT,
terutama bila berkaitan dengan fraktur dinding medial orbita
berukuran besar, Keterbatasan gerak bola mata keatas dan atau kebawah lebih
dari 300 posisi primer dengan traction test positif dan konfirmasi
radiologis positif untuk fraktur blowout dasar orbita ,
Enoftalmos lebih dari 2 mm tidak diharapkan pasien ,munculnya enoftalmos bisa ditunggu hingga 2 minggu,
pengobatan pada fraktur blowout dibagi yaitu
pengobatan dini dan pengobatan tunda.
pengobatan Tunda untuk Enoftalmos dilakukan bila terjadi enoftalmos yang tidak dapat diterima sampai 6 bulan sesudah trauma, Dasar orbita
dapat dieksplorasi dan jaringan yang prolaps dikembalikan ke dalam
orbita. Prosedur blefaroptosis minimal, seperti reseksi muskulus
Muller atau tarsoaponeurektomi, dapat melebarkan fisura palpebra
dan menyamarkan enoftalmos.,
pengobatan tunda untuk menangani sekuele (gejala sisa) yang terjadi akibat fraktur dan enoftalmos residual, atau gangguan gerak bola mata akibat operasi yang pertama. pengobatan tunda ini dilakukan sesudah 2 bulan atau lebih sesudah kejadian trauma, pengobatan Tunda untuk Diplopia dapat menetap sesudah terjadinya fraktur blowout,
Diplopia dapat membaik saat resolusi perdarahan dan edema orbita terjadi dan jaringan yang terjepit meregang. xDiplopia residual dapat terjadi sesudah pembedahan untuk memperbaiki fraktur dilakukan. bila diplopia menetap sesudah waktu.itu, jika tidak menghendaki operasi koreksi strabismus dapat dipakai kacamata prisma permanen ,
Pada pengobatan dini, tindakan operatif dilakukan pada waktu paling lama 1 bulan sesudah trauma, namun
biasanya dilakukan dalam 2 minggu sesudah trauma. Tiga metode
bedah untuk pengobatan dini termasuk kombinasi, dengan teknik Caldwell-Luc,pendekatan transkonjungtiva dengan kantolisis lateral, pendekatan
transkutaneus infrasiliaris melalui palpebra inferior,
Muskulus rektus inferior yang terjepit dalam fraktur dapat
mengalami gangguan fungsi selama beberapa bulan
sesudah pembedahan, dengan menyebabkan adanya hipertropia
dan diplopia sesudah operasi. ini memicu diplopia residual.
Koreksi enoftalmos yang tidak kuat jauh lebih sering terjadi
dibandingkan koreksi yang berlebihan, dan penanganan sulit dilakukan
karena adanya kontraktur struktur orbita yang terjepit dan atrofi
jaringan lemak orbita. Koreksi enoftalmos yang berlebihan terjadi bila dipakai implan yang lebih tebal, dapat tampak setelah operasi, namun berangsur-angsur membaik dalam beberapa bulan saat terjadi resolusi edema dan kontraktur,
komplikasi komplikasi sesudah tindakan perbaikan fraktur blowout dapat dikoreksi.Hilangnya penglihatan terjadi akibat perdarahan
orbita yang memicu pasokan darah ke nervus optikus tidak
kuat atau trauma pada nervus optikus yang dipicu oleh diseksi orbita atau implan,
Retraksi palpebra inferior dipicu oleh elevasi bola mata akibat pemakaian implan yang terlalu tebal. Adhesi mungkin terjadi bila septum memendek secara vertikal saat penutupan luka. Infeksi bisa terjadi dan dipengobatan dilakukan dengan antibiotik sistemik, diperlukan pengambilan implan,
Ekstrusi implan dapat dipicu oleh penutupan periostium di sepanjang orbital rim inferior yang tidak ,infeksi, trauma, ukuran implan yang terlalu besar,
Nervus infraorbitalis dapat mengalami jejas pada saat trauma atau pada saat eksplorasi dasar orbita, dengan akibat hipestesia atau anestesia pada lokasi
sensoris yang diinervasi oleh nervus itu.
