GANGGUAN KALIUM (K) DAN KATION NATRIUM (NA) PADA PASIEN PENYAKIT GINJAL
Gangguan kalium (K) dan Kation natrium (Na) harus diatasi segera karena dapat mempengaruhi sistem kardiovaskular tubuh dan memicu kerusakan sel ,gangguan pada sistem kardiovaskular dapat memicu morbiditas dan mortalitas pada pasien penyakit ginjal terminal,
kalium (K) dan Kation natrium (Na) adalah elektrolit atau kation yang langsung mempengaruhi fungsi normal dari sel,kalium diperlukan untuk fungsi normal seluruh sel, terutama otot rangka ,otot intestinal ,otot jantung,kalium penting untuk fungsi otak yang menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit, mengatur neuromuskular, fungsi kardiak atau jantung yang mengatur kontraktilitas dan ritme ,
elektrolit yang dijaga keseimbangannya di dalam tubuh antaralain :
fosfat, klorida , natrium, kalium, kalsium dan magnesium,
normalnya setiap nefron ginjal bekerja mengekskresikan, menyaring dan menyerap ulang air dan zat terlarut ,ginjal adalah regulator utama untuk
menjaga keseimbangan asam basa dan elektrolit ,Ketidakseimbangan kalium dipengaruhi oleh penggunaan obat obatan seperti kortikosteroid , diuretik, Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor, Angiotensin Receptor Blocker. Dengan fungsi ginjal yang tidak normal dan pengunaan obat yang dapat mempengaruhi kadar kalium maka dapat memperparah keseimbangan kalium di dalam tubuh, hipokalemia dan atau hiperkalemia memicu aritmia,gangguan pada jantung, gagal jantung hingga henti jantung bila tidak diobati,
kadar kalium normal yaitu 3.5 sampai 5.3 mmol/L, Ginjal berperan dalam mengatur keseimbangan kalium dengan menyerap ulang kalium yang disaring pada tubulus proksimal, jika ginjal mengalami penurunan fungsi maka akan
terjadi perubahan pada mekanisme homeostatis normal yang menjaga keseimbangan kalium, Akibatnya akan timbul hiperkalemia atau hipokalemia ,
hemodialisis (HD) merupakan layanan yang paling banyak diberikan oleh
unit renal dibandingkan dengan transplantasi ginjal dan dialisis peritoneal ,
kadar natrium serum dijaga oleh umpan balik yang melibatkan hipotalamus, ginjal dan kelenjar adrenal , natrium merupakan elektrolit yang penting bagi tubuh, natrium berfungsi menjaga konsentrasi dan volume cairan ekstraselular dan untuk aktivitas osmotik plasma,fungsi ginjal yang tidak normal dan pemakaian obat yang mempengaruhi kadar natrium maka dapat memperparah keseimbangan natrium di dalam tubuh,
ketidakseimbangan natrium juga dipengaruhi oleh penggunaan obat seperti
kortikosteroid, diuretik, Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor dan Angiotensin Receptor Blocker, ketidakseimbangan kadar natrium serum memicu hipernatremia dan hiponatremia , saat penurunan fungsi ginjal terjadi maka keseimbangan elektrolit dan cairan tidak terjaga ,
hipernatremia dan hiponatremia dapat memicu seizure, koma, hingga kematian ,
Kriteria sampel pasien ,antaralain:
Kriteria eksklusi adalah pasien penyakit ginjal terminal yang pada kondisi pradialisis tidak mempunyai data pengukuran terhadap kadar Na dan K,
Kriteria inklusi adalah pasien penyakit ginjal terminal yang pada kondisi pradialisis ada data pengukuran terhadap kadar Na dan K,
pemeriksaan statistik dengan uji fisher exact dilakukan untuk menguji pengaruh penggunaan obat Angiotensin Receptor Blocker dan Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor terhadap gangguan kalium dan natrium , pasien pasien yang menjalani hemodialisis di Unit Hemodialisis ,
penelusuran rekam medik pasien pengukuran kadar natrium dan kadar kalium pada kondisi pradialisis, Pasien penyakit ginjal terminal yang mempunyai hasil laboratorium pengukuran kadar Na dan K pada kondisi pradialisis paling banyak pada usia 46 sampai 55 tahun , dan lebih banyak diderita oleh pasien pasien laki laki. Prevalensi Penyakit Ginjal Kronis (penyakit ginjal kronik) lebih tinggi dengan adanya jenis kelamin lakilaki , ras kulit hitam, peningkatan usia, Peningkatan usia memicu fungsi ginjal menurun ini dikarenakan jumlah jaringan pada ginjal menurun, jumlah nefron (unit penyaring) menurun dimana
