Tampilkan postingan dengan label ginjal. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ginjal. Tampilkan semua postingan

Senin, 12 April 2021

ginjal

  





GANGGUAN   KALIUM (K) DAN  KATION NATRIUM (NA)  PADA PASIEN PENYAKIT GINJAL  


Gangguan   kalium (K) dan  Kation natrium (Na)     harus  diatasi  segera karena dapat mempengaruhi sistem kardiovaskular tubuh dan memicu kerusakan sel ,gangguan  pada   sistem kardiovaskular dapat memicu  morbiditas dan  mortalitas pada pasien penyakit ginjal terminal,  

kalium (K) dan  Kation natrium (Na)  adalah  elektrolit atau  kation yang  langsung mempengaruhi fungsi normal dari sel,kalium diperlukan untuk fungsi normal seluruh  sel, terutama otot rangka ,otot  intestinal ,otot jantung,kalium penting untuk fungsi otak  yang  menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit, mengatur   neuromuskular,  fungsi kardiak atau  jantung  yang  mengatur  kontraktilitas dan ritme  ,

elektrolit  yang dijaga keseimbangannya di dalam tubuh antaralain :  

fosfat, klorida , natrium, kalium, kalsium dan  magnesium,

normalnya  setiap nefron ginjal bekerja  mengekskresikan, menyaring dan  menyerap ulang  air dan  zat terlarut ,ginjal adalah regulator utama untuk 

menjaga keseimbangan  asam basa dan elektrolit ,Ketidakseimbangan  kalium   dipengaruhi oleh penggunaan obat obatan seperti  kortikosteroid , diuretik, Angiotensin  Converting Enzyme  Inhibitor, Angiotensin Receptor Blocker. Dengan fungsi ginjal yang tidak normal  dan  pengunaan obat  yang dapat mempengaruhi kadar  kalium maka dapat memperparah keseimbangan kalium  di dalam tubuh,  hipokalemia dan atau  hiperkalemia   memicu  aritmia,gangguan pada jantung, gagal  jantung hingga henti jantung bila tidak diobati,

kadar  kalium normal yaitu   3.5  sampai  5.3 mmol/L, Ginjal berperan  dalam mengatur keseimbangan kalium dengan  menyerap  ulang kalium yang disaring pada tubulus proksimal,  jika  ginjal mengalami penurunan fungsi maka akan 

terjadi perubahan pada mekanisme homeostatis normal  yang menjaga keseimbangan kalium,  Akibatnya akan   timbul hiperkalemia atau hipokalemia ,

 hemodialisis (HD)  merupakan layanan yang paling banyak diberikan oleh 

unit renal  dibandingkan dengan transplantasi ginjal dan dialisis peritoneal ,

kadar natrium serum dijaga oleh umpan balik  yang melibatkan hipotalamus, ginjal dan  kelenjar adrenal , natrium merupakan elektrolit yang penting bagi  tubuh, natrium  berfungsi   menjaga konsentrasi dan  volume cairan ekstraselular dan untuk aktivitas osmotik  plasma,fungsi ginjal yang tidak normal   dan pemakaian   obat   yang  mempengaruhi kadar natrium maka dapat memperparah keseimbangan natrium di  dalam tubuh,

ketidakseimbangan natrium juga   dipengaruhi oleh penggunaan obat  seperti 

kortikosteroid, diuretik, Angiotensin  Converting Enzyme  Inhibitor dan  Angiotensin Receptor Blocker, ketidakseimbangan  kadar natrium serum  memicu hipernatremia  dan hiponatremia , saat  penurunan fungsi ginjal terjadi  maka keseimbangan  elektrolit dan  cairan  tidak terjaga ,  

hipernatremia dan   hiponatremia  dapat  memicu seizure, koma, hingga kematian ,

Kriteria sampel pasien ,antaralain: 

Kriteria eksklusi adalah pasien penyakit ginjal  terminal yang pada kondisi pradialisis tidak  mempunyai data pengukuran terhadap kadar Na  dan K,

Kriteria inklusi adalah pasien penyakit ginjal  terminal yang pada kondisi pradialisis ada  data pengukuran terhadap kadar Na dan K,

 pemeriksaan statistik dengan uji  fisher exact dilakukan untuk menguji   pengaruh  penggunaan obat Angiotensin Receptor Blocker  dan Angiotensin  Converting Enzyme  Inhibitor  terhadap gangguan  kalium  dan  natrium , pasien  pasien yang menjalani hemodialisis di Unit Hemodialisis , 

 penelusuran rekam  medik pasien   pengukuran kadar natrium dan kadar  kalium pada kondisi pradialisis,   Pasien  penyakit ginjal terminal yang mempunyai hasil laboratorium  pengukuran kadar Na dan K pada kondisi pradialisis  paling banyak pada  usia 46  sampai  55 tahun , dan lebih banyak diderita oleh pasien pasien laki laki. Prevalensi  Penyakit Ginjal Kronis (penyakit ginjal kronik) lebih tinggi dengan adanya  jenis kelamin lakilaki , ras kulit hitam,  peningkatan usia,  Peningkatan usia memicu fungsi ginjal  menurun  ini dikarenakan jumlah jaringan pada ginjal  menurun, jumlah nefron (unit penyaring) menurun dimana 

