Tampilkan postingan dengan label saraf. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label saraf. Tampilkan semua postingan

Selasa, 17 Juli 2018

saraf

gangguan Saraf

gangguan Saraf 

Trigeminal neuralgia adalah  penyakit gangguan  saraf trigeminal, yaitu gangguan   saraf di wajah hingga ke otak,seseorang  yang memiliki  trigeminal neuralgia akan kerap   wajahnya terasa seperti terkena sengatan listrik atau   ditusuk-tusuk, sakit mulai  terasa dari bagian rahang hingga dahi, timbulnya  nyeri saraf dapat  dipicu oleh sentuhan, seperti ketika  ingin  memakai make-up atau menyikat gigi ,bila dilihat, wajah seseorang   yang memiliki  penyakit gangguan  saraf trigeminal,  tampak sehat sehat saja  seperti tidak mengalami apa apa,   apalagi, hingga sekarang  ini belum ada obat yang mampu  mengatasi trigeminal neuralgia,seseorang yang mengalami penyakit ini hanya disarankan mengkonsumsi obat penghilang rasa sakit dan mengikuti  terapi ozon guna  mengurangi rasa sakit,



GANGGUAN NATRIUM PADA PASIEN BEDAH SARAF

Mekanisme kendali homeostasis dari badan bisa  mengalami gangguan pada kondisi trauma akut  otak, kraniotomi maupun komplikasi sistemik dari kondisi yang lain,  ini disebabkan karena susunan saraf pusat (SSP)  berperan  dalam meregulasi natrium dalam darah dan homeostasis kadar  air, maka  pasien dengan permasalahan pascabedah otak atau neurologik  akan cenderung mengalami  permasalahan keseimbangan elektrolit dan  cairan , penyebab kelainan elektrolit karena lesi neurologik yang  terjadi pada SSP juga  tindakan pembedahan atau  iatrogenik, obat-obatan , pemberian cairan mannitol,pemberian cairan intravena,  pemberian cairan diuretik, pemberian cairan steroid , tindakan perawatan post operasi di  intensive care unit (ICU),  tindakan medik, 
 kelainan  elektrolit natrium yang terjadi pada pasien bedah saraf dan apabila tidak segera ditangani  dengan cepat akan bisa mengakibatkan  secondary 
brain injury yang  bisa mengancam jiwa,  jika  kelainan elektrolitnya sangat ekstrim,
 Kelainan elektrolit  yang  terjadi pada pasien bedah saraf yaitu  hiponatremia, dengan tingkat kejadian sekitar 10  sampai  50%. kondisi ini biasanya terjadi pada  operasi tumor hipofise, subarachnoid hemorrhage (SAH) dan  cedera otak  traumatik (COT)  ,
diagnosa banding untuk kelainan kadar natrium  dalam darah cukup banyak dan  sulit, karena kelainan kadar natrium dalam darah ini  bisa terjadi pada banyak penyakit yang  mungkin mempunyai tanda dan gejala yang  hampir mirip walaupun mempunyai patofisiologi .yang berbeda, seperti  Cerebral/
Renal Salt Wasting Syndrome (C/RSWS)  Diabetes Insipidus (DI),Syndrome of Inappropriate Anti Diuretic Hormone (SIADH), 
 hampir 62% pasien bedah  saraf dengan hiponatremia (kadar natrium <135 
mmol/L) disebabkan karena SIADH, sedangkan  sisanya 4,8% karena CSWS,16,6% karena penggunaan obat–obatan  , Diabetes insipidus (DI) 
merupakan kondisi hipernatremia (kadar natrium > 145 mmol/L)yang paling sering timbul pada tahap  akut sesudah dilakukan  bedah saraf,  Diabetes 
insipidus (DI) terjadi  3,8 % pada pasien  bedah saraf,  Dari total 3,8%  masalah Diabetes insipidus  , sepertiga  masalah  berhubungan dengan SAH, sepertiga lagi  karena TBI dan sekitar seperenam dari total  masalah  Diabetes insipidus  disebabkan intra cerebral hemorrhage  (ICH) dan operasi tumor hipofise, 
Kelainan    transien dan kebanyakan pasien mengalami   Gangguan Natrium pada Pasien Bedah Saraf ([Na]×2)+(BUN/2.8)+(kadar glukosa darah/18).
menjaga kadar natrium dalam darahnya dengan  cara peroral, Hipernatremia hanya terjadi jika penggantian cairan tidak mencukupi untuk  mengganti cairan yang hilang. Risiko terjadinya  ketidakcukupan penggantian cairan itu tinggi 
pada pasien yang mengalami penurunan kesadaran dan  kelainan kognitif ,
 