nefron menyaring produk buangan dari darah, juga pembuluh darah yang menyuplai ginjal mengeras sehingga memicu penyaringan oleh ginjal menjadi lambat, Prevalensi pasien laki laki lebih tinggi dibandingkan pasien wanita karena estrogen yang ada pada wanita mempunyai sifat antioksidan yang poten terhadap stress oksidatif sehingga dapat memberikan perlindungan terhadap ginjal , sedang testosteron pada pasien laki laki menstimulasi aktivasi Sistem Renin Angiotensin Aldosteron (Sistem Renin Angiotensin Aldosteron), mengakibatkan stress oksidatif juga memicu inflamasi yang memperburuk progresifitas penyakit ginjal,
pasien mempunyai nilai eGFR < 15 mL/min/1.73m2 yang berarti kondisi pasien masuk pada kelompok penyakit ginjal terminal, pemicu terjadinya penyakit ginjal kronis diantaranya adalah penyakit glomerulonefritis, diabetes mellitus dan hipertensi,
diabetes mellitus dan hipertensi adalah penyakit yang paling umum memicu penyakit ginjal kronik, hipertensi merupakan penyakit paling banyak yang dialami pasien sebelum didiagnosa menderita penyakit ginjal terminal,
Hipertensi meningkatkan resiko Penyakit Ginjal Kronis karena ginjal
mempunyai peran dalam pengaturan tekanan darah, Peningkatan tekanan darah juga dapat meningkatkan resiko perkembangan Penyakit Ginjal Kronis pada pasien, ini dikarenakan tekanan darah yang tinggi dapat merusak pembuluh darah tubuh yang dapat menurunkan suplai darah ke organ vital
termasuk ginjal, Tekanan darah yang tinggi dapat merusak unit penyaring ginjal. Akibatnya ginjal gagal mengeksresikan produk buangan dan kelebihan cairan di dalam tubuh, Kelebihan cairan ini meningkatkan tekanan darah menjadi lebih tinggi lagi. Diabetes mellitus tipe 2 lebih banyak memicu penyakit ginjal kronik dibandingkan diabetes mellitus tipe 1 , Kadar Gula darah yang meningkat di dalam tubuh dapat memicu kerusakan organ termasuk ginjal, Kadar gula yang meningkat merusak pembuluh darah kecil ditubuh, jika pembuluh darah pada ginjal yang rusak maka ginjal tidak berfungsi, Diabetes juga dapat merusak saraf di tubuh, memicu kesulitan untuk mengosongkan kandung kemih, Tekanan yang dihasilkan dari kandung kemih yang penuh dan merusak ginjal ,
Faktor progresif pada Penyakit Ginjal Kronis antaralain : alkohol dan rokok ,
Rokok dapat menyempitkan pembuluh darah di ginjal sehingga dapat mempercepat penurunan fungsi ginjal ,meningkatkan denyut jantung dan tekanan darah ,menurunkan aliran darah ke ginjal dan meningkatkan produksi angiotensin II,
jumlah masukan air dan pelarutan juga konsentrasi urin akan mempengaruhi jumlah air yang dieksresikan oleh ginjal yang akhirnya juga memicu terjadinya
hipernatremia pada pasien penyakit ginjal kronis , prevalensi hiponatremia lebih banyak terjadi pada semua tingkat penyakit ginjal kronis dibandingkan hipernatremia , hiperkalemia terjadi ketika pengaturan antara keluaran (eksresi) dan masukan (intake) atau penyebaran kalium antara cairan ekstraselular dan intraselular terganggu, kalium di dalam tubuh paling banyak ada di dalam cairan intraselular dan hanya sedikit yang berada pada cairan ekstraselular,penyakit ginjal kronis dapat memicu ketidaknormalan masukan (intake) air melalui pengaruh sensasi rasa haus, perubahan sekresi ADH atau ketidaknormalan termasuk reseptor VP atau aquaporin pada duct pengumpul,
kelebihan atau kekurangan air memicu ketidaknormalan pelarutan atau konsentrasi cairan ekstraselular yang dapat diukur dengan perubahan kadar natrium yang dapat memicu terjadinya hipernatremia,
masukan (intake) kalium sebagian berasal dari makanan, makanan yang mempunyai kandungan kalium dengan konsentrasi besar ada pada buah dan sayuran, selain dari makanan masukan kalium juga dapat berasal dari suplemen seperti KCl, Suplemen ini diberikan pada pasien yang menerima pengobatan diuretik. Masukan (intake) kalium harian, akan meningkatkan serum kalium sekitar 1 mmol/L dengan kondisi fungsi ginjal normal,
Homeostasis kalium di ginjal dilakukan melalui proses eksresi, Pada kondisi normal 80 sampai 90% kalium dieliminasi melalui eksresi ginjal, Eliminasi ini diatur pada duct pengumpul , Walaupun kalium disaring oleh glomerulus, sekitar 90% diantaranya akan diserap ulang oleh lengkung henle dan tubulus proksimal ,
Hiperkalemia memicu efek samping yang dapat maupun sulit dideteksi ,