nefron menyaring produk buangan dari darah, juga   pembuluh darah yang menyuplai ginjal mengeras sehingga  memicu penyaringan oleh ginjal menjadi lambat,  Prevalensi pasien laki laki lebih tinggi dibandingkan  pasien wanita karena  estrogen yang ada pada wanita mempunyai sifat  antioksidan yang poten terhadap stress oksidatif sehingga  dapat memberikan perlindungan terhadap ginjal , sedang  testosteron pada pasien laki laki menstimulasi aktivasi Sistem Renin Angiotensin Aldosteron  (Sistem Renin Angiotensin Aldosteron), mengakibatkan    stress oksidatif juga  memicu inflamasi yang   memperburuk progresifitas penyakit ginjal,

 pasien mempunyai nilai eGFR  < 15 mL/min/1.73m2 yang berarti kondisi pasien masuk  pada kelompok penyakit ginjal terminal,  pemicu  terjadinya penyakit ginjal kronis diantaranya  adalah penyakit glomerulonefritis, diabetes mellitus dan  hipertensi,  

diabetes mellitus   dan  hipertensi  adalah  penyakit  yang paling umum memicu penyakit ginjal kronik, hipertensi merupakan  penyakit paling banyak  yang dialami pasien  sebelum didiagnosa menderita penyakit ginjal terminal, 

Hipertensi meningkatkan resiko  Penyakit Ginjal Kronis    karena ginjal 

mempunyai peran dalam pengaturan tekanan darah,  Peningkatan tekanan darah juga dapat meningkatkan resiko  perkembangan  Penyakit Ginjal Kronis    pada pasien, ini dikarenakan  tekanan darah yang tinggi dapat merusak pembuluh darah  tubuh yang dapat menurunkan suplai darah ke organ vital 

termasuk ginjal, Tekanan darah yang tinggi   dapat  merusak unit penyaring ginjal. Akibatnya ginjal gagal  mengeksresikan produk buangan dan kelebihan cairan  di dalam tubuh,  Kelebihan cairan ini  meningkatkan   tekanan darah menjadi lebih tinggi lagi. Diabetes mellitus  tipe 2 lebih banyak memicu penyakit ginjal kronik dibandingkan  diabetes mellitus tipe 1 ,  Kadar Gula darah yang  meningkat di dalam tubuh dapat memicu kerusakan  organ termasuk ginjal, Kadar gula yang meningkat   merusak pembuluh darah kecil ditubuh,  jika   pembuluh darah pada ginjal yang rusak maka ginjal tidak  berfungsi,  Diabetes juga  dapat  merusak saraf di tubuh, memicu kesulitan untuk  mengosongkan kandung kemih,  Tekanan yang dihasilkan  dari kandung kemih yang penuh dan merusak ginjal ,

Faktor progresif pada  Penyakit Ginjal Kronis   antaralain :  alkohol dan  rokok , 

Rokok dapat menyempitkan  pembuluh darah di ginjal sehingga dapat mempercepat  penurunan fungsi ginjal ,meningkatkan   denyut jantung dan  tekanan darah ,menurunkan aliran darah ke ginjal dan  meningkatkan produksi angiotensin II, 

jumlah masukan air dan  pelarutan juga  konsentrasi urin  akan mempengaruhi jumlah air yang dieksresikan oleh  ginjal yang akhirnya juga  memicu terjadinya 

 hipernatremia pada pasien penyakit ginjal kronis , prevalensi  hiponatremia lebih banyak terjadi pada semua tingkat penyakit ginjal kronis  dibandingkan hipernatremia ,  hiperkalemia terjadi ketika pengaturan antara  keluaran (eksresi)  dan masukan (intake)  atau penyebaran  kalium antara cairan ekstraselular  dan  intraselular  terganggu,  kalium di dalam tubuh paling banyak  ada di  dalam cairan intraselular  dan hanya sedikit  yang berada pada cairan ekstraselular,penyakit ginjal kronis   dapat memicu  ketidaknormalan  masukan (intake) air melalui pengaruh sensasi  rasa haus, perubahan sekresi ADH atau ketidaknormalan    termasuk reseptor VP atau aquaporin pada duct pengumpul, 

kelebihan atau kekurangan air memicu  ketidaknormalan    pelarutan atau konsentrasi cairan ekstraselular yang  dapat diukur dengan perubahan kadar natrium yang  dapat memicu terjadinya  hipernatremia, 

masukan (intake) kalium sebagian berasal dari  makanan,  makanan yang mempunyai kandungan kalium  dengan konsentrasi besar ada pada buah dan sayuran,  selain dari makanan masukan kalium juga dapat berasal  dari suplemen seperti KCl,  Suplemen ini  diberikan  pada pasien yang menerima pengobatan diuretik. Masukan  (intake) kalium harian, akan meningkatkan serum kalium  sekitar 1 mmol/L dengan kondisi fungsi ginjal normal, 

Homeostasis kalium di ginjal dilakukan melalui proses  eksresi, Pada kondisi normal 80   sampai   90% kalium dieliminasi  melalui eksresi ginjal,  Eliminasi ini diatur pada duct pengumpul , Walaupun kalium disaring oleh  glomerulus, sekitar 90% diantaranya akan diserap  ulang  oleh lengkung henle  dan  tubulus proksimal ,