KESEIMBANGAN CAIRAN BADAN
Air merupakan komponen utama dari badan  manusia, Total air di dalam badan (Total Body  Water/TBW) sekitar 45% sampai  60% dari berat  badan, Dari 60% itu dibagi menjadi cairan  cairan intraseluler (Intra Cellular Fluid/ICF) dan ekstraselular (Extra Cellular Fluid/ECF) , 
Cairan intraseluler terdiri dari dua  pertiga TBW .dan menyumbang hingga sekitar 40% dari berat .badan, dan sisa sepertiga dari TBW terdiri dari  ECF, yaitu sekitar 20% dari berat badan, ECF meliputi cairan transelular (yang terkandung dalam  rongga badan tertentu),cairan intravaskuler dan  cairan interstitial, 
 Air bergerak antara ICF  dan ECF tergantung pada jumlah zat terlarut  yang terkandung dalam kompartemen ICF dan  ECF, Pergerakan ini terus terjadi hingga tercapai  kondisi keseimbangan antara dua kompartemen  cairan itu . Pengukuran tingkat kekentalan  cairan (kandungan zat terlarut) ini dinamakan
osmolalitas dan  dipakai bergantian  dengan tonisitas. Osmolalitas cairan badan dan  cairan isotonik adalah  280 sampai 300 mOsm/ kg, 
 kadar  osmolalitas dalam darah yang normal antara 275 sampai  290 mOsmol/kg. Kadar osmolalitas dalam darah  bisa diukur dengan rumus:
([Na]×2)+(BUN/2.8)+(kadar glukosa darah/18)
Hipovolemia  merupakan  hasil akhir dari ketidakmampuan badan untuk
mengatur asupan air  misalnya, cairan badan terkonsentrasi karena pemberian 
nutrisi enteral atau hilangnya  mekanisme haus dari seorang pasien 
Hipovolemia, didefinisikan sebagai defisit dari  ECF,  ini  akibat dari 
penurunan volume air, dengan atau tanpa defisit  elektrolit. 
hipervolemia  sebagai ekspansi dari  volume ECF,  terjadi karena komplikasi pascaoperasi, pergeseran cairan interstitial plasma, perubahan fungsi ginjal, pemberian cairan yang berlebihan, 
Tanda-tanda patognomonik  hipovolemia termasuk penurunan turgor kulit, penurunan  kadar natrium urin (<15 mEq/L), haus, pusing, hipotensi, dan takikardia, 
Hipovolemia sering  terjadi  sesudah operasi dan tindakan anestesi, .itu terjadi karena pemberian cairan   selama operasi yang masih kurang,  Apabila 
kondisi ini dibiarkan, bisa menyebabkan  peningkatan kepekatan urin bahkan hingga anuria  yang disebabkan oleh pelepasan Anti Diuretic Hormone (ADH) yang berefek pada ginjal,
saat  normal, regulasi osmolaritas dari  plasma diatur oleh sensor rasa  haus dan  sekresi hormon anti Diuretic  Arginin Vasopressin (AVP)  yang akan menimbulkan pengaruh berbentuk  masuknya cairan ke dalam badan, Pelepasan AVP terjadi dengan cepat sesudah  stimulasi osmoreseptor. Arginine vasopressin  plasma berikatan dengan reseptor V2 pada duktus kolektifus tubulus renalis, menstimulasi  kaskade intraselular yang menyebabkan  migrasi vesicle-bound aquaporin-2 (VBA-2)  ke membran luminal pada duktus kolektifus,ini menjadikan sel-sel duktus kolektivus  menjadi permeabel terhadap air, sehingga  menyebabkan reabsorbsi air dari urin ke dalam  darah dan konsentrasi urin menjadi bertambah. secara simultan akan terjadi rangsangan 
terhadap pusat rasa haus di korteks serebri, yang  berakibat pada pemasukan cairan melalui minum, mekanisme itu memicu  peningkatan cairan pada plasma dan normalilsasi  osmolaritas dari plasma, mekanisme regulasi ini 
mengatur keseimbangan molaritas dari plasma,
Perubahan  osmolalitas plasma dideteksi oleh neuron,   yang pada spesies mamalia terletak  pada organ sirkumventrikular di hipotalamus  anterior. saat  osmolalitas plasma meningkat,  neuron ini terdepolarisasi , melalui nucleus 
medianus, menstimulasi pembentukan AVP  pada neuron magnoseluler paraventrikular ,  nuclei supraoptikal dan neuron parvoselular .dari nukeus paraventrikuler. Arginine  vasopressin kemudian dipindahkan ke granular 
neurosekretori menuju ke tangkai hipofisis,  untuk disimpan di kelenjar hipofisis posterior,  dan sebagian disekresi ke sirkulasi sistemik. .
Pada  bedah saraf gangguan  keseimbangan cairan berhubungan dengan 
peningkatan produksi AVP, yang berakibat pada  peningkatan ekskresi retensi terhadap cairan dan  Syndrome of Inappropriate Antidiuretic Hormon 
Secretion (SIADH) maupun Diabetes Insipidus (DI).