Sebagian besar dari dampaknya berhubungan dengan dampak kalium pada potensial membran selular , Potensial membran sel adalah rasio antara konsentrasi kalium di ekstraselular dan intraselular , sumbangan kalium pada potensial membran istirahat berhubungan dengan rasio kalium intra dan ekstraselular, dimana perubahan kecil pada kalium ekstraselular akan memicu perubahan besar pada rasionya dan dapat memicu perubahan besar pada
potensial membran istirahat. Potensial membran istirahat penting untuk semua sel elektrik aktif, termasuk otot voluntary , involuntary atau neuron,
Hiperkalemia terjadi bukan berhubungan dengan dengan penyebaran kalium antara kompartemen ekstraselular dan intraselular , tetapi terjadi karena gangguan eksresi di ginjal, ini terjadi akibat penurunan fungsi ginjal dimana jumlah nefron menurun atau ada gangguan pada laju sekresi di duct pengumpul ,
Hiponatremia memicu hipertensi intrakranial dan pembengkakan otak , ini dapat memicu komplikasi yang berbahaya seperti henti pernafasan ,kejang, koma yang dapat memicu kerusakan otak dan kematian,
dampak hiperkalemia yang paling menonjol adalah pada miokardium, Penurunan potensial membran istirahat akan menurunkan keccepatan konduksi sel miokardial dan peningkatan laju repolarisasi, Penurunan kecepatan konduksi memicu peningkatan pada interval PR dan lebar QRS pada EKG,
peningkatan laju repolarisasi memicu peningkatan dari tinggi gelombang T atau “peaked” T waves. Penurunan kecepatan konduksi terutama karena adanya peaked T waves akan memicu fibrilasi ventrikular dan dapat memicu kematian mendadak,
Hiperkalemia ringan berkaitan dengan peningkatan tinggi gelombang T, sedang hiperkalemia berat berkaitan dengan peningkatan interval PR dan perpanjangan interval QRS. Namun hubungan antara EKG dan kadar kalium
tergantung pada faktor seperti kecepatan perkembangan hiperkalemia dan sensitifitas,
Hiperkalemia dapat mempengaruhi sel yang lain di dalam tubuh, Otot skeletal adalah yang paling sensitif terhadap hiperkalemia dan memicu kelelahan dan kelemahan , Ini berkaitan pada pentingnya potensial membran untuk kontraksi normal otot skeletal,
Hiperkalemia juga dapat memicu depresi pernafasan yang parah ,
Penanganan hiponatremia pada pasien dapat dibenarkan dengan pemberian infus NaCl 3% pada saat pasien dirawat dirumah sakit.
perhitungan dampak infusan terhadap ion Na per 1 L larutan infuse adalah bahwa larutan infuse NaCl 3% dapat meningkatkan 13,0 mmol/L Na di dalam tubuh , Target peningkatan kadar Na adalah 6 sampai 8 mmol/L dalam 24 jam,
pasien yang mengalami hiponatremia lainnya tidak mendapatkan pengobatan dengan larutan infus NaCl 3% karena kondisi hiponatremianya digolongkan ringan hingga sedang. hanya sedikit pasien yang mendapatkan pengobatan dengan larutan infus NaCl 3 % yaitu pada pasien dengan kondisi hiponatremia berat, Obat yang dipakai diantaranya kalsium polistiren sulfonat, furosemid dan kalsium glukonat, obat Furosemid bekerja dengan menghambat penyerapan Na dan Cl pada lengkung henle , tubulus proksimal dan tubulus distal ,furosemid merupakan obat golongan diuretik,
obat furosemid memicu diuresis dan pengeluaran elektrolit diantaranya kalium, sehingga furosemid dapat dipakai untuk penanganan hiperkalemia ringan, dosis yang dipakai untuk penanganan hiperkalemia adalah 40 sampai 80 mg IV dengan onset 15 sampai 1 jam dengan lama dampak selama 4 jam ,
kalsium glukonat adalah obat dengan mekanisme antagonis dampak membran pada kardiak/jantung. obat ini mempengaruhi sistem konduksi dan repolarisasi miokardial. obat ini aktif pada pasien dengan kadar kalsium normal, kalsium glukonat diberikan secara intravena dengan dosis 10 sampai 20 ml dari 10% larutan selama 2 sampai 3 menit, dampak pada EKG dapat tercapai dalam 1 sampai 3 menit dan berlangsung selama 30 sampai 60 menit, Dosis kedua dapat diberikan jika tidak terjadi dampak apapun 5 sampai 10 menit. Karena onset terhadap dampaknya cepat, obat ini sebaiknya
diberikan pada pasien dengan ketidaknormalan EKG yang berhubungan dengan hiperkalemia ,
kalsium polistiren sulfonat adalah golongan resin penukar ion. obat ini bekerja dengan mengikat kalium di usus besar. ion kalsium dari obat ini akan bertukar dengan kalium di dalam tubuh. obat ini tidak masuk ke dalam aliran darah hanya akan keluar bersama kalium melalui feses, obat ini dapat memicu konstipasi dan diberikan dengan laksatif untuk pencegahan konstipasi,
obat ini dapat menurunkan kadar kalium sekitar 1 mmol/l selama 24 jam.