Hiperkalemia  memicu efek  samping yang  dapat maupun sulit dideteksi ,

Sebagian besar dari dampaknya berhubungan dengan dampak  kalium pada potensial membran selular ,  Potensial membran  sel adalah rasio antara konsentrasi kalium di  ekstraselular dan   intraselular ,  sumbangan kalium pada potensial   membran istirahat berhubungan dengan rasio kalium intra  dan ekstraselular, dimana perubahan kecil pada kalium  ekstraselular akan memicu perubahan besar pada  rasionya dan dapat memicu perubahan besar pada 

potensial membran istirahat. Potensial membran istirahat  penting untuk semua sel elektrik aktif, termasuk otot voluntary , involuntary  atau neuron, 

Hiperkalemia terjadi bukan berhubungan dengan dengan  penyebaran  kalium antara kompartemen ekstraselular dan   intraselular , tetapi terjadi karena gangguan eksresi di ginjal,  ini  terjadi akibat penurunan fungsi ginjal dimana jumlah  nefron menurun atau ada gangguan pada laju sekresi  di duct pengumpul ,

Hiponatremia  memicu hipertensi intrakranial dan  pembengkakan  otak , ini dapat memicu  komplikasi yang berbahaya  seperti henti pernafasan ,kejang, koma  yang dapat memicu  kerusakan otak dan kematian, 

dampak hiperkalemia yang paling menonjol adalah pada  miokardium,  Penurunan potensial membran istirahat  akan menurunkan keccepatan konduksi sel miokardial  dan peningkatan laju repolarisasi,  Penurunan kecepatan  konduksi memicu peningkatan pada interval PR  dan lebar QRS pada EKG,

peningkatan  laju repolarisasi memicu peningkatan dari tinggi  gelombang T atau  “peaked” T waves.  Penurunan kecepatan konduksi terutama karena adanya  peaked T waves akan memicu fibrilasi ventrikular dan  dapat memicu kematian mendadak,

 Hiperkalemia  ringan  berkaitan dengan peningkatan tinggi  gelombang T,  sedang hiperkalemia berat berkaitan  dengan peningkatan interval PR dan perpanjangan  interval QRS. Namun hubungan antara  EKG dan  kadar kalium 

tergantung pada  faktor seperti  kecepatan perkembangan hiperkalemia  dan sensitifitas,

Hiperkalemia  dapat mempengaruhi sel yang lain  di dalam tubuh,  Otot skeletal adalah yang paling sensitif  terhadap hiperkalemia dan memicu kelelahan dan kelemahan , Ini berkaitan pada   pentingnya  potensial membran untuk kontraksi normal otot skeletal, 

Hiperkalemia juga  dapat memicu depresi  pernafasan yang parah ,

Penanganan hiponatremia pada pasien dapat dibenarkan  dengan pemberian infus NaCl 3% pada saat pasien dirawat  dirumah sakit. 

perhitungan  dampak infusan  terhadap ion Na per 1 L larutan infuse adalah bahwa  larutan infuse NaCl 3% dapat meningkatkan 13,0 mmol/L  Na di dalam tubuh , Target peningkatan kadar Na  adalah 6  sampai  8 mmol/L dalam 24 jam, 

pasien yang mengalami  hiponatremia lainnya tidak mendapatkan pengobatan dengan  larutan infus NaCl 3% karena kondisi hiponatremianya  digolongkan ringan hingga sedang. hanya sedikit   pasien yang mendapatkan pengobatan dengan  larutan infus NaCl 3 % yaitu pada pasien dengan kondisi  hiponatremia berat,  Obat yang dipakai diantaranya  kalsium polistiren sulfonat, furosemid dan  kalsium glukonat,   obat  Furosemid bekerja dengan menghambat penyerapan  Na dan  Cl pada lengkung henle , tubulus proksimal dan tubulus distal ,furosemid merupakan obat golongan diuretik,

obat   furosemid memicu  diuresis dan pengeluaran elektrolit diantaranya kalium,  sehingga furosemid dapat dipakai untuk penanganan  hiperkalemia ringan, dosis yang dipakai untuk  penanganan hiperkalemia adalah 40 sampai 80 mg IV dengan  onset 15  sampai  1 jam dengan lama dampak selama 4 jam , 

kalsium glukonat adalah obat dengan mekanisme  antagonis dampak membran pada kardiak/jantung. obat  ini mempengaruhi sistem konduksi dan repolarisasi  miokardial. obat ini aktif  pada pasien dengan kadar  kalsium normal,  kalsium glukonat diberikan secara  intravena dengan dosis 10  sampai 20 ml dari 10% larutan selama  2 sampai 3 menit,  dampak pada EKG dapat tercapai dalam 1  sampai  3 menit  dan berlangsung selama 30 sampai  60 menit, Dosis kedua dapat  diberikan jika  tidak terjadi dampak apapun   5 sampai 10 menit.  Karena onset terhadap dampaknya cepat, obat ini sebaiknya 

diberikan pada pasien dengan ketidaknormalan  EKG yang  berhubungan dengan hiperkalemia  ,

kalsium polistiren sulfonat adalah golongan resin  penukar ion. obat ini bekerja dengan mengikat kalium di  usus besar. ion kalsium dari obat ini akan bertukar dengan  kalium di dalam tubuh. obat ini tidak masuk ke dalam  aliran darah hanya akan keluar bersama kalium melalui  feses, obat ini dapat memicu konstipasi dan diberikan  dengan laksatif untuk pencegahan konstipasi,

obat ini dapat  menurunkan kadar kalium sekitar 1 mmol/l selama 24  jam. 