Limfedema terjadi bila insisi pada lipatan palpebra inferior sampai ke kantus
lateralis yang dilakukan merusak drainase limfatik, terutama yang.
Disfungsi nervus infraorbitalis.
Kerusakan yang terjadi dapat berupa trauma penetrans, di mana sebagian ketebalan dinding bola mata melalui kornea/sclera mengalami kerusakan; atau perforans, di mana seluruh ketebalan dinding bola mata rusak. pengobatannya, yaitu:
Penanganan pertama : anestesi lokal contoh dengan pantokain 0,5 – 2% dan profilaksis dengan ATS atau anti tetanus serum , kemudian irigasi gentamisin 1,6 mg/cc dalam larutan fisiologis/salin. bila ada luka di palpebra, lakukan reposisi dan rekanalisasi kalau terkena sistem ekskresi lakrimal, contohnya kanalikuli lakrimalis. Pada trauma perforans berikan tetes atropin sulfat.
bila ada debu dilakukan amosio (pengambilan), kemudian berikan antibiotika topikal contohkan subkonjungtiva dan diberi tutup lunak pada mata. melakukan toilet luka dan eksplorasi,
foto trauma kimia1 2 3 4
foto trauma asam
Trauma basa: berakibat buruk dibandingkan asam, yang dipicu pada trauma basa, terjadi reaksi penyabunan, sehingga sel dan jaringan menjadi rusak atau nekrosis. Sel yang nekrosis ini menghasilkan enzim kolagenase. Enzim ini memicu kerusakan lebih lanjut. Membran sel rusak sehingga terjadi nekrosis sel karena penetrasi melalui membran sel yang rusak memicu
Tekanan intraokular bisa berubah dan lensa dapat menjadi keruh,terbentuk jaringan parut palpebra dan kelenjar air mata, kornea keruh,
terjadi simblefaron sehingga gerakan mata terbatas,
diatasi. dengan irigasi air/larutan garam fisiologis 2000 ml dan netralisasi sampai pH air mata kembali normal (pH air mata 7,3). Berikan antibiotika dan EDTA ,diberikan Inhibitor kolagenase pada 1 minggu sesudah trauma,
diberikan penyekat- dan asetazolamid Bila terjadi glaukoma, diberikan Debridement untuk mencegah infeksi sekunder, diberikan Sikloplegika untuk mencegah iritis dan sinekia posterior.
bila luka sebatas epitel saja maka diberikan steroid secara topikal, namun kalau luka sampai dalam diberikan secara sistemik. Vitamin C ditambahkan dalam regimen, Mata perlu di bebat dan butuh diberikan air mata
buatan, sebab produksi air mata menurun karena terbentuk jaringan parut pada kelenjar airmata. peluang kesembuhan tergantung pada bahan pemicu dan ada tidaknya anestesi kornea,
trauma Asam : merusak ikatan protein intramolekular dan memicu
koagulasi. Terjadinya reaksi koagulasi ini berfungsi sebagai barier penetrasi lebih lanjut sehingga proses berhenti. maka trauma kimia karena asam lebih ringan dibandingkan karena basa, Penyulit yang bisa terjadi adalah simblefaron, katarak, glaukoma, hipotoni,entropion, trikiasis, ketidaknormalan air mata, iritis,
diatasi dengan irigasi dengan air atau larutan garam fisiologis, pengontrolan pH, mirip pada trauma basa.pengobatan debu pada Mata Jenis debu yang melukai mata bisa benda reaktif, yaitu benda yang
memicu reaksi jaringan berupa perubahan selular dan membran sehingga memicu gangguan fungsi, contohnya bulu ulat, bulu mata, tumbuhan, benda logam, dengan atau tanpa sifat magnetik, bahan yang tidak memicu reaksi jaringan mata sehingga tidak mengganggu fungsi mata, contohnya plastik, batu, kaca, porselin,,
Erosi terjadi bila debu tidak menembus bola mata, hanya tertinggal pada konjungtiva atau kornea,
Trauma terjadi bila debu melukai sebagian lapisan kornea atau sklera dan tertinggal dalam lapisan itu dengan kerusakan sebagian jaringan