furosemid dan kalsium polistiren sulfonat dapat diberikan pada pasien hiperkalemia setelah kondisi stabil untuk pengobatan pemeliharaan, kalsium glukonat harus segera diberikan pada pasien yang menunjukkan gejala aritmia meskipun hasil laboratorium terhadap pengukuran kadar kalium belum diperoleh.
hipertensi merupakan salah satu penyakit yang menginisiasi penyakit ginjal kronis , salah satu golongan obat yang dipakai untuk penanganan
hipertensi pada pasien penyakit ginjal kronis adalah antihipertensi
penghambat sistem renin angiotensin aldosteron (sistem renin angiotensin aldosteron)
seperti angiotensin receptor blocker (angiotensin receptor blocker) dan golongan angiotensin converting enzyme inhibitor (angiotensin converting enzyme inhibitor) kedua antihipertensi ini dapat meningkatkan resiko terjadinya hiperkalemia dan hiponatremia karena mencegah
penyerapan ulang na dan menurunkan ekskresi kalium,
hasil pemeriksaan dengan uji statistik fisher exact menunjukkan bahwa pemakaian antihipertensi golongan angiotensin converting enzyme inhibitor dan angiotensin receptor blocker baik kombinasi atau tunggal tidak berpengaruh terhadap penurunan kadar natrium. namun jika dilihat dari jumlah pasien terlihat bahwa kejadian hiponatremia banyak muncul pada pasien yang memakai angiotensin receptor blocker, antihipertensi angiotensin converting enzyme inhibitor, maupun kombinasi keduanya dibandingkan pada pasien yang tidak mengonsumsi keduanya.
hasil pemeriksaan dengan uji statistik fisher exact menunjukkan bahwa penggunaan antihipertensi golongan angiotensin converting enzyme inhibitor dan angiotensin receptor blocker baik tunggal maupun kombinasi tidak berpengaruh terhadap peningkatan kadar kalium. namun jika diamati dari jumlah pasien terlihat bahwa insiden hiperkalemia banyak muncul
pada pasien yang memakai antihipertensi angiotensin converting enzyme inhibitor, angiotensin receptor blocker, maupun kombinasi keduanya dibandingkan pada pasien yang tidak mengonsumsi keduanya.
obat golongan sistem renin angiotensin aldosteron (sistem renin angiotensin aldosteron) berperan dalam pengaturan keseimbangan kalium dan natrium melalui dampak pada
aldosteron, Renin adalah enzim yang disintesis pada sel juxtaglomerular di ginjal yang mengubah angiotensinogen menjadi angiotensin I. Angiotensin I diubah menjadi angiotensin II oleh Angiotensin Converting Enzym, Aldosteron
disekresikan oleh kelenjar adrenal di ginjal di bawah pengaturan angiotensin II. Aldosteron dan angiotensin II meningkatkan penyerapan ulang air, meningkatkan penyerapan ulang Na dan meningkatkan eksresi K.
Obat golongan penghambat Sistem Renin Angiotensin Aldosteron dapat mengganggu keseimbangan Na dan K karena menghambat penyerapan ulang Na dan menurunkan eksresi K. Akibatnya dapat terjadi hiperkalemia dan hiponatremia ,
pengobatan yang melibatkan Sistem Renin Angiotensin Aldosteron dapat mengatasi gagal jantung ,diabetes, hipertensi, penyakit ginjal kronis,
Obat golongan penghambat Sistem Renin Angiotensin Aldosteron mengganggu keseimbangan Na dan K karena menghambat penyerapan ulang Na dan menurunkan ekskresi K ,
Obat golongan Sistem Renin Angiotensin Aldosteron seperti Angiotensin Receptor Blockers (Angiotensin Receptor Blocker) dan Angiotensin Converting Enzyme Inhibitors (Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor) meningkatkan resiko terjadinya hiponatremia dan hiperkalemia dengan mengganggu sekresi aldosteron yang diperantarai oleh angiotensin II, angiotensin II dan Aldosteron meningkatkan ekskresi K,meningkatkan penyerapan ulang air dan
meningkatkan penyerapan ulang Na ,
telah diteliti kejadian peningkatan kadar kalium serum pada pasien penyakit ginjal kronik dengan penggunaan obat Sistem Renin Angiotensin Aldosteron , Peningkatan serum kalium dinilai sangat
kecil sekitar < 0,3 mmol/L dan peningkatan ini tidak berhubungan dengan dengan dampak samping yang muncul. Penggunaan monoterapi Angiotensin Receptor Blocker dan Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor memicu peningkatan yang kecil terhadap kadar kalium serum bila dibandingkan dengan baseline sekitar <0,12 mmol/L dalam 10 minggu.