furosemid  dan kalsium polistiren sulfonat dapat diberikan pada  pasien hiperkalemia setelah kondisi stabil untuk pengobatan pemeliharaan, kalsium glukonat  harus segera diberikan pada pasien yang menunjukkan  gejala aritmia meskipun hasil laboratorium terhadap  pengukuran kadar kalium belum diperoleh.

hipertensi merupakan salah satu penyakit yang  menginisiasi penyakit ginjal kronis , salah satu  golongan obat yang dipakai untuk penanganan 

hipertensi pada pasien penyakit ginjal kronis    adalah antihipertensi 

penghambat sistem renin   angiotensin    aldosteron (sistem renin angiotensin aldosteron) 

seperti angiotensin receptor blocker (angiotensin receptor blocker) dan golongan angiotensin  converting enzyme  inhibitor (angiotensin  converting enzyme  inhibitor)  kedua  antihipertensi ini dapat meningkatkan resiko terjadinya  hiperkalemia dan  hiponatremia  karena mencegah 

penyerapan ulang na dan menurunkan ekskresi kalium, 

hasil pemeriksaan dengan uji  statistik fisher exact menunjukkan bahwa pemakaian   antihipertensi golongan angiotensin  converting enzyme  inhibitor dan angiotensin receptor blocker baik kombinasi atau  tunggal  tidak berpengaruh terhadap penurunan  kadar natrium. namun jika dilihat  dari jumlah pasien  terlihat bahwa kejadian  hiponatremia banyak muncul pada  pasien yang memakai angiotensin receptor blocker, antihipertensi angiotensin  converting enzyme  inhibitor, maupun kombinasi keduanya dibandingkan pada pasien  yang tidak mengonsumsi keduanya.

 hasil pemeriksaan dengan uji  statistik fisher exact menunjukkan bahwa penggunaan  antihipertensi golongan angiotensin  converting enzyme  inhibitor dan angiotensin receptor blocker baik tunggal  maupun kombinasi tidak berpengaruh terhadap  peningkatan kadar kalium. namun jika diamati dari jumlah  pasien terlihat bahwa insiden hiperkalemia banyak muncul 

pada pasien yang memakai antihipertensi angiotensin  converting enzyme  inhibitor,  angiotensin receptor blocker, maupun kombinasi keduanya dibandingkan pada  pasien yang tidak mengonsumsi keduanya.

obat golongan sistem  renin   angiotensin    aldosteron  (sistem renin angiotensin aldosteron) berperan  dalam pengaturan  keseimbangan kalium dan  natrium melalui dampak pada 

aldosteron, Renin adalah enzim yang disintesis pada sel  juxtaglomerular di ginjal yang mengubah angiotensinogen  menjadi angiotensin I. Angiotensin I diubah menjadi  angiotensin II oleh Angiotensin Converting Enzym, Aldosteron 

disekresikan oleh kelenjar adrenal di ginjal di bawah  pengaturan angiotensin II. Aldosteron dan angiotensin II  meningkatkan penyerapan ulang air, meningkatkan penyerapan ulang Na  dan meningkatkan eksresi K. 

Obat golongan penghambat  Sistem Renin Angiotensin Aldosteron dapat mengganggu keseimbangan Na dan K  karena menghambat penyerapan ulang Na dan menurunkan  eksresi K. Akibatnya dapat terjadi hiperkalemia dan  hiponatremia ,

pengobatan yang melibatkan Sistem Renin Angiotensin Aldosteron dapat mengatasi gagal jantung ,diabetes,   hipertensi, penyakit ginjal kronis, 

Obat golongan penghambat Sistem Renin Angiotensin Aldosteron  mengganggu  keseimbangan Na dan K karena menghambat penyerapan ulang  Na dan menurunkan ekskresi K ,

Obat  golongan Sistem Renin Angiotensin Aldosteron seperti Angiotensin Receptor Blockers (Angiotensin Receptor Blocker) dan Angiotensin Converting Enzyme  Inhibitors (Angiotensin  Converting Enzyme  Inhibitor)  meningkatkan resiko terjadinya  hiponatremia dan  hiperkalemia   dengan mengganggu sekresi aldosteron  yang diperantarai oleh angiotensin II,  angiotensin II  dan  Aldosteron meningkatkan ekskresi K,meningkatkan penyerapan ulang air dan 

meningkatkan penyerapan ulang Na ,

telah diteliti kejadian  peningkatan kadar kalium serum pada pasien  penyakit ginjal kronik dengan penggunaan obat Sistem Renin Angiotensin Aldosteron , Peningkatan serum kalium dinilai sangat 

kecil sekitar < 0,3 mmol/L dan peningkatan ini tidak  berhubungan dengan dengan dampak samping yang muncul. Penggunaan  monoterapi  Angiotensin Receptor Blocker dan Angiotensin  Converting Enzyme  Inhibitor  memicu peningkatan  yang kecil terhadap kadar kalium serum bila dibandingkan  dengan baseline sekitar <0,12 mmol/L dalam 10 minggu. 