Gambar 1. Regulasi Normal Keseimbangan Cairan 
dan Elektrolit.

SYNDROME OF INAPPROPRIATE ANTIDIURETIC HORMONE 
SECRETION (SIADH)
Kelainan neurologik  berhubungan  dengan SIADH meliputi infeksi sistim saraf pusat,vaskulitis serebral atau trombosis perdarahan intrakranial, cedera otak, neoplasma  otak, aneurisma, Subdural Hemorrhage (SDH), SAH, COT ,narkotika  juga bisa menginduksi pelepasan ADH, Stimulus  fisiologis ADH seperti hipovolemia ,stress, nyeri, nausea,  
Syndrome of inappropriate antidiuretic hormone  secretion (SIADH) merupakan kondisi .hiponatremia hipotonik yang  disebabkan oleh  pelepasan ADH yang berlebihan diikuti dengan  penyerapan  air. Pasien dengan SIADH berada 
dalam kondisi water-expanded tetapi   tidak menunjukkan gejala ekspansi volume  intravaskuler,  ini disebabkan karena dua  pertiga dari total air yang mengalami retensi  tetapi berada didalam kompartemen intraseluler, 
diagnosa SIADH  berdasarkan adanya  eksklusi  dari hipoadrenalisme dan  hipotiroidisme, hiponatremia, hipo-osmolalitas, peningkatan  osmolalitas urin yang tidak sesuai, 


GANGGUAN KESEIMBANGAN ELEKTROLIT  NATRIUM
 fungsi  elektrolit natrium merupakan kation dengan ,konsentrasi yang tinggi di ekstraselular di dalam  badan dan berperan  dalam meregulisasi volume intraselular dan ekstraselular  dalam badan,  natrium sebagai kation 
mayor yang menentukan kadar osmolalitas dalam darah sehingga terjadinya regulasi pengaliran  cairan dari satu kompartmen ke kompartemen 
yang lain dengan kadar osmolalitas yang lebih  rendah sehingga tercapainya hemostasis, 
peran elektrolit natrium natrium merupakan kation primer cairan  ekstraseluler dan merupakan komponen  yang penting pada gradien elektrokimia yang  berperan pada konduksi saraf dan fungsi seluler. natrium merupakan osmol utama  dalam darah yang berperan penting dalam  penentuan volume cairan ekstraseluler.