Peningkatan kadar serum kalium juga tinggi pada pasien penyakit ginjal kronik dengan pengobatan Angiotensin Receptor Blocker atau Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor dibandingkan dengan yang tidak diberi Angiotensin Receptor Blocker atau Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor ,
pemakaian kombinasi dua obat Angiotensin Receptor Blocker ,Sistem Renin Angiotensin Aldosteron dan Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor dapat meningkatkan resiko hiperkalemia dibandingkan monoterapi . Peningkatannya sekitar < 0,5 mmol/L,
Data berat badan dan hasil laboratorium pasien ada pada Tabel 22
sedang data mengenai nilai eGFR pasien ada pada Tabel 33 ,
data mengenai tingkat keparahan hiponatremia dan hiperkalemia ada pada Tabel 77 ,Pasien yang mengalami penurunan fungsi ginjal juga akan
mengalami gangguan terhadap keseimbangan elektrolit termasuk kalium (K) dan Kation natrium (Na) , Data mengenai gangguan Na dan K pada pasien ada pada Tabel 66,
Data penggunaan obat untuk menangani hiperkalemia ,ada pada Tabel 9 9. sedang data dosis obat ada pada Tabel 100,
Data riwayat penggunaan Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor & Angiotensin Receptor Blocker terhadap
gangguan kadar Na dapat dilihat pada Tabel 111
data pemeriksaan uji statistik memakai uji Fisher Exact
dapat dilihat pada Tabel 122. Data riwayat penggunaan Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor & Angiotensin Receptor Blocker terhadap
gangguan kadar K dapat dilihat pada Tabel 133. sedang
data pemeriksaan uji statistik memakai uji Fisher Exact
dapat dilihat pada Tabel 144.
Tabel 11. penyebaran jumlah pasien berdasarkan usia dan jenis kelamin
Jenis Kelamin Kelompok Usia (tahun) ∑ (Jumlah) %
pasien wanita 16 sampai 25 0,00 0,00
26 sampai 35 2,00 20,00
36 sampai 45 1,00 10,00
46 sampai 55 3,00 30,00
>55 4,00 40,00
pasien laki laki 16 sampai 25 0 ,00 0,00
26 sampai 35 1,00 8,33
36 sampai 45 5,00 41,67
46 sampai 55 5,00 41,67
>55 1,00 8,33
Tabel 22. Bobot badan dan hasil laboratorium pasien pradialisis
Parameter Nilai Nilai normal
Bobot Badan (kg) 61,6±13,8
Na (mmol/L) .126,97±26,76 135 – 148
K (mmol/L) 5,42±1,22 3,5 – 5,3
Ureum (mg/dL) 250,65±103,43 15 – 43,2
Kreatinin Serum (mg/dL) 15,82±6,17 pasien laki laki: 0,73 – 1,36
pasien wanita: 0,57 – 1,13
Tabel 33. Perhitungan nilai eGFR pasien
Nilai eGFR (mL/min/1.73m2) ∑ (Jumlah) % Kategori
1 1 4,55 G5
2 8 36,36 G5
3 5 22,73 G5
4 4 18,18 G5
5 1 4,55 G5
6 2 9,09 G5
9 1 4,55 G5
Tabel 66. Kondisi keseimbangan natrium dan kalium pasien
Perubahan Elektrolit ∑ (Jumlah) % Nilai Rujukan (mmol/L)
Perubahan K
Hipokalemia 1 4.55 <3.5
Normal 11 50.00 3.5 sampai 5.3
Hiperkalemia 10 45.45 >5.3
Perubahan Na
Hiponatremia 13 59.09 <135
Normal 9 40.91 135 sampai 146
Hipernatremia 0 0.00 >146
Tabel 77. Tingkat keparahan hiponatremia dan hiperkalemia
Tingkat Keparahan ∑ (Jumlah) % Nilai Rujukan (mmol/L)
Hiperkalemia
Ringan 3 30,00 5.3 sampai 5.9
Sedang 3 30,00 6.0 sampai 6.4
Berat 4 40,00 >6.5
Hiponatremia
Ringan 8 61,54 130 sampai 135
Sedang 3 23,08 125 sampai 129
Berat 2 15,38 <125
Tabel 99. Penggunaan obat untuk menangani kondisi hiperkalemia
Obat
Hiperkalemia
Ringan Sedang Berat
∑ (Jumlah) ∑ (Jumlah) ∑ (Jumlah)
Furosemide + kalsium :
polistiren sulfonat + kalsium :
glukonat: 0 1 0
Kalsium glukonat + kalsium
polistiren sulfonat 1 0 0
Furosemid : 1 1 0
Furosemid + kalsium glukonat : 0 1 1
Furosemid + kalsium polistiren : 0 1 3
sulfonat
Tabel 100. Penggunaan obat untuk penanganan hiperkalemia
Obat Dosis Literatur Dosis Pasien
Kalsium polistiren 15 - 30 gr/hari dalam 2 - 3 dosis terbagi 15-30 gr/hari
sulfonat
tidak merokok/alkohol 12 54,55
Furosemid 40 sampai 80 mg IV 40 sampai 60 mg IV
Kalsium glukonat 0,5 - 3 gr IV selama 2- 5 menit 1 gr IV
Tabel 111. Riwayat penggunaan Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor & Angiotensin Receptor Blocker terhadap gangguan natrium
Obat Anti Hipertensi
Hiponatremia Normal ..Hipernatremia
∑ (Jumlah) ∑ (Jumlah) ∑ (Jumlah)
ACE Inhibitor 4 3 0
ARB 6 1 0
ACEI & ARB 1 0 0
NON ACEI & NON ARB 2 5 0