Trauma perforasi terjadi bila kerusakan terjadi pada seluruh lapisan
jaringan,
Trauma tembus terjadi jika sebagian atau seluruh lapisan kornea dan sklera mengalami kerusakan,
Perdarahan intraokular terjadi bila trauma mengenai jaringan uvea, dapat berupa hemoftalmos (perdarahan badan kaca),hifema (perdarahan COA),
Siderosis adalah reaksi jaringan mata akibat pengendapan ion besi pada jaringan. Endapan besi ini terjadi jaringan yang mengandung epitel, yaitu epitel pigmen retina,epitel kornea, epitel pigmen iris, epitel kapsul lensa, Gejala bisa baru muncul sesudah 2 bulan ,sesudah trauma, berupa visus yang menurun, pupil lebar dengan reaksi lambatjangkauan pandang
menyempit, endapan karat besi di kornea dan lensa (berwarna
kuning kecoklatan), Pada siderosis akan memicu sakit,Kalkosis adalah reaksi jaringan mata akibat pengendapan ion tembaga pada jaringan. Endapan terjadi pada jaringan yang mengandung membran seperti badan kaca, permukaan retina,membran Descemet, kapsul anterior lensa, iris,
Gejala muncul pada minggu pertama sesudah trauma juga reaksi purulen,
Reaksi yang muncul tergantung jenis benda itu, inert atau tidak, tergantung letaknya dalam mata. Benda dengan sifat merusak contohnya besi dan tembaga,
tenaga medis perlu memeriksa jenis trauma, apakah terjadi perforasi, trauma tembus, pemicu trauma diperjelas. contohnya, trauma karena suatu
ledakan akan memicu suatu perforasi karena benda itu masuk dengan kecepatan yang sangat tinggi dan biasanya benda itu dapat mencapai segmen posterior.,.
Alat–alat yang diperlukan untuk pemeriksaan :
oftalmoskop,,lampu penerangan yang baik atau sentolop;
kaca pembesar(loupe) karena pada trauma perforasi yang sangat kecil,
setiap luka perforasi bagaimanapun kecilnya, kemungkinan adanya
debu dalam bola mata tidak dapat disingkirkan; lampu celah (slit lamp),
memeriksa adanya debu dalam badan kaca atau retina, dengan syarat tidak ada kekeruhan badan kaca. Bila dengan oftalmoskop tampak ablasio retina, kekeruhan badan kaca atau perdarahan retina maka peluang kesembuhan jelek
Pemeriksaan radiologis dilakukan untuk semua luka perforasi, untuk
mengetahui ada tidaknya suatu debu yang radioopak dan menentukan lokasi benda itu dalam mata.,dalam pemeriksaan trauma adalah visus untuk setiap luka di konjungtiva bulbi, konjungtiva palpebra,kornea, sklera, dan forniks
Pemeriksaan dengan foto sinar-X polos orbita posisi posteroanterior (PA) dan lateral,
cara Cara Pengambilan debu pada Permukaan Mata yaitu
Pertama, mata ditetesi pantokain 0,5–2%. Benda lunak dapat
diambil dengan lidi kapas, sedang benda keras dapat diambil
dengan jarum ,spuit, magnetic probe, bahwa ketebalan kornea tengah adalah 0,6 mm dan tepi 1 mm, sehingga disarankan bisa hati-hati. sesudah benda asing terambil dilakukan irigasi dengan larutan fisiologis, penetesan
antibiotika tanpa steroid, kemudian luka ditutup dengan kasa steril,
peluang kesembuhan trauma dengan luka perforasi, tergantung pada:
Bila terjadi luka perforasi yang berat sehingga banyak badan kaca yang prolaps, mungkin terjadi ablasi retina, debu yang terletak di bilik mata depan peluang kesembuhannya lebih baik karena mudah terlihat sehingga mudah dikeluarkan dibanding yang terletak di segmen posterior,debu inert peluang kesembuhannya lebih baik Benda logam magnit peluang kesembuhannya baik karena pengeluarannya dengan magnit,