HIPONATREMIA
gejala  hiponatremia ,antaralain letargi, kejang,sakit kepala, mual, muntah, 
kram otot, hiponatremia terjadi apabila konsentrasi  natrium serum kurang dari 135 mmol/L,
Penyebab  hiponatremia pada  pasien bedah saraf seperti  adanya defisiensi  Adreno Corticotropic Hormone (ACTH) dan penggunaan cairan  yang kurang tepat ,
 Syndrome of inappropriate  antidiuretic hormone secretion dan cerebral 
salt wasting (CSW) merupakan dua penyebab  potensial terjadinya hiponatremia pada pasien  dengan gangguan atau kelainan pada sistim 
saraf pusat, Hiponatremia  berat akut  menyebabkan edema serebral  dan lebih lanjut bisa menyebabkan koma  hingga  henti nafas,
 diagnosa  dengan hiponatremia yaitu  pemeriksaan ulang  dari  tonisitas serum, menilai status volume badan dan urin,melihat osmolalitas urin ,




Gambar 2. Pendekatan dan Manajemen Hiponatremia 



CEREBRAL SALT WASTING SYNDROME (CSWS)
pada  tahun 1950  peter  pertama kali menemukan  Cerebral salt wasting syndrome  pada pasien bedah saraf dengan gejala mempunyai fungsi  aksis hipotalamus-hipofise-adrenal normal, hiponatremia, penurunan volume badan karena  diuresis dan natriuresis , Cerebral salt wasting syndrome merupakan  kondisi natriuresis primer yang terjadi pada  pasien dengan gangguan neurologik ,   ini  menyebabkan keseimbangan negatif dari natrium  dan deplesi volume, Cerebral salt wasting syndrome (CSWS)  yaitu kelainan hiponatremia yang   jarang  pada pasien bedah saraf, Kelainan ini hanya sekitar 5 sampai 6,5 % dari  hiponatremia pada pasien bedah saraf,  berbeda dengan SIADH yang bertanggungjawab  hampir 60 sampai  70 % hiponatremia pada kasus kasus 
bedah saraf, 
Penyebabnya mungkin berhubungan dengan faktor circulating natriuretik 
atau penurunan input simpatetik pada ginjal  atau  keduanya, Penentuan  terhadap volume  cairan ekstraseluler  untuk membedakan SIADH dan CSWS.
cara mengatasi  hiponatremia pada pasien  bedah saraf adalah dengan  mengetahui penyebab  yang mendasari kelainan itu, Penilaian  status volume pada pasien kadang-kadang  sulit dilakukan. Parameter klinis mayor seperti 
tekanan darah sulit untuk dijadikan patokan status  volume. Hipotensi mungkin sekunder karena  sepsis atau defisiensi glukokortikoid bukan  hipovolemi,
Pemeriksaan kadar kortisol bisa menyingkirkan  penyebab defisiensi ACTH, 
 Pengukuran tekanan  vena pusat mungkin pilihan yang paling baik, 
 Tekanan darah bisa meningkat  karena pemberian inotropik , peningkatan tekanan intrakranial pada status  volume yang masih defisit atau  resusitasi cairan,
Pemeriksaan sesuai  parameter  bisa menegakkan diagnosa SIADH dan CSWS, Peningkatan asupan cairan yang tidak normal , SIADH  dan hipervolumia secara umum membutuhkan  restriksi cairan,  kelainan lain seperti  CSW membutuhkan koreksi penggantian pada  natrium dan pengembalian status hidrasi dari  pasien. Kecepatan koreksi hiponatremia harus  disesuaikan dengan tanda dan gejala hiponatremia  yang timbul,  rekomendasinya 
adalah peningkatan kadar natrium 0,5 mmol/L  per jam dengan total peningkatan maksimum  dalam 24 jam adalah 10 sampai 12 mmol/L, Dari 
literatur lain dituliskan peningkatan yang aman  dalam rentang 8 sampai 12 meq perhari. bila  pasien  mengalami gejala kejang dan hiponatremianya 
terjadi secara akut yang menyebabkan edema  serebri, maka pemberian normal salin (NS)  hipertonik sebaiknya diberikan selama 2 hingga  4 jam dengan target peningkatan kadar natrium  1,5 sampai  2,0 mmol/L/jam,  Defisit kadar natrium dalam  darah bisa dihitung dengan rumus (0,6x berat  badan (BB) x{Kadar natrium yang diinginkan  kadar natrium sekarang}). Karena penurunan 
cairan intravaskuler harus dihindari pada pasien  dengan trauma neurologik, maka pemeliharaan  dengan saline hipertonik bisa dipakai, Tindakan pemberian saline hipertonik ini bukan  tanpa efek samping dan sebaiknya diberikan 
hanya pada unit khusus dengan monitoring  yang ketat oleh tenaga yang berpengalaman,  Jika kadar natrium dikoreksi terlalu cepat  bisa terjadi  kematian, paresis, central pontine myelinolysis, dysarthria, dysphagia, Pada pasien dengan SIADH, pilihan terapinya  yaitu  restriksi cairan (750 sampai 1200 ml/hari), Untuk SIADH yang kronis, bisa diberikan  demeclocycline 2 x 150 sampai 300 mg,  Demeclocycline  bisa dipakai karena ini bisa mempengaruhi 
aksi ADH di tubulus kolektivus di ginjal, Demeclocycline ini mempunyai onset dan  durasi yang sulit diduga. Obat ini juga bersifat  nefrotoksik dan menyebabkan kulit menjadi  fotosensitif, Terapi lain bisa dipakai  yaitu  fludrocortisone dan loop diuretik,  Obat lain yang bisa dipakai  yaitu VAPTAN, yang merupakan vasopressin  reseptor antagonis, 