Tabel 122. pemeriksaan statistik penggunaan Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor & Angiotensin Receptor Blocker terhadap gangguan natrium
Obat Anti Hipertensi
Hiponatremia Normal p- value
∑ (Jumlah) ∑ (Jumlah)
ACEI 4 3
0,592
Non-ACEI & non-ARB 2 5
ARB 6 1
0,103
Non-ACEI & non-ARB 2 5
ACEI & ARB 1 0
0,375
Non-ACEI & non-ARB 2 5
Tabel 133. Riwayat penggunaan Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor & Angiotensin Receptor Blocker terhadap gangguan kalium
Obat Anti Hipertensi
Hipokalemia Normal Hiperkalemia
∑ (Jumlah) ∑ (Jumlah) ∑ (Jumlah)
ACEI & ARB 0 1 1
Non-ACEI & non-ARB 1 5 1
ACEI 0 2 5
ARB 0 3 3
Tabel 144. pemeriksaan statistik penggunaan Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor & Angiotensin Receptor Blocker terhadap gangguan kalium
Obat Anti Hipertensi
Hiperkalemia Normal p-value
∑ (Jumlah) ∑ (Jumlah)
ACEI 5 2
0,103
Non-ACEI & non-ARB 1 5
ARB 3 3
0,545
Non-ACEI & non-ARB 1 5
ACEI & ARB 1 1
0,464
Non-ACEI & non-ARB 1 5
PENYAKIT GINJAL KRONIK
penyakit ginjal kronik adalah suatu gangguan pada ginjal ditandai dengan ketidak normalan struktur dan fungsi ginjal seperti albuminuria, ketidak normalan sedimen urin, elektrolit, histologi, struktur ginjal, adanya riwayat transplantasi ginjal, penurunan laju filtrasi glomerulus, yang berlangsung lebih dari 3 bulan,
Prevalensi gagal ginjal kronik meningkat seiring bertambahnya usia, Prevalensi pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan ,
Penyebab kerusakan ginjal adalah bemacam macam dan kerusakannya bersifat ireversibel, Penyebab penyakit ginjal kronik pada pasien hemodialisis ,antaralain : glomerulopati primer , nefropati diabetika, nefropati lupus/SLE , penyakit ginjal hipertensi ginjal polikistik , nefropati asam urat , nefropati obstruksi , pielonefritis kronik/PNC ,
mekanisme dasar terjadinya penyakit ginjal kronik adalah adanya cedera jaringan, cedera sebagian jaringan ginjal itu mengakibatkan pengurangan massa ginjal, yang kemudian mengakibatkan terjadinya .proses adaptasi berupa hipertrofi pada jaringan ginjal .normal yang masih tersisa dan hiperfiltrasi. namun proses adaptasi itu hanya berlangsung .sementara, kemudian akan berubah menjadi suatu .proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. pada stadium pertama penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya cadang ginjal, pada keadaan dimana basal laju filtrasi glomerulus (LFG) masih normal atau malah meningkat. secara perlahan tapi pasti akan terjadi penurunan fungsi nefron ,
pasien penyakit ginjal kronik dengan ureum darah kurang dari 150 mg/dl, tidak
mengalami gejala, gejala akan muncul bila ureum darah lebih dari 200 mg/dl karena konsentrasi ureum darah merupakan indikator adanya retensi sisa-sisa
metabolisme protein di dalam tubuh,
kebanyakan pasien penyakit ginjal kronik mengeluhkan gejala berupa gagal konsentrasi , kulit kering , gangguan tidur ,sembelit , kekurangan energi , pruritus , mengantuk , dyspnea , edema , nyeri ,mulut kering , kram otot , kurang nafsu makan , uremia mengakibatkan gangguan fungsi hampir semua sistem
organ, seperti paru, kulit, gastrointestinal, hematologi ,imunologi, gangguan cairan dan elektrolit, metabolik-endokrin, neuromuskular, kardiovaskular
modifikasi faktor resiko penyakit ginjal kronik dilakukan pada
hiperkolesterolemia, anemia, rokok,hipertensi, obesitas morbid, sindroma metabolik,
penyakit ginjal kronik dengan tanda-tanda kegagalan ginjal seperti elektrolit, pruritus, serositis, gangguan keseimbangan asam-basa ,gangguan kognitif, kegagalan pengendalian volume dan tekanan darah, gangguan status gizi yang
refrakter, membutuhkan pengobatan hemodialisis. Pada pasien yang sudah mencapai penyakit ginjal kronik derajat IV (eGFR <30mL/menit/1,73m2
) juga harus dimulai pengobatan hemodialisis,
Hemodialisis adalah proses pertukaran zat terlarut dan produk sisa tubuh, Zat sisa yang menumpuk pada pasien penyakit ginjal kronik ditarik dengan
mekanisme difusi pasif membran semipermeabel, Perpindahan produk sisa metabolik berlangsung mengikuti penurunan gradien konsentrasi dari sirkulasi
ke dalam dialisat. Dengan cara itu diharapkan .pengeluaran albumin yang terjadi pada pasien penyakit ginjal kronik bisa diturunkan, gejala uremia berkurang,