Peningkatan kadar serum kalium juga tinggi pada pasien  penyakit ginjal kronik dengan pengobatan  Angiotensin Receptor Blocker atau Angiotensin  Converting Enzyme  Inhibitor dibandingkan  dengan yang tidak diberi  Angiotensin Receptor Blocker atau  Angiotensin  Converting Enzyme  Inhibitor ,

pemakaian  kombinasi dua obat Angiotensin Receptor Blocker ,Sistem Renin Angiotensin Aldosteron  dan  Angiotensin  Converting Enzyme  Inhibitor  dapat  meningkatkan resiko hiperkalemia dibandingkan  monoterapi . Peningkatannya sekitar < 0,5 mmol/L,




Data  berat badan dan hasil  laboratorium   pasien ada pada Tabel 22

sedang data mengenai nilai eGFR   pasien  ada pada Tabel 33 , 

data mengenai tingkat keparahan hiponatremia  dan hiperkalemia ada pada Tabel 77 ,Pasien yang mengalami   penurunan fungsi ginjal juga akan 

mengalami gangguan terhadap keseimbangan elektrolit  termasuk  kalium (K) dan  Kation natrium (Na)  , Data mengenai gangguan Na dan K  pada pasien ada pada Tabel 66,

Data penggunaan obat untuk menangani hiperkalemia  ,ada pada Tabel 9 9. sedang data dosis obat ada  pada Tabel 100,

Data riwayat penggunaan Angiotensin  Converting Enzyme  Inhibitor & Angiotensin Receptor Blocker terhadap 

gangguan kadar Na dapat dilihat pada Tabel 111

data pemeriksaan uji statistik memakai uji Fisher Exact 

dapat dilihat pada Tabel 122. Data riwayat penggunaan Angiotensin  Converting Enzyme  Inhibitor & Angiotensin Receptor Blocker terhadap 

gangguan kadar K dapat dilihat pada Tabel 133. sedang 

data pemeriksaan uji statistik memakai uji Fisher Exact 

dapat dilihat pada Tabel 144.



Tabel  11. penyebaran jumlah pasien berdasarkan usia dan jenis kelamin

Jenis Kelamin Kelompok Usia (tahun) ∑ (Jumlah)    %

pasien wanita    16  sampai 25 0,00 0,00

   26 sampai  35 2,00 20,00

                   36 sampai 45 1,00 10,00

    46 sampai 55   3,00 30,00

>55   4,00 40,00

pasien laki laki       16 sampai 25           0 ,00 0,00

    26 sampai 35 1,00 8,33

    36 sampai 45 5,00 41,67

    46 sampai 55   5,00 41,67

>55 1,00 8,33



Tabel 22. Bobot badan dan hasil laboratorium pasien pradialisis

Parameter Nilai Nilai normal


Bobot Badan (kg)               61,6±13,8

Na (mmol/L)             .126,97±26,76 135 – 148

K (mmol/L)              5,42±1,22    3,5 – 5,3

Ureum (mg/dL)             250,65±103,43 15 – 43,2

Kreatinin Serum (mg/dL)          15,82±6,17           pasien laki laki: 0,73 – 1,36

             pasien wanita: 0,57 – 1,13



Tabel 33. Perhitungan nilai eGFR pasien

Nilai eGFR (mL/min/1.73m2)    ∑ (Jumlah) %         Kategori

1 1 4,55                     G5

2 8 36,36               G5

3 5 22,73               G5

4 4 18,18 G5

5 1 4,55 G5

6 2 9,09 G5

9 1 4,55 G5



Tabel 66. Kondisi keseimbangan natrium dan kalium pasien

Perubahan Elektrolit   ∑ (Jumlah) % Nilai Rujukan (mmol/L)

Perubahan K

Hipokalemia 1 4.55 <3.5

Normal 11 50.00 3.5 sampai  5.3

Hiperkalemia                10   45.45   >5.3

Perubahan Na

Hiponatremia 13 59.09 <135

Normal 9 40.91 135 sampai 146

Hipernatremia 0 0.00 >146



Tabel 77. Tingkat keparahan hiponatremia dan hiperkalemia

Tingkat Keparahan    ∑ (Jumlah) % Nilai Rujukan (mmol/L)

Hiperkalemia

Ringan 3 30,00   5.3 sampai  5.9

Sedang 3 30,00      6.0  sampai  6.4

Berat 4 40,00 >6.5

Hiponatremia

Ringan 8 61,54 130 sampai  135

Sedang 3 23,08   125 sampai 129

Berat 2 15,38 <125



Tabel 99. Penggunaan obat untuk menangani kondisi hiperkalemia

Obat

Hiperkalemia

Ringan Sedang Berat

∑ (Jumlah) ∑ (Jumlah) ∑ (Jumlah)

Furosemide + kalsium  :

polistiren sulfonat + kalsium :

glukonat: 1 0

Kalsium glukonat + kalsium       

polistiren sulfonat                         1 0 0


Furosemid : 1 1 0

Furosemid + kalsium glukonat :  0 1 1

Furosemid + kalsium polistiren : 0 1 3

sulfonat



Tabel 100. Penggunaan obat untuk penanganan hiperkalemia

Obat Dosis Literatur        Dosis Pasien

Kalsium polistiren         15 - 30 gr/hari dalam 2 - 3 dosis terbagi 15-30 gr/hari

sulfonat

tidak merokok/alkohol        12                        54,55

Furosemid 40 sampai  80 mg IV      40 sampai  60 mg IV

Kalsium glukonat 0,5 - 3 gr IV selama 2- 5 menit           1 gr IV


    

Tabel 111. Riwayat penggunaan Angiotensin  Converting Enzyme  Inhibitor & Angiotensin Receptor Blocker terhadap gangguan natrium