HIPERNATREMIA
Hipernatremia kebanyakan merupakan hasil  dari pemberian larutan saline hipertonik (NaHCO 7,5%  atau  NaCl  3% ) yang berlebihan, pasien dengan hiperaldosteronisme primer dan  sindroma cushing bisa mengalami sedikit 
peningkatan konsentrasi natrium serum sejalan  dengan peningkatan retensi natrium, manifestasi  neurologik yang dominan pada pasien dengan 
hipernatremia biasanya diakibatkan oleh  dehidrasi selular seperti  hiperrefleksi ,kelemahan otot dan letargi  yang bisa berlanjut menjadi koma, kejang, bahkan kematian,  gejala ini  berhubungan dengan perpindahan air  keluar sel otak karena kadar absolut natrium  yang tinggi di intravaskuler,  penurunan cepat 
dari volume otak bisa menyebabkan ruptur  vena cerebral dan menyebabkan perdarahan  fokal intraserebral atau subaraknoid, kejang  dan kerusakan neurologik  bisa terjadi,  terutama pada anak dengan hipernatremia akut 
ketika kadar natrium plasma melebihi 158mEq/L, hipernatremia kronik  lebih bisa  ditoleransi dibandingkan hipernatremia akut,
DIABETES INSIPIDUS (DI) PUSAT 
  kriteria diagnosa ,antaralain : 
Tipe klinis dari perjalanan  diabetes insipidus  ada 3, yaitu: 
transien, permanen atau trifasik,  Pada tipe  transient, diabetes insipidus  terjadi pada 24 hingga 48 jam  pascaoperasi atau trauma, yang selanjutnya akan 
terjadi penurunan gejala secara bertahap,  Transien  diabetes insipidus  dan fase 1 dari tipe trifasik diakibatkan oleh  gangguan sementara terhadap produksi AVP,  Pada tipe ini, transien  diabetes insipidus  , akan membaik ketika 
fungsi neuron mulai normal kembali. Pada  tipe trifasik, fase pertama terjadi diabetes insipidus  yang akan  menurun pada hari ke 5 dan hari ke 7, selanjutnya 
gejala berubah ke arah SIADH selama 2 hingga  14 hari. Pada fase ketiga dari tipe trifasik bisa  mengarah ke kondisi kronis tetapi kondisi ini jarang terjadi, Onset  diabetes insipidus  jarang  terjadi pada  24 jam pertama sesudah operasi,  Walaupun   ini bisa terjadi hingga 11 hari sesudah operasi,  Diabetes insipidus ini biasanya transien dan  bisa disebabkan oleh luka kecil pada posterior 
hipofise. Separuh dari diabetes insipidus  akan mengalami resolusi sempurna sesudah dua minggu,  untuk  Diabetes Insipidus dipakai  penggantian cairan dan pemberian vasopressin  intranasal/parenteral, Penggantian dalam cairan seharusnya bisa dititrasi hingga kadar natrium menurun 1 sampai 2 mmol/
jam jika terjadi akut hipernatremia dengan tanda  tanda kejang dan kadar natrium >160 mmol/L,  Kadar natrium seharusnya dikoreksi lebih lambat 
(0.5 mmol/L) bila  hipernatremianya kronis dan  asimptomatik,  Untuk defisit cairannya bisa  dihitung dengan rumus, defisit cairan = ({kadar  Natrium sekarang–140} x BB x 0.6 )/140,  Cairan  yang diberikan bisa berbentuk D5,NaCl atau  Ringer Laktat ,  Jika diberikan cairan mengandung  glukosa, pemberian insulin dan kalium mungkin  bisa dipertimbangkan,  DDAVP (desmopresin), 
merupakan asam amino pengganti dari ADH, mengurangi produksi urin dan mempermudah  terapi cairan,  Penggunaan DDAVP sebaiknya  hanya diberikan pada   Diabetes Insipidus   yang berat atau menetap  sesudah hari ketiga,  
kurang dari 2% pasien  Diabetes Insipidus yang membutuhkan  DDAVP sesudah 10 hari pascaoperasi , DDAVP  diberikan dengan dosis 0.4 sampai 1 mikrogram 
intravena dan durasinya 8 sampai 12 jam,
diabetes insipidus (DI) pusat merupakan  kegagalan dari proses homeostasis ADH yang  berkaitan dengan disfungsi aksis hipotalamushipofise,  Karakteristik dari   diabetes insipidus  pusat seperti kadar serum natrium (>145 mmol/L) ,tidak adanya kelainan intrarenal, poliuria (>3L/hari), dilusi urin (<350 mmol/kg)  dan peningkatan osmolaritas plasma (>305 mmol/kg) ,
Berat jenis  urin kurang dari 1,005 dengan peningkatan kadar  natrium bisa mengarah ke   diabetes insipidus  pusat,  ini  terdapat  di ICU sesudah tindakan operasi .hipofise (kejadiannya sekitar 18 sampai 38%), SAH, COT dan pasien yang sudah mati batang otak, beberapa kriteria diagnosa untuk  diabetes insipidus  pada pasien  bedah saraf sudah banyak dikemukakan, sesudah menyingkirkan faktor  penyebab lain terjadinya poliuria, karena kondisi  hiperglikemia yang diakibatkan oleh pengobatan  steroid atau pengaruh terapi diuretik, maka  diagnosa  diabetes insipidus didasarkan pada natrium plasma ≥ 
145 mmol/L, hipotonik poliuria (osmolaritas urin  300 mOsm/kg), produksi urin 300cc/jam dalam  2 jam berturut-turut atau 3 L/hari, 