Hemodialisis dapat mempengaruhi kondisi pasien penyakit ginjal kronik, berupa gejala kelainan psikis, insomnia, hipertensi, mual muntah, .anoreksia, anemia,
berdasar pemeriksaan fisik pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani
hemodialisis ditemukan pasien mengalami edema perifer hipertensi stage, konjungtiva
yang anemis , kadar hemoglobin pasien terbanyak Hb 7-10 g/dl,
Penurunan fungsi ginjal merupakan proses normal dari setiap pertambahan usia manusia, Bertambahnya usia menunjukkan penurunan Renal Blood Flow (RBF) dan Glomerular Filtrasion Rate (GFR) , Penurunan terjadi sekitar 8 ml/menit/1,73m2 setiap dekadenya sejak usia 40 tahun,
jenis kelamin terbanyak adalah pasien laki laki dibandingkan pasien wanita ini kemungkinan berkaitan dengan kejadian penyakit penyebab penyakit ginjal kronik, seperti batu ginjal, yang juga banyak terjadi pada jenis kelamin pasien laki laki.
berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa beberapa pasien mengeluhkan oliguria, sedang pasien lainnya tidak mengeluhkan oliguria, oliguria terjadi karena terganggunya fungsi ginjal untuk mempertahankan homeostasis cairan tubuh dengan pengendalian volume cairan, sehingga cairan menumpuk di
dalam tubuh, banyak pasien yang tidak mengeluhkan oliguria, kemungkinan
ini dikarenakan pada penelitian ini kebanyakan pasien masih baru dalam menjalani hemodialisis sehingga dapat dikatakan kerusakan fungsi ginjalnya belum terlalu parah, sehingga gejala oliguria (penurunan pengeluaran urine) belum begitu terlihat. efek medikasi yang dilakukan terhadap kelebihan cairan juga mempengaruhi pengeluaran urine, seperti pemberian diuretik, yang dapat meningkatkan pengeluaran urine, kejadian anuria meningkat sejalan dengan lamanya menjalani hemodialisis (52% pada pasien yang hemodialisis selama 4
bulan dan 67% pada pasien yang hemodialisis selama 12 bulan) dikarenakan walaupun semakin lama pasien menjalani hemodialisis progresifitas penyakit ginjal kroniknya tetap akan berlangsung, sehingga fungsi ginjal tetap akan semakin menurun dan pengeluaran urine semakin berkurang,
kelebihan cairan yang terjadi pada pasien didapatkan asites pada 5 pasien
sedangkan 99 orang pasien tidak ditemukan asites, pada 4 orang pasien ditemukan adanya efusi pleura, pasien tidak ditemukan efusi pleura, sebanyak 56 pasien mengalami edema perifer dan 48 orang sisanya tidak
mengalami edema perifer,
Kelebihan cairan pada pasien penyakit ginjal kronik disebabkan karena terganggunya fungsi ginjal untuk menjalankan fungsi ekskresinya, kejadian kelebihan cairan seperti asites dan efusi pleura menunjukkan
jumlah yang sedikit, dapat disebabkan oleh pengobatan hemodialisis. Pada mesin dialisis dilakukan penarikan cairan sampai tercapai berat badan kering, yaitu berat badan dimana sudah tidak ada cairan berlebihan dalam tubuh, Kelebihan cairan tubuh dialirkan ke dalam mesin dialyzer yang alirannya kendalikan oleh pompa,kemudian cairan itu akan dikeluarkan dari
sirkulasi sistemik secara simultan selama hemodialisis,
kejadian efusi pleura pada pasien yang menerima hemodialisis
jangka panjang adalah sebesar 20%, 10 dari 90 pasien yang efusi pleura
menjalani torakosentesis, didapatkan 60% mengalami efusi pleura tipe transudat dan 20 % tipe eksudat. Penyebab efusi tipe transudat adalah
hipervolemia dan gagal jantung , Efusi eksudat paling banyak disebabkan oleh pleuritis , Perbedaan ini kemungkinan karena pasien telah menjalani
hemodialisis dalam jangka panjang sehingga progresifitas penyakit ginjal kroniknya lebih tinggi, dimana sudah menimbulkan berbagai komplikasi seperti gagal jantung dan infeksi,
Edema perifer pada pasien merupakan akibat dari penumpukan cairan karena berkurangnya tekanan osmotik plasma , retensi natrium dan air. Akibat dari gravitasi, cairan yang berlebih itu akan lebih mudah menumpuk di tubuh bagian perifer seperti kaki, sehingga edema perifer akan lebih cepat terjadi dibanding gejala kelebihan cairan lainnya. Karena hal itu kejadian edema perifer pada
pasien cukup tinggi,