Obat Anti Hipertensi

Hiponatremia     Normal    ..Hipernatremia

∑ (Jumlah)    ∑ (Jumlah)        ∑ (Jumlah)

ACE   Inhibitor 4   3     0

ARB  6   1     0

ACEI & ARB  1   0     0

 NON ACEI & NON ARB  2 5    0



Tabel 122. pemeriksaan statistik penggunaan Angiotensin  Converting Enzyme  Inhibitor & Angiotensin Receptor Blocker terhadap gangguan natrium

Obat Anti Hipertensi

Hiponatremia Normal p- value


∑ (Jumlah) ∑ (Jumlah)


ACEI 4 3

0,592

Non-ACEI & non-ARB 2 5

ARB 6 1

0,103

Non-ACEI & non-ARB 2 5

ACEI & ARB 1 0

0,375

Non-ACEI & non-ARB 2 5



Tabel 133. Riwayat penggunaan Angiotensin  Converting Enzyme  Inhibitor & Angiotensin Receptor Blocker terhadap gangguan kalium


Obat Anti Hipertensi

Hipokalemia Normal Hiperkalemia

∑ (Jumlah) ∑ (Jumlah) ∑ (Jumlah)

ACEI & ARB 0 1 1

Non-ACEI & non-ARB    1 5 1

ACEI 0 2 5

ARB 0 3 3





Tabel 144. pemeriksaan statistik penggunaan Angiotensin  Converting Enzyme  Inhibitor & Angiotensin Receptor Blocker terhadap gangguan kalium

Obat Anti Hipertensi

Hiperkalemia Normal p-value

∑ (Jumlah) ∑ (Jumlah)


ACEI 5 2

0,103

Non-ACEI & non-ARB 1 5

ARB 3 3

0,545

Non-ACEI & non-ARB 1 5

ACEI & ARB 1 1

0,464

Non-ACEI & non-ARB 1 5




PENYAKIT GINJAL KRONIK


penyakit ginjal kronik  adalah suatu  gangguan pada ginjal ditandai dengan ketidak normalan  struktur dan  fungsi ginjal  seperti  albuminuria, ketidak normalan  sedimen urin, elektrolit, histologi, struktur ginjal,  adanya riwayat transplantasi ginjal,  penurunan laju filtrasi glomerulus,   yang berlangsung lebih  dari 3 bulan,

Prevalensi gagal ginjal kronik meningkat seiring  bertambahnya usia, Prevalensi  pada laki-laki  lebih tinggi dibandingkan  perempuan ,

Penyebab kerusakan ginjal  adalah  bemacam macam  dan kerusakannya bersifat ireversibel, Penyebab penyakit ginjal kronik pada pasien hemodialisis ,antaralain :  glomerulopati primer , nefropati  diabetika, nefropati lupus/SLE , penyakit ginjal  hipertensi  ginjal polikistik , nefropati asam  urat , nefropati obstruksi , pielonefritis  kronik/PNC  ,

mekanisme dasar terjadinya penyakit ginjal kronik adalah  adanya cedera jaringan, cedera sebagian jaringan  ginjal itu mengakibatkan pengurangan massa  ginjal, yang kemudian mengakibatkan terjadinya .proses adaptasi berupa hipertrofi pada jaringan ginjal .normal yang masih tersisa dan hiperfiltrasi. namun  proses adaptasi itu hanya berlangsung .sementara, kemudian akan berubah menjadi suatu .proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang  masih tersisa. pada stadium pertama  penyakit ginjal kronik, terjadi  kehilangan daya cadang ginjal, pada keadaan dimana  basal laju filtrasi glomerulus (LFG) masih normal atau  malah meningkat. secara perlahan tapi pasti akan  terjadi penurunan fungsi nefron , 

 pasien penyakit ginjal kronik dengan ureum darah kurang dari  150 mg/dl,  tidak

mengalami  gejala,  gejala akan muncul   bila ureum darah  lebih dari 200 mg/dl karena konsentrasi ureum darah  merupakan indikator adanya retensi sisa-sisa 

metabolisme protein di dalam tubuh,

kebanyakan  pasien penyakit ginjal kronik mengeluhkan  gejala berupa  gagal konsentrasi , kulit kering , gangguan tidur ,sembelit , kekurangan energi , pruritus , mengantuk , dyspnea , edema , nyeri ,mulut kering , kram otot , kurang nafsu makan ,  uremia  mengakibatkan gangguan fungsi hampir semua sistem 

organ, seperti  paru, kulit, gastrointestinal, hematologi  ,imunologi, gangguan cairan dan elektrolit, metabolik-endokrin, neuromuskular, kardiovaskular 

modifikasi faktor resiko penyakit ginjal kronik dilakukan pada 

hiperkolesterolemia, anemia,  rokok,hipertensi, obesitas morbid, sindroma metabolik, 

penyakit ginjal kronik dengan tanda-tanda kegagalan ginjal seperti elektrolit, pruritus, serositis, gangguan keseimbangan asam-basa  ,gangguan kognitif, kegagalan pengendalian volume  dan tekanan darah, gangguan status gizi yang 

refrakter,  membutuhkan pengobatan  hemodialisis. Pada pasien yang sudah mencapai  penyakit ginjal kronik derajat IV (eGFR <30mL/menit/1,73m2

) juga harus dimulai pengobatan hemodialisis, 

 Hemodialisis adalah proses pertukaran zat  terlarut dan produk sisa tubuh,  Zat sisa yang  menumpuk pada pasien penyakit ginjal kronik ditarik dengan 

mekanisme difusi pasif membran semipermeabel,  Perpindahan produk sisa metabolik berlangsung  mengikuti penurunan gradien konsentrasi dari sirkulasi 

ke dalam dialisat. Dengan cara  itu diharapkan .pengeluaran albumin yang terjadi pada pasien penyakit ginjal kronik   bisa  diturunkan, gejala uremia berkurang, 

Hemodialisis dapat mempengaruhi kondisi pasien penyakit ginjal kronik, berupa gejala kelainan  psikis, insomnia, hipertensi,  mual muntah, .anoreksia, anemia, 

berdasar  pemeriksaan fisik pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani 

hemodialisis  ditemukan  pasien mengalami edema perifer   hipertensi stage, konjungtiva 

yang anemis ,  kadar hemoglobin pasien  terbanyak  Hb 7-10 g/dl,

Penurunan fungsi ginjal merupakan proses normal dari  setiap  pertambahan  usia manusia, Bertambahnya  usia menunjukkan penurunan  Renal Blood Flow (RBF) dan  Glomerular  Filtrasion Rate (GFR) ,  Penurunan terjadi sekitar 8 ml/menit/1,73m2  setiap  dekadenya sejak usia 40 tahun,

jenis kelamin terbanyak adalah pasien laki laki dibandingkan  pasien wanita ini  kemungkinan berkaitan dengan kejadian penyakit  penyebab penyakit ginjal kronik, seperti batu ginjal, yang juga banyak  terjadi pada jenis kelamin pasien laki laki.

berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa  beberapa  pasien  mengeluhkan oliguria, sedang pasien  lainnya  tidak mengeluhkan oliguria, oliguria  terjadi karena terganggunya fungsi ginjal untuk  mempertahankan homeostasis cairan tubuh dengan  pengendalian volume cairan, sehingga cairan menumpuk di 

dalam tubuh,  banyak pasien yang tidak mengeluhkan oliguria,  kemungkinan 

ini dikarenakan pada penelitian ini kebanyakan pasien  masih baru dalam menjalani hemodialisis sehingga  dapat dikatakan kerusakan fungsi ginjalnya belum  terlalu parah, sehingga gejala oliguria (penurunan  pengeluaran urine) belum begitu terlihat. efek medikasi yang  dilakukan terhadap kelebihan cairan juga   mempengaruhi pengeluaran urine, seperti pemberian  diuretik, yang dapat meningkatkan pengeluaran urine,   kejadian anuria  meningkat sejalan dengan lamanya menjalani  hemodialisis (52% pada pasien yang hemodialisis selama 4 

bulan dan 67% pada pasien yang hemodialisis selama 12  bulan) dikarenakan walaupun semakin lama   pasien menjalani hemodialisis progresifitas penyakit ginjal kroniknya tetap akan  berlangsung, sehingga fungsi ginjal tetap akan  semakin menurun dan pengeluaran urine semakin  berkurang,

 kelebihan cairan yang terjadi pada  pasien didapatkan asites pada 5 pasien 

sedangkan 99 orang pasien  tidak ditemukan  asites,  pada 4 orang pasien ditemukan adanya   efusi pleura, pasien tidak ditemukan efusi  pleura,  sebanyak 56 pasien  mengalami  edema perifer dan 48 orang sisanya  tidak 

mengalami edema perifer, 

Kelebihan cairan pada pasien penyakit ginjal kronik disebabkan  karena terganggunya fungsi ginjal untuk menjalankan  fungsi ekskresinya,  kejadian kelebihan  cairan seperti asites dan efusi pleura menunjukkan 

jumlah yang sedikit, dapat disebabkan oleh pengobatan  hemodialisis. Pada mesin dialisis dilakukan penarikan  cairan sampai tercapai berat badan kering, yaitu berat  badan dimana sudah tidak ada cairan berlebihan  dalam tubuh,  Kelebihan cairan tubuh dialirkan ke  dalam mesin dialyzer yang alirannya kendalikan  oleh  pompa,kemudian  cairan itu akan dikeluarkan dari 

sirkulasi sistemik secara simultan selama hemodialisis, 

kejadian efusi  pleura pada pasien yang menerima hemodialisis 

jangka panjang adalah sebesar 20%,  10  dari 90  pasien yang efusi pleura 

menjalani torakosentesis, didapatkan 60%  mengalami efusi pleura tipe transudat dan  20 %  tipe  eksudat. Penyebab efusi tipe transudat adalah 

hipervolemia   dan gagal jantung ,  Efusi  eksudat paling banyak disebabkan oleh pleuritis ,  Perbedaan ini kemungkinan karena pasien  telah menjalani 

hemodialisis dalam jangka panjang sehingga  progresifitas penyakit ginjal kroniknya lebih tinggi, dimana sudah  menimbulkan berbagai komplikasi seperti gagal  jantung dan infeksi, 

Edema  perifer pada pasien merupakan akibat dari  penumpukan cairan karena berkurangnya tekanan   osmotik plasma , retensi natrium dan air. Akibat  dari gravitasi, cairan yang berlebih itu  akan lebih mudah menumpuk di tubuh bagian perifer  seperti kaki, sehingga edema perifer akan lebih cepat  terjadi dibanding gejala kelebihan cairan lainnya. Karena hal itu kejadian edema perifer pada 

pasien cukup tinggi, 

pasien  penyakit ginjal kronik mengalami   tekanan darah , prehipertensi, hipertensi stage 1,  hipertensi stage 2  , kebanyakan penyakit ginjal kronik disebabkan oleh hipertensi . Ditemukannya pasien dengan tekanan darah 

normal dan prehipertensi   dapat disebabkan karena pasien yang mengalami 

penyakit ginjal tahap akhir umumnya mendapatkan  regimen antihipertensi untuk mengendalikan tekanan  darahnya,

 10 pasien penyakit ginjal kronik  mengalami asidosis metabolik sedangkan 90

pasien  tidak mengalaminya. Asidosis  metabolik  umum terjadi pada pasien penyakit ginjal kronik,  khususnya ketika LFG turun di bawah 30 ml/menit ,

Hilangnya fungsi ginjal  mengakibatkan  berkurangnya kemampuan tubulus untuk  memanfaatkan amonia dalam mengekskresikan  sekitar 1 mmol/kgberatbadan hidrogen yang diproduksi setiap  hari pada keadaan fisiologis,

gejala tanda  gangguan sistem gastrointestinal  pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis tampak dari adanya   keluhan muntah  mual,  dan tidak nafsu makan, Mual dan muntah  pada pasien  penyakit ginjal kronik mungkin  karena gastroparesis atau keterlambatan  pengosongan lambung,

Anoreksia yang terjadi pada pasien penyakit ginjal kronik  mungkin   akibat efek ureum yang menumpuk, sebagian besar pasien tidak  mengalami anoreksia,   itu sesuai dengan  penelitian lain yang mendapatkan bahwa semakin 

lama hemodialisis dijalani maka semakin tinggi  kejadian anoreksianya.sebab sebagian  besar  merupakan pasien yang menjalani  hemodialisis belum cukup lama yaitu selama kurang  dari tiga bulan ,

pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis  mengalami   insomnia, dimana mekanismenya adalah peningkatan  osteodistrofi ginjal pada hemodialisis jangka lama  yang mengakibatkan nyeri pada anggota gerak, 

sehingga mengganggu tidur pasien pada malam  hari. tanda  kejadian anemia pada pasien  penyakit ginjal kronik, yaitu adanya   lemah, letih,  lesu,  konjungtiva  anemis,  penurunan  hemoglobin,  memiliki kadar hemoglobin  (Hb) kurang dari 7 g/dl,  kadar Hb terbanyak ialah  pada 7-10 g/dl, dimana nilai itu masih dikatakan anemia pada pasien penyakit ginjal kronik.  kadar Hb  rata-rata pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani   hemodialisis adalah 8,7 g/dl.27  ini menunjukkan  bahwa pasien yang diindikasikan transfusi darah (kadar Hb <7 g/dl pada pasien penyakit ginjal kronik) jumlahnya  sedikit. Pada pasien yang menjalani hemodialisis, target hemoglobin yang normal (7-8 g/dl) menurunkan 

kebutuhan transfusi darah,

 Penurunan  gizi pada pasien penyakit ginjal kronik  diakibatkan oleh rendahnya asupan makanan,  Rendahnya asupan makanan itu   disebabkan oleh gangguan gastrointestinal seperti   anoreksia , mual dan  muntah. pada  pasien penyakit ginjal kronik  terjadi penumpukan cairan  tubuh akibat berkurangnya fungsi ekskresi ginjal,  sehingga berat badan yang diukur saat itu tidaklah 

menggambarkan status gizi pasien yang sebenarnya.  pasien yang mengeluhkan gatal  (pruritus) mungkin dikarenakan gatal bukan menjadi  fokus utama dari hal yang dianggap mengganggu , pasien yang  menjalani hemodialisis mengalami pruritus sedang-berat. Pruritus sedikit lebih jarang terjadi pada pasien yang  baru memulai dialisis dibanding pasien yang telah  menjalani hemodialisis lebih dari 3 bulan, namun  ini  bukan dikarenakan pengaruh  dari hemodialisis ,

  Kejadian  kulit yang tampak kering pada pasien penyakit ginjal kronik 

disebabkan karena adanya penumpukan urea , Menjadi berkurang pada pasien yang  hemodialisis kemungkinan dikarenakan pengobatan  hemodialisis yang dilakukan. Ureum yang bertumpuk  karena terganggunya fungsi ginjal akan dikurangi  jumlahnya oleh mesin dialisat,

juga sudah mengalami komplikasi ensefalopati .uremikum, sementara pasien ini baru menjalani hemodialisis  selama 1 bulan, keterlambatan pengobatan  

dapat mengakibatkan kelemahan pada pasien itu , Komplikasi neurologis sering mempengaruhi  pasien penyakit ginjal kronik berupa gangguan pada pusat atau   perifer dan jarang terdeteksi  atau  terobati,Ensefalopati uremikum merupakan salah  satu  akibat uremia yang paling berat. .pengobatan dialisis mampu menginduksi kelainan terkait dialisis  dan mengatasi   komplikasi neurologis pada pasien,  komplikasi  neurologis yang dialami  pasien yang menjalani   hemodialisis, didapatkan  pasien  juga  mengalami  ensefalopati uremikum ,