Gambar 3 Patofisiologi terjadinya CSWS


Tabel 4. Manajemen  Diabetes Insipidus  Pascaoperasi,
MONITORING
• Osmolalitas urin atau berat jenis urin setiap 4 hingga 6 jam, hingga dibisakan
• [Na+] serum setiap 4 hingga 6 jam, hingga stabil atau membaik
• Pencatatan asupan dan pengeluaran cairan secara rinci
TERAPI HORMON ANTIDIURETIK
• Dosis bisa diulang jika jumlah urin yang dikeluarkan 200 mL hingga 250 mL per jam selama lebih  dari atau sama dengan 2 jam, dengan berat jenis urin kurang dari 1,005 atau osmolalitas kurang dari 200  mOsm/kg H2O
• Desmopressin, dosis awal 1 hingga 2 µg intravena atau subkutan
PEMELIHARAAN KESEIMBANGAN CAIRAN
• Suplementasi cairan hipotonik intravena (D5W atau D51/2NSS) jika pasin tidak mampu untuk  mempertahankan osmolalitas plasma yang normal dan [Na+] serum dengan minum
• Memperbolehkan pasien untuk minum jika merasa haus
PENGAWASAN  DIABETES INSIPIDUS   TRANSIEN ATAU RESPON TRIFASIK
• Keseimbangan cairan positif lebih dari 2 L menunjukkan kemungkinan antidiuresis yang kurang adekuat
• Terapi hormon antidiuretik diberikan dan restriksi cairan dilakukan untuk mempertahankan [Na+] dalam  batas normal
MANAJEMEN INSUFISIENSI HIPOFISE ANTERIOR
• Berikan dosis besar kortikosteroid (hidrokortison 100 mg intravena setiap 8 jam, kurangi dosis 15 mg  hingga 30 mg per oral per hari hingga fungsi hipofise anterior bisa dievaluasi menyeluruh