pasien penyakit ginjal kronik mengalami tekanan darah , prehipertensi, hipertensi stage 1, hipertensi stage 2 , kebanyakan penyakit ginjal kronik disebabkan oleh hipertensi . Ditemukannya pasien dengan tekanan darah
normal dan prehipertensi dapat disebabkan karena pasien yang mengalami
penyakit ginjal tahap akhir umumnya mendapatkan regimen antihipertensi untuk mengendalikan tekanan darahnya,
10 pasien penyakit ginjal kronik mengalami asidosis metabolik sedangkan 90
pasien tidak mengalaminya. Asidosis metabolik umum terjadi pada pasien penyakit ginjal kronik, khususnya ketika LFG turun di bawah 30 ml/menit ,
Hilangnya fungsi ginjal mengakibatkan berkurangnya kemampuan tubulus untuk memanfaatkan amonia dalam mengekskresikan sekitar 1 mmol/kgberatbadan hidrogen yang diproduksi setiap hari pada keadaan fisiologis,
gejala tanda gangguan sistem gastrointestinal pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis tampak dari adanya keluhan muntah mual, dan tidak nafsu makan, Mual dan muntah pada pasien penyakit ginjal kronik mungkin karena gastroparesis atau keterlambatan pengosongan lambung,
Anoreksia yang terjadi pada pasien penyakit ginjal kronik mungkin akibat efek ureum yang menumpuk, sebagian besar pasien tidak mengalami anoreksia, itu sesuai dengan penelitian lain yang mendapatkan bahwa semakin
lama hemodialisis dijalani maka semakin tinggi kejadian anoreksianya.sebab sebagian besar merupakan pasien yang menjalani hemodialisis belum cukup lama yaitu selama kurang dari tiga bulan ,
pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis mengalami insomnia, dimana mekanismenya adalah peningkatan osteodistrofi ginjal pada hemodialisis jangka lama yang mengakibatkan nyeri pada anggota gerak,
sehingga mengganggu tidur pasien pada malam hari. tanda kejadian anemia pada pasien penyakit ginjal kronik, yaitu adanya lemah, letih, lesu, konjungtiva anemis, penurunan hemoglobin, memiliki kadar hemoglobin (Hb) kurang dari 7 g/dl, kadar Hb terbanyak ialah pada 7-10 g/dl, dimana nilai itu masih dikatakan anemia pada pasien penyakit ginjal kronik. kadar Hb rata-rata pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis adalah 8,7 g/dl.27 ini menunjukkan bahwa pasien yang diindikasikan transfusi darah (kadar Hb <7 g/dl pada pasien penyakit ginjal kronik) jumlahnya sedikit. Pada pasien yang menjalani hemodialisis, target hemoglobin yang normal (7-8 g/dl) menurunkan
kebutuhan transfusi darah,
Penurunan gizi pada pasien penyakit ginjal kronik diakibatkan oleh rendahnya asupan makanan, Rendahnya asupan makanan itu disebabkan oleh gangguan gastrointestinal seperti anoreksia , mual dan muntah. pada pasien penyakit ginjal kronik terjadi penumpukan cairan tubuh akibat berkurangnya fungsi ekskresi ginjal, sehingga berat badan yang diukur saat itu tidaklah
menggambarkan status gizi pasien yang sebenarnya. pasien yang mengeluhkan gatal (pruritus) mungkin dikarenakan gatal bukan menjadi fokus utama dari hal yang dianggap mengganggu , pasien yang menjalani hemodialisis mengalami pruritus sedang-berat. Pruritus sedikit lebih jarang terjadi pada pasien yang baru memulai dialisis dibanding pasien yang telah menjalani hemodialisis lebih dari 3 bulan, namun ini bukan dikarenakan pengaruh dari hemodialisis ,
Kejadian kulit yang tampak kering pada pasien penyakit ginjal kronik
disebabkan karena adanya penumpukan urea , Menjadi berkurang pada pasien yang hemodialisis kemungkinan dikarenakan pengobatan hemodialisis yang dilakukan. Ureum yang bertumpuk karena terganggunya fungsi ginjal akan dikurangi jumlahnya oleh mesin dialisat,
juga sudah mengalami komplikasi ensefalopati .uremikum, sementara pasien ini baru menjalani hemodialisis selama 1 bulan, keterlambatan pengobatan
dapat mengakibatkan kelemahan pada pasien itu , Komplikasi neurologis sering mempengaruhi pasien penyakit ginjal kronik berupa gangguan pada pusat atau perifer dan jarang terdeteksi atau terobati,Ensefalopati uremikum merupakan salah satu akibat uremia yang paling berat. .pengobatan dialisis mampu menginduksi kelainan terkait dialisis dan mengatasi komplikasi neurologis pada pasien, komplikasi neurologis yang dialami pasien yang menjalani hemodialisis, didapatkan pasien juga mengalami ensefalopati uremikum ,