dengan mengabaikan  kemungkinan  diuresis osmotik atau kelebihan cairan
DATA LABORATORIUM
-Osmolalitas serum normal atau meningkat
- [Na+] serum lebih besar atau sama dengan 145 miliequivalen/L disertai diuresis berkelanjutan dengan  urin hipotonik
-Dilusi urin (berat jenis kurang dari 1,005, osmolalitas urin kurang dri 200 mOsm/kg H2O
TANDA DAN GEJALA KLINIS
-Polidipsi, terutama cairan dingin,
-Dengan/tanpa hipovolemia, bergantung pada intak atau tidaknya mekanisme haus,
- Poliuria, volume besar (4L/hari‒8 L/hari), dengan onset mendadak, biasanya dalam 24-48 jam pasca  operasi,



Kriteria utama dan tambahan untuk  diagnosa hiponatremia sekunder karena SIADH. Kriteria  diagnosa ini  dipakai sebagai konfirmasi diagnosa hiponatremia sekunder karena SIADH.
KRITERIA DIAGNOSA UTAMA SIADH
1.Fungsi tiroid dan adrenal normal, ditentukan melalui penilaian klinis dan laboratorium
2. Tidak mengkonsumsi agen diuretik dalam 1 minggu sebelum pemeriksaan
3. Klinis euvolemia:
- Tidak ada  tanda klinis ekspansi cairan ekstraselular (tidak ada  edema atau 
 asites)
- Tidak ada  tanda klinis penurunan cairan ekstraselular ( tidak ada  ortostasisa, 
 takikardi, penurunan turgor kulit atau kekeringan membran mukosa)
4. [Na+] urin >40 mmol/L dengan asupan natrium normal
5. Penurunan osmolalitas serum (<275 mOsm/kg H2O)
6. Osmolalitas urin >100 mOsm/kg H2O selama kondisi hipo-osmolalitas



KRITERIA DIAGNOSA TAMBAHAN SIADH
1. Perbaikan kondisi hiponatremia dengan restriksi cairan
-Ekskresi natrium fraksional = (ekskresi natrium urin/natrium serum)/(kreatinin urin/kreatinin serum) 
x 100; Ekskresi urea fraksional = (urea urin/ urea serum)/(kreatinin urin/kreatinin serum) x 100.
-. Walaupun peningkatan ekskresi natrium biasanya terjadi pada penderita SIADH, kondisi ini tidak  bisa mengkonfirmasi diagnosa; [Na+] juga ada  pada penderita Addison’s disease, Sebaliknya, pada beberapa penderita SIADH, [Na+] bisa rendah apabila terjadi kondisi hipovolemia  atau penurunan jumlah solute, yang biasanya terjadi pada tindakan restriksi cairan dan natrium.
-. Perubahan ortostatik pada tekanan darah dan nadi didefinisikan sebagai terjadinya penurunan tekanan  sistolik tekanan darah ≥20 mmHg dan/atau peningkatan nadi ≥20 kali/menit pada saat perubahan  posisi supine ke berdiri,
2. Asam urat serum <4 mg/dL (<0,24 mmol/L)
3.Kadar urea nitrogen darah <10 mg/dL (<3,57 mmol/L)
4.Ekskresi natrium fraksional >1%; ekskresi urea fraksional >55%
5.Tidak adanya perbaikan atau bertambah buruknya kondisi hiponatremia sesudah pemberian larutan  salin 0